Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

15 Contoh Cerpen Pendidikan Berbagai Tema Menarik Penuh Motivasi dan Pesan Moral

Nazla Syafira Muharram   |   HaiBunda

Jumat, 15 Dec 2023 22:20 WIB

Ilustrasi Anak Membaca Buku
Ilustrasi Anak Membaca Buku/ Foto: Getty Images/iStockphoto
Daftar Isi

Cerpen mengenai pendidikan dapat menjadi sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan moral pada anak. Melalui cerpen ini, Si Kecil juga bisa berimajinasi dan terhibur, Bunda.

Cerpen pendidikan umumnya adalah cerita pendek. Tapi meski waktu membacanya singkat, Si Kecil tetap bisa mendapatkan pesan-pesan moral yang ada di dalamnya.

Selain cerita pendek, ada pula cerita yang disajikan dalam bentuk panjang. Jenis cerpen ini biasanya disajikan secara lebih dalam, baik terkait dengan nilai-nilai moralnya ataupun karakter yang ada di dalamnya. Cerpen panjang ini juga mampu menghadirkan konflik secara lebih kompleks, dan tentunya memberikan pengalaman membaca yang menyenangkan untuk anak. 

Namun, terlepas dari panjang atau pendeknya suatu cerita, cerpen pendidikan selalu memiliki daya tariknya tersendiri. Misalnya, cerpen pendidikan SD yang mampu menjangkau pembaca dari usia dini. Selain memperkenalkan konsep dasar pendidikan, cerpen ini juga berguna dalam meningkatkan minat membaca sedari dini, Bunda. 

Nah, lantas apa saja cerpen pendidikan yang bisa Si Kecil baca? Simak penjelasan lengkapnya berikut ini ya!

Kumpulan contoh cerita pendek atau cerpen pendidikan berbagai tema menarik

Berikut telah HaiBunda rangkum dari beberapa sumber, 15 cerpen pendidikan yang dapat memberikan Si Kecil hiburan dan pembelajaran berharga:

Contoh cerpen pendidikan anak sekolah: Perjalanan Menuju Tak Terbatas 

Senin kedua di bulan Juli tahun 2023, aku yang telah libur sekolah selama dua pekan, akhirnya bisa sejenak bertemu kembali dengan teman-teman. Rencana pergi liburan dengan teman sekelas tidak hanya menjadi wacana. Pagi itu pukul 06.00, aku bersiap berangkat ke sekolah. Sesampainya di sekolah, teman-teman sudah berkumpul di depan bus menunggu keberangkatan. Setelah 30 menit menunggu, bus pariwisata kami berangkat dari Surabaya menuju Malang. Selama perjalanan kami menghabiskan waktu dengan bercanda, bernyanyi bersama, dan mengobrol tanpa merasa lelah.

Tiba di Malang pada waktu siang, destinasi pertama yang kita tuju adalah Alun-Alun Malang. Melepas penat di sana, beberapa teman beribadah, yang lainnya berselfie dan menikmati momen bersama. Setelah dua jam berada di Alun-Alun Malang, kita lanjut perjalanan menuju vila untuk beristirahat. Setibanya di vila, vila yang disewa sungguh sangat nyaman. Fasilitas vila dilengkapi dengan kolam renang, barbeque set, dapur, beberapa kamar tidur, dan rooftop untuk menikmati pemandangan.

Kegiatan di vila pada malam harinya, kita berkumpul dan memainkan beberapa games, berkaraoke, menikmati udara dingin di daerah Batu, Malang. Kami juga memasak barbeque sembari menghangatkan tubuh, bercerita, tertawa, makan bersama, menjadi momen yang sangat langka untuk terulang. Kegiatan tersebut membuat kita semakin bonding satu sama lain. Setelah lelah dengan segala kegiatan, kita masuk ke kamar tidur masing-masing untuk beristirahat.

Suhu dingin semakin terasa pertanda kabut pagi telah datang, kami mengantre kamar mandi dan bersiap menuju lokasi wisata Jatim Park 1. Setelah sarapan dan bersiap, kami menuju Jatim Park 1 dengan penuh riang gembira. Setibanya, kami langsung melihat-lihat berbagai macam wahana yang tersedia di Jatim Park 1. Aku mencoba wahana Roller Coaster dan setelah itu merasa pusing dan mual. Tidak hanya itu, aku lanjut memacu adrenalin untuk memasuki Wahana Rumah Hantu. Tidak seberapa menyeramkan, namun cukup membuat aku berpegangan erat ke teman. Wahana-wahana yang lain patut dicoba, tapi aku memilih untuk berselfie saja. Pukul 16.00, kegembiraan di Malang harus berakhir.

Kita segera menuju Surabaya untuk kembali pulang. Dalam perjalanan pulang, di dalam bus yang penuh rasa suka, kami satu persatu memberikan kesan selama pertemanan di kelas X.1. Suasana suka lantas berubah sejenak menjadi gloomy mengingat segala perjalanan dan kenangan yang telah dilewati bersama. Ada suka dan duka tentunya, semoga membuat kita semakin dewasa dan tidak lupa satu sama lainnya. Perjalanan pulang yang lelah, namun hati kita full kenangan bahagia yang melimpah.

Cerita ini merupakan karya dari Aliyah Ayu Fathimah Asmoro, dikutip dari buku Yash: Antologi Cerpen Smala 2023 karya Kelas XI-1 SMA Negeri 5 Surabaya.

Guru Honorer Positive Thinker 

Sepulang dari sekolah, aku dihadiahi kue ulang tahun dari istri dan anak-anakku. Mereka berkeliling di sekitarku dengan senyuman yang mengembang

"Selamat ulang tahun Ayah, semoga panjang umur, sehat dan selalu berkah," Kata anak sulungku, Dewi, la mengecup pipiku yang keringatnya belum kering. Senyumannya membuat aku jatuh hati pada si sulung ini.

"Selamat ulang tahun Ayah. Semoga tetap menjadi Ayah yang hebat," Lanjut istriku dengan rangkulan yang penuh sayang.

Dalam rangkulan yang menyejukkan itu, aku merasa yang paling bahagia. Anak sulung yang soleha dengan IPK paling tinggi di kampusnya dulu, anak kedua yang selalu aktif di sekolahnya dan mantan ketua OSIS, serta istri yang selalu mendampingi dalam suka dan duka.  Di usiaku yang ke lima puluh lima ini, aku merasa menjadi suami dan ayah yang mendekati sempurna.

Namun, kesempurnaanku bukan tanpa cacat. Sesungguhnya, kesempurnaaku tidak dibalut dengan kegembiraan harta yang melimpah. Tidak ada gelimang materi di rumah, apalagi kemewahan yang wah. Tidak sama sekali. Kesempurnaan ini hanya diciptakan oleh pikiran dan perasaan kami masing-masing. Kesempurnaan kami hanya karena kami bisa berdamai dengan keadaan, karena kalau dimensi duniawi yang diukur, maka kami memiliki kecacatan yang maha, yakni kemiskinan.

Usia 55 tahun dengan rumah sangat sempit ukuran 5X6 meter persegi. Hanya satu kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur serta ruang keluarga dengan TV tabung kecil 14 inci, Anak-anak kami tidak memiliki kamar pribadi. Kamar kami one for all. Untuk menyokong pekerjaanku sebagai guru honorer, aku pernah diberi pinjaman uang untuk membeli motor bebek Astrea 800. Lumayan untuk sekedar mengurangi biaya operasional transportasi dan untuk mengantar anak-anak ke kampus dan sekolah. Motor itu pula yang mengantarkan dagangan istriku sesekali ke warung-warung di sekitar rumah.

