Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Saat Orang Tua Menghukum Dirinya ketika Anak Berbuat Kesalahan

Melly Febrida   |   HaiBunda

Minggu, 18 Mar 2018 19:03 WIB

Anak berbuat kesalahan. Tapi hukuman justru diberikan orang tua ke dirinya sendiri, bukan ke sang anak.
Saat Orang Tua Menghukum Dirinya ketika Anak Berbuat Kesalahan/ Foto: Thinkstock
Jakarta - Orang tua umumnya akan marah dan memberi hukuman saat anaknya bersikap tidak baik. Tapi, pernah nggak bunda mendengar bukannya menghukum si anak, orang tua malah memilih 'menghukum' dirinya sendiri ketika anak bersikap tidak baik.

Maksudnya, orang tua yang memilih menebus dosa anaknya misalkan dengan berpuasa berhari-hari karena kesalahan anaknya, Bun. Inilah pengalaman masa kecil Arun Gandhi, cucu dari pejuang kemerdekaan India Mahatma Gandhi. Kata Arun, orang tuanya lebih memilih 'menderita' ketika ia atau saudaranya bersikap buruk.

"Orang tua harus mengajarkan anak-anaknya dengan penebusan dosa, ketimbang hukuman yang menganut kekerasan," kata Arun saat berbicara tentang bukunya 'The Gift of Anger And Other Lessons From My Grandfather Mahatma Gandhi' di Emirates Airline Festival of Literature di Dubai seperti dilansir Gulf News.

Kata Arun, penebusan dosa ini bukan tentang menghukum atau sebaliknya memenangkan anak-anak, Bun. Cara ini lebih kepada memilih tindakan yang dilakukan tanpa menggunakan kekerasan. Arun yang kini berusia 80-an tahun ini mengatakan wajar kalau orang tua marah saat anak-anak mereka melakukan sesuatu yang salah. Tapi menurutnya bisa menjadi nggak wajar apabila kita menyalahgunakan kemarahan itu.



Kekuatan penebusan dosa dengan puasa berhari-hari, kata Arun, akan membuat anak-anak melakukan introspeksi terhadap kekurangannya dan bertekad untuk tidak membuat orang tuanya dalam keadaan sulit seperti itu lagi.

"Kita melakukan kekerasan berkali-kali, selama berabad-abad sebagai cara kita membesarkan anak-anak kita. Kita menggunakan kekerasan, kita mengancam anak-anak karena kita memiliki kekuatan untuk mengancam mereka dan menghukum mereka setiap kali mereka berperilaku buruk. Itu selalu merupakan hukuman," kata Arun.

Dia menambahkan dalam pengasuhan tanpa kekerasan, penebusan dosa lebih penting ketimbang hukuman untuk anak. Dikatakan Arun, orang tuanya termasuk yang tidak percaya dengan kekerasan dan mereka mempraktikkan 'kepercayaannya' itu di rumah.

Ilustrasi orang tua menghukum dirinya sendiri karena anak berbuat salah/Ilustrasi anak dan ayahnya/ Foto: thinkstock


"Jadi kapan pun kami, saya dan kedua saudara perempuan saya berperilaku buruk, kami tidak dihukum. Tapi, orang tua kami melakukan penebusan dosa karena hubungan antara kami dan orang tua didasarkan pada cinta dan saling menghormati satu sama lain. Sehingga, saat ayah atau ibu melakukan 'penebusan dosa', kami merasa tidak enak dan memastikan lain kali hal itu tidak terjadi lagi," papar Arun.

Arun bercerita tentang pengalaman yang mengubah hidupnya karena karena sang ayah. Jadi, saat umur Arun 16 tahun dia terlambat menjemput ayahnya setelah sebuah konferensi di sebuah kota yang jauh dari rumahnya di pedesaan di Afrika Selatan. Arun sebenarnya habis menonton film kekerasan di bioskop, tapi ia berbohong dan mengaku telat karena menservis mobil keluarga di bengkel terlalu lama.

Tanpa sepengetahuan Arun, sang ayah menelepon ke bengkel dan dia tahu kebenarannya kalau Arun nggak menservis mobilnya hari itu. Jadilah Arun ketahuan berbohong, Bun. Sang ayah akhirnya memilih berjalan sendiri ke rumahnya.

"Ketika dia mengetahui saya berbohong, dia berkata, 'Ada sesuatu yang salah dalam cara saya membesarkanmu yang tidak memberimu keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya dan membuatmu merasa harus hidup untuk saya. Dan untuk mengetahui kesalahan saya, saya akan berjalan untuk pulang ke rumah. Saya tidak ikut denganmu,'" kata Arun.



Setelah Arun tak berhasil mengubah pikiran ayahnya, ia akhirnya mengendarai mobil sejauh 28 km di belakang ayahnya yang berjalan kaki melewati jalan pedesaan yang medannya cukup sulit. Total, ayah Arun berjalan selama hampir enam jam di malam hari, Bun. Hiks, membayangkan apa perasaan Arun saat itu saja saya sedih.

"Melihatnya melalui rasa sakit dan penderitaan karena kebohongan bodoh saya, saya memutuskan untuk tidak akan pernah berbohong lagi. Saya pikir itu adalah pelajaran yang sangat kuat dalam mengasuh anak tanpa kekerasan," kenang Arun.

Konsekuensi dan Hukuman untuk Anak

Punya tiga orang anak, saya dan suami kadang menganggap semakin keras hukuman akan membuat anak jera. Tapi, psikolog anak dan remaja dari RaQQi - Human Development & Learning Centre, Ratih Zulhaqqi, mengatakan cara tersebut malah jadi nggak efektif nih, Bun.

Ratih lebih suka menyebut konsekuensi ketimbang hukuman. Kata Ratih, perbuatan yang dianggap tidak baik perlu mendapatkan konsekuensi. Untuk memberikan konsekuensi, tentunya harus nyambung dengan apa yang dilakukan anak. Ratih bilang semakin keras hukuman mungkin bisa saja membuat anak menjadi kapok. Tapi akibatnya anak jadi tidak paham sebab akibat yang logis.

"Anak hanya tahu ada hukuman berat yang menanti jika dirinya melakukan kesalahan. Jadi bukan membuat anak ketakutan, tapi membuat anak belajar sebab akibat yang logis. Menurut saya konsekuensi logis akan lebih efektif," ucap Ratih. (rdn)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda