Palu -
Warga Palu masih membutuhkan uluran tangan untuk dibantu dan dipertemukan kembali dengan anggota keluarga yang terpisah. Kali ini HaiBunda mengangkat kisah pasangan suami istri asal Palu yang sempat berpisah dengan anak-anaknya saat
gempa dan tsunami terjadi.
Seorang ibu dua anak, Emi menceritakan kembali kisah harunya lewat media sosial. Banyak simpati yang dilontarkan pada Emi, lebih dari 9.000 komentar positif dan doa untuk keluarganya. Saat peristiwa terjadi, Emi bersama keluarga sedang di luar rumah dan menonton sebuah acara Palu Nomoni.
"Hari ini tepat 21 hari setelah kejadian gempa, tsunami dan likuifaksi yang melanda
kota Palu, Jumat 28 September 2018. Hari itu kami sekeluarga berada di anjungan tempat acara Palu Nomoni. Dilaksanakan sore, suasana begitu ramai. Tiba-tiba setelah azan magrib berkumandang, suasana berubah," tulis Emi.
Emi melanjutkan, para pengunjung, pelaku usaha, penjual, dan semua orang-orang yang berada di anjungan lari berhamburan, berteriak dan panik. Anak keduanya, Zoya sedang digendong oleh kakaknya, Zaki yang duduk di bawah pohon. Sedikit pun kedua anaknya tak panik, menangis, dan bersuara.
"Saya dan suami tidak melihat kalau anjungan runtuh ke bawah laut. Kami mengira itu hanyalah gempa yang biasa terjadi. Suami saya berkata 'duduk, duduk', maka saya dan Zaki duduk sambil memegang tanah dan anak saya Zoya saat itu telah digendong oleh suami," sambung Emi.
Begitu Emi melihat ke belakang suaminya, ternyata air laut sudah berada tepat di belakangnya. Emi pun panik dan menarik tangan suami sambil berteriak. Mereka berlari sambil berteriak. Emi dan keluarga hanya bisa berlari sampai depan ruko handphone, tepat di belakang anjungan.
"Dan di situ ada sebuah mobil yang terparkir tepat di depan ruko, kami hanya bisa berlindung tepat di samping mobil dan air laut pun menghantam kami. Zaki langsung tersungkur dan pahanya terlindas ban mobil itu. Saya melihatnya menangis dan mengulurkan tangan meminta bantuan saya. 'Mama tolong saya!'. Saya pun menangis karena saya melihat matanya bengkak," ujar Emi.
 Emi dan kedua anaknya/ Foto: Facebook/ Emi Miee |
Lantas, Emi meminta bantuan suaminya untuk mencari posisi agar bisa menarik Zaki. Mereka sendiri terjepit di antara mobil dan besi yang berada di depan ruko. Belum sempat suaminya menarik Zaki. Air laut kembali naik, Emi, suaminya, dan Zoya saling mengambil posisi dan berpegangan tangan sambil menutup mata.
"Air laut pun menghantam dengan kerasnya. Kami tersungkur ke dalam ruko dan Zaki tertinggal di depan ruko tempat ia tersungkur. Saat itu di dalam benak saya, inilah hari terakhir kami, di sinilah ajal akan menjemput kami. Tapi Allah berkehendak lain ternyata hantaman air laut kedua membawa kami ke tepian tepat belakang kantor TVRI Palu," lanjutnya.
Ketika membuka mata, anak bungsunya Zoya terlepas dari pelukan suami. Emi dan suami mengaku sangat lemas karena tak ada anak-anak di samping mereka. Mereka berdua lari sambil bergandengan tangan dan menangis memanggil nama kedua anaknya.
"Saya dan suami pun berjalan menyelamatkan diri ke wali kota tanpa anak-anak. Kami menangis dan terus berdoa. Sesampainya di lapangan wali kota, kami bertemu seorang wanita dan menyempatkan diri untuk salat. Kami terus menangis memanggil-manggil nama anak kami. Sambil berdoa, saya mendengar soalah ada teriakan Zaki memanggil 'Mama'" kata Emi.
Tak lama setelahnya Emi bertemu temannya, Lili. Menurut Lili, Zaki ada di rumah sakit umum. Sontak, Emi kaget dan tak percaya kalau anaknya masih hidup. Mereka pun menuju RS dan benar, Zaki dirawat di sana. Seluruh tubuhnya penuh luka dan merintih kesakitan.
"Saya memohon lagi kepada Allah meminta dipertemukan dengan anak saya, Zoya. Hari semakin larut rasanya begitu lama menunggu matahari terbit. Malam itu saya kembali salat dan berdoa," sambung Emi.
Tepat pukul 06.00 pagi anak tetangga Emi di anjungan datang ke rumah sakit. Dia datang untuk menjemput ibunya yang juga dirawat. Dia melihat Emi dan bilang kalau Zoya bersama dengan ayahnya.
"Saya berteriak memanggil suami yang saat itu baru tertidur. Suami langsung minta antar anak itu ke Zoya. Mereka pergi ke tempat Zoya mengungsi. Tak ada henti-hentinya saya bersyukur. Allah maha baik, maha besar. Akhirnya kami berempat berkumpul kembali. Inilah kisah keluarga kecil saya yang selamat dari musibah tsunami. Anak laki-laki saya patah tulang paha kirinya dan anak perempuan saya robek bagian pipinya dengan delapan jahitan," tutup Emi.
 Zoya, anak bungsu Emi korban gempa Palu/ Foto: Facebook/ Emi Miee |
Merinding dan terharu ya, Bun setelah menyimak kisah Bunda Emi. Kita doakan, semoga keluarganya sehat selalu. Memang, ketika anak-anak terpisah dengan orang tuanya pasca
bencana, psikolog anak, Dr Seto Mulyadi, mengatakan banyak anak-anak mengalami trauma. Hal ini karena kehilangan rumah, teman-teman, bahkan orang tuanya. Pemulihan trauma anak nggak hanya butuh andil penting relawan tapi seluruh stakeholder terkait. Seluruh masyarakat harus peduli dengan kondisi anak-anak korban bencana.
"Jadi kami juga tekankan bahwa melindungi anak ataupun mendampingi anak perlu orang sekampung. Jadi bukan hanya orang tua masing-masing. Mungkin ada yang kehilangan orang tua. Mungkin tinggal ibunya yang masih stres karena suaminya meninggal dan sebagainya. Nah itu, kiri kanan tetangga semua harus peduli. Jadi kalau dalam keadaan begitu, anak itu adalah anak kita bersama," jelas psikolog anak yang akrab disapa Kak Seto ini.
(aci/nwy)