Aku tidak bisa mampu berinvestasi di masa muda. Gaji guru honorer yang diterima hanya cukup untuk makan dan biaya sehari-hari. Tanpa mencicil, kami tidak mungkin punya rumah, motor atau perabotan yang sekarang sudah mulai berusia tua. Tidak ada sawah, tidak ada kolam, tidak ada rumah layak, apalagi toko yang istriku inginkan sejak dua puluh lima tahun yang lalu. Ya, inilah keadaan kami. Mau tidak mau, suka tidak suka, inilah nasib sebagai guru honorer. Dalam keseharianku yang sangat kekurangan, aku selalu berupaya untuk berpikir positif. Gaji yang tidak seberapa, tidak aku dramatisir untuk menuduh nasib yang malang, kondisi rumah yang kecil dan perabotan yang super sederhana, tidak aku jadikan hidup yang merana dan nestapa. Aku hanya ingin membahagiakan hidupku dan keluargaku. Itu saja pikiranku, untuk masalah kebahagiaan materi, aku anggap semuanya relatif. Semoga suatu saat anak-anaku bisa meraihnya di masa depan.

Kerja kerasku tanpa pamrih membuat perutku tidak besar seperti teman-teman guruku dengan status yang lebih baik. Tidak tertumpuknya gula darah dan lemak dalam badanku membuat aku selalu sehat dan Alhamdulillah tidak pernah mengunjungi dokter. Bila sakit pun hanya sekedar flu pilek dan masuk angin saja. Aku bersyukur, dalam nihilnya rezeki, gaji yang super sedikit, tapi Allah berikan rezeki kesehatan yang hebat bagi aku dan keluargaku.

"Teh, Ayah tidak bisa memberimu kamar yang layak atas privasimu. Ayah tak bisa memberikan kehidupan yang pantas seperti teman-temanmu. Ayah pun tak bisa memberikan pendidikan yang hebat seperti kebanyakan orang. Tapi Ayah hanya punya do'a untuk senantiasa mengiringi langkah Teh Dewi," ucapku suatu waktu ketika Dewi turun dari motor bebekku untuk kuliah.

"lya Ayah. Dewi tak menuntut apapun. Dewi ingin ayah sehat dan berbahagia. Dewi ingin Mamah dan Ayah tidak meninggalkan ibadah yang Allah perintahkan. Itu saja yang membuat Dewi bahagia," jawab Dewi, si anak sulung itu. Jleb. Kalimatnya mendinginkan sanubari. la begitu dewasa dalam memandang kehidupan. Kesolehannya telah matang untuk seorang anak berusia 23 tahun.

"Maafkan Ayah yang belum memberimu apa yang kau inginkan. Laptop yang pernah kau obrolkan, HP yang pernah kau tunjukan brosurnya, dan uang kuliah semester akhir yang belum ayah bayarkan. Semoga engkau bisa mengerti," ungkapku pada anak sulungku penuh permintaan maaf. Semoga Dewi bisa mengerti keadaan uang yang tidak mampu untuk laptop dan HP yang ia inginkan. Untuk uang kuliah, pasti akan diperjuangkan dengan sepenuh hati.

"Sudahlah Yah, itu hanya oborolan Dewi, bukan keinginan Dewi. Ayah jangan sensitif, ah. Uang kuliah nanti Dewi konsultasikan ke Prodi, Kan bisa nyicil, Yah. Aku juga ada proyek buat makalah temen-temen. Lumayan untuk nambah-nambah tabungan buat SPP kuliah," jawabnya sambil mengumbar senyum merekah. la cium tanganku dengan lama sekali, Batinku berdoa semoga ia menjadi orang yang tangguh dan memiliki rezeki yang lebih dari ayahnya.

Kerudung yang agak kumal aku tatap dari kejauhan menuju gerbang kampus. Tas yang harganya 50 ribu hasil arisan mamahnya pun ditenteng dengan bangganya. Ia tak pernah mengeluh atas apa yang dipakainya. Ia tak pernah merengek tentang kehebatan temannya yang ber-gadget. Laptop yang sering ia inginkan selalu kandas dengan keuanganku yang cekak. HP android yang jadi syarat gadis milenial kini, tak kuasa aku hadirkan di tangannya. Tapi, ia begitu mengerti atas segala kondisi keluarganya.

