Jakarta -
Setelah libur Lebaran usai, mbak pengasuh si kecil nggak balik lagi nih. Untuk mencari penggantinya pun susah banget. Mau menitipkan si kecil ke daycare, tapi anaknya nggak mau. Akhirnya resign dari pekerjaan pun menjadi pilihan.
Butuh penerimaan yang luar biasa buat kita yang sudah terbiasa bekerja, namun kemudian memilih resign. Butuh keikhlasan yang benar-benar ikhlas, Bun. Kalau sudah bicara ikhlas itu memang tahapannya sudah tingkat tinggi ya. Kadang dari mulut terucap ikhlas, tapi nyatanya banyak sikap kita yang nggak sepenuhnya ikhlas.
"Memang butuh waktu belajar ikhlas," ujar psikolog dari Personal Growth, Ratih Ibrahim, yang saya ajak diskusi usai Bincang Shopee di Pacific Century Place, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Sabtu (30/6/2018).
Biasanya bekerja di kantor lalu sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama
anak, memang nggak selamanya mudah. Pasti ada yang hilang, misalnya kegiatan rutin yang selama ini kita jalani bertahun-tahun. Selain itu, menurut Ratih, independensi finansial dan power juga nggak lagi dimiliki.
"Social life juga menjadi berubah," imbuhnya.
Mungkin akan lebih mudah jika kita resign karena nggak lagi merasa nyaman di tempat kerja yang sudah bertahun-tahun kita akrabi. Ketika lebih banyak menghabiskan waktu bersama
anak, justru itu menjadi semacam 'healing' dari tertekannya perasaaan dan pikiran. Tapi mungkin akan berbeda cerita jika kita resign dadakan karena nggak ada yang mengasuh anak.
Ketika Akhirnya Memilih Resign dari Pekerjaan Demi Anak/ Foto: dok.HaiBunda |
Ya, ikhlas itu penting banget. Untuk bisa ikhlas, kita memang harus banyak-banyak bersyukur dan berpikiran positif. Kalau kita nggak ikhlas menjalani peran ini, maka anak nggak sepenuhnya merasakan kehadiran kita, dan akhirnya anak juga yang nggak happy.
"Karena nggak ikhlas akan banyak menghadapi kekecewaan, sehingga anak yang jadi korban. Padahal anak itu amanah. Justru kita yang dosa kalau menyia-nyiakan amanah," tambah Ratih.
Jika kita sudah pada level ikhlas sebagai ibu untuk anak kita, maka kita siap kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala. Maksudnya kita siap melakukan segala hal agar anak mendapat hak dan pengasuhan terbaik dari kita.
Ratih mengingatkan masih ada orang tua yang menjadikan anaknya sebagai semacam 'trofi'. Ada yang menjadikan anak sebagai bukti bahwa dirinya nggak mandul dan punya penerus. Kalau pondasi orang tua seperti ini, tentu kita akan sangat mudah menjadi nggak ikhlas ketika menemukan hal di luar ekspektasi kita ya, Bun.
"Keikhlasan kita sebagai orang tua nggak akan bikin perkerjaan sebagai orang tua lebih gampang, tapi akan bikin kita lebih gembira," ucap Ratih.
(Nurvita Indarini)