Tak cuma anak pertamaku, anak keduaku Dani juga mirip dengan kakaknya. "Nak, maafkan Ayah yang tidak memberikan uang jajan. Semoga sekolahnya lebih rajin dan pertahankan ranking pertamamu," ucapku kepada Dani, ketika aku antar la ke sekolahnya.

"Tidak apa Yah. Aku tidak suka jajan di sekolah. Itu tidak menyehatkan. Nasi goreng yang mamah masak lebih gurih dan sehat dari jajanan sekolah. Yah. Dani pasti lebih rajin Yah. Dani ingin seperti Ayah yang gigih berjuang dan selalu memperhatikan kita. Dani sayang Ayah. Ayah seorang pejuang hebat, bukan hanya untuk dunia, tapi untuk akhirat," jawabnya.

Ya Allah, batin ini terasa lapang. Tidak ada keraguan untuk kesolehan anak lelakiku itu, la tak malu melihat ayahnya dengan bebek tua ini, la tak merasa marjinal di tengah sekolah favorit yang anak-anaknya diantarkan oleh mobil dengan ayah yang berdasi. la tak pernah merengek minta HP seperti kebanyakan anak muda sekarang. Tidak ada uang untuk HP apalagi kuota yang menguras uang

"Ayah bangga atasmu Nak. Tetap percaya diri. Terus pacu adrenalin prestasi belajarmu dan keaktifan kegiatan OSIS-mu. Bapak hanya bisa berdoa selalu untuk kesuksesanmu dan Dewi. Uang SPP bulan ini belum Ayah tunaikan. Nanti Ayah coba minjam dulu ke sekolah," Lanjut motivasiku ke Dani.

"lya Ayah. Jangan pikirkan uang SPP. Kata kepala sekolah, aku akan dapat beasiswa prestasi, Yah. Semoga saja aku dapat. Doa Ayah yang paling utama untuk Dani. Ayah jangan lupa salat yang khusu. Jangan terlalu memikirkan duniawi dan lupa mengingat Allah. Yah. Itu sangat penting agar kita selalu dirida-Nya," jawabnya. Jleb. Hatiku mencair.

Dunia terasa terang benderang. Kalimat Dani si anak kedua membuat hatiku bahagia. Dengan ciuman tangan yang begitu bersahaja, Dani berpamitan sambil merekahkan senyuman yang mendamaikan. Langkah kaki Dani yang begitu optimis melewati gerbang sekolah tidak lepas dari pandanganku. Celana abunya yang mulai lusuh dan luntur, tasnya yang robek di bagian depannya, uang di sakunya yang nihil tidak pernah menyurutkan semangat sekolahnya. Di sekolah yang favorit ini, ia tidak pernah ngomel untuk merasa terhina dengan kondisinya. Ia tak pernah ingin dibelikan ini dan itu untuk sekolahnya. Buku pelajaran pun tak pernah ia beli. la hanya menggunakan keterampilan lobi dan komunikasinya kepada guru. "la lelaki hebat," gumamku.

"Mah, ini gaji Ayah bulan ini. Kata Bendahara sudah dipotong pinjaman bulan lalu. Ayah belum menghitungnya," ucapku sambil aku sodorkan amplop putih dari sekolah yang belum aku buka sedikitpun. 

"lya Yah. Terimakasih untuk uangnya Ayah. Semoga uang ini cukup untuk kebutuhan kita satu bulan," jawab istriku sambil mengambil amplop dan kemudian mencium tanganku.

Ada rasa salah di hati karena sebenarnya ia sudah tahu jumlahnya tidak cukup. Ia hanya menyembunyikan rasa sedihnya dengan senyum yang mengembang. "Ah. terlalu sholeha istriku ini, semoga ia mendapatkan balasan setimpal dari Yang Maha Kuasa," batinku.

"Maafkan Ayah, Mah. Uangnya pasti tidak akan cukup. Ayah sudah berupaya dan berusaha untuk bekerja. Ayah ikhlas untuk hasilnya. Ayah pasrah untuk uangnya. Semoga Mamah bisa memaafkan Ayah yang tidak bisa membuat Mamah lebih leluasa untuk belanja kebutuhan kita," ungkapku sambil menatap mata istriku yang berbinar.

"Tidak Yah. Uang ini lebih dari cukup untuk sebuah kehidupan kita. Kekurangannya bisa kita lebihkan dengan ibadah kita. Mamah senang uang yang sedikit ini bisa memberkahi kita. Tidak ada yang bisa membahagiakan Mamah kecuali Ayah ikhlas dalam bekerja, tak pernah meninggalkan salat karena bekerja, tidak pernah korupsi dan tidak pernah memberi rezeki haram untuk kami. Terimakasih Ayah," jawab Istriku dengan senyuman yang merekah.

Aku tatap matanya dengan bangga. Ada kebahagiaan yang mendalam dalam pola kehidupan ini. Dua puluh lima tahun menikah bersamanya, uang tidak menjadi masalah serius bagi kami. Status guru honorer aku pun tak pernah ia gugat. Gaji yang tak seberapa pun tak pernah ia keluhkan. Matanya yang berbinar, kalimat yang meluncur di mulutnya, selalu menjadikan hati ini tentram dan bahagia.

"Terimakasih istriku, kau adalah harta paling berharga Ayah. Tidak mungkin Ayah bisa hidup setenang dan sebahagia ini. Kau wanita paling berhak untuk mendapatkan pahala yang Ayah kerjakan di sekolah. Kau adalah makhluk yang paling diinginkan masuk surga-Nya. Ayah tak tahu, kepada siapa Ayah bisa meminta untuk membahagiakanmu kecuali pada Allah, kepada siapa Ayah bisa meminta untuk membahagiakanmu kecuali dengan doa yang Ayah panjatkan. Semoga engkau sehat, bahagia dan selalu menjadi ibu yang hebat buat anak-anak kita," ucapku panjang sambil memeluk istriku yang hebat ini. 

Lamunanku menjadi buyar ketika pelukan istriku semakin erat. Dalam latar ulang tahunku yang ke-55 ini, istriku semakin erat memelukku. Entahlah, ia tak mau melepaskan pelukan itu. Ada rasa yang membuncah atas kasih sayang mereka kepada diri ini. Ada aroma kebahagiaan tak bertepi di lubuk hati ini.

"Ayah, aku mencintaimu. Maafkan Mamah yang belum bisa menjadi istri yang membahagiakanmu, menjadi ibu yang baik dari anak- anakmu." Ucapan itu meluncur percis di depan telingaku.

"Iya sayang. Ayah maafkan. Ayah juga minta maaf atas janji ayah yang belum tertunaikan. Atas keinginanmu yang belum ayah penuhi. Atas kebutuhanmu yang belum ayah berikan. Ayah sangat berbahagia hidup bersamamu. Usia 55 ini setengahnya bersamamu. Pahala ayah adalah milikmu, kesedihan ayah adalah bagian hidupmu, doa-doa ayah adalah selalu untukmu dan anak-anak kita." ucapku sama percis di depan telinga kirinya.

Tak terasa, basahnya air mata menetes di lenganku. Aku merasakah ada air mata yang mengalir dari mata istriku yang mengharukan. Istriku tak mau melepaskan dan terus mengalirkan air mata yang ia rindukan itu. Anak-anak yang mendampingi kami pun. terlihat menundukkan kepala, ada beberapa tetes air mata yang lahir dari pipi Dewi. Ada sesenggukan yang terdengar dari kerongkongan Dani. Aku tak tahu, kenapa mereka membuat aku terharu. Kebahagiaan 55 tahunku dipenuhi air mata yang sangat mengharu biru.

"Yah, karena doamu, kami semua sehat. Karena doamu anak-anak soleh soleha. Karena doamu, uang yang kau berikan berkah. Cukup untuk mengantarkan kehidupan kita yang bahagia. Semoga kau rida kepada kami. Semoga kau tetap menjadi imam kami," ungkap istriku sambil menatap mataku yang mulai memerah. Pegangan tangannya di bahuku terasa mendamaikan.

Tidak ada kata yang bisa aku katakan. Hanya anggukan yang bisa aku lakukan. Rasaku mendadak sedih dan bahagia bercampur. Usia 55 tanpa investasi harta yang berlimpah tak menyurutkan untuk terus bahagia. Investasiku adalah mereka, istri yang selalu membahagiakan, anak-anak soleh yang sangat membanggakan. "Merekalah investasi hari ini dan hari nanti batinku,"

Kue yang yang sederhana itu mereka angkat bersama. Lilin dengan angka 55 disodorkan kepadaku untuk ditiup. Aku menatap semua anggota keluargaku. Mata mereka merah dan melelehkan air mata, tapi bibirnya mengumbarkan senyuman yang merekah. Ada campur aduk perasaan yang tak bisa aku rangkaikan dalam kata-kata. Aku merasa lelaki paling beruntung di dunia. Status guru honorerku tidak pernah mereka gugat. Uang gajiku tak pernah mereka protes. Dua puluh lima tahun hekerja dengan uang tak seberapa tidak pernah mereka masalahkan. Aku bangga menjadi ayah mereka.

"Sebentar Ayah, sebelum ditiup lilinnya, mamah mau ngasih kabar baik untuk mu tentang anak-anakmu. Setelah lulus kuliah bulan kemarin, Dewi sekarang diterima sebagai CPNS di Kementerian di Jakarta. Dani sudah diterima di PMDK di ITB dengan beasiswa penuh dari LPDP Kemenken. Ini berkat perjuangan hebatmu dalam ikhlasnya bekerja. Gajimu dibayar dengan kesolehan dan kehebatan anak-anak kita. Selamat untukmu Ayah. Kau Ayah yang hebat," Ucap istriku sambil meneteskan air matanya.

Aku terkejut. Aku melayang. Aku Terbang. Aku hinggap. Aku melompat. Aku terjun. Aku hirup udara. Dan "Hufffff" lilin itu mati menyisakan kebahagiaan yang tak ternilai.

Cerita ini merupakan karya dari Bumisyafikri, dikutip dari buku Tauhid Cinta: Kumpulan Cerpen Pendidikan Yang Menginspirasi karya Dr. H. A. Zaki Mubarak.

Ilustrasi Anak Membaca BukuIlustrasi Anak Membaca Buku/ Foto: Getty Images/iStockphoto

Contoh cerpen pendidikan penuh pesan moral: Putih Abu-Abu 

Pada suatu masa-masa SMA aku bertemu dengan teman-temanku, akhir pandemi menjadi tanda bahwa masa putih abu-abu di mulai. Pada hari pertama aku tak kenal siapa pun kecuali teman SMP-ku, yaitu David. Aku dengan David merasa canggung dengan situasi baru. Aku bersekolah di daerah jauh dari perkotaan sehingga hiburan kami hanyalah pemandangan. Saat hari kedua aku berkenalan dengan Arai dan Muti yang duduk persis di depanku.

Kita melewati masa-masa pertama putih abu-abu dengan baik dan harmonis. Murid yang tidak terlalu banyak yang dimana hanya berjumlah 10 di sekolah kami membuat kami mudah untuk beradaptasi. Arai, Muti, David, Bima, Caca, Layla, Andi, Chris dan Tania. Mereka teman-temanku yang akan menemaniku hingga 3 tahun ke depan dan perkenalkan namaku Hikal. 

Pada saat 1 minggu pertama tidak banyak hal yang terjadi tatanan organisasi tidak banyak karena murid yang sangat sedikit serta guru yang mengajar di sini kurang dari 8 orang. 3 hari berlalu dengan sangat cepat dan kita sudah mulai akrab antara satu dengan lainnya, kami senang ketika mata pelajaran pertama dimulai. Bu Lala masuk dengan membawa buku matematika, kami pun belajar matematika dengan ceria karena Bu Lala sangat suka bercanda. la mengajari kami pelajaran pertama dalam matematika, bukan aljabar maupun logaritma tetapi bagaimana kita mencintai matematika. Matematika bukan dinilai berdasarkan jawaban tetapi perhitungan dan algoritma yang tepat.

Aku yang hanya bisa berlagak seperti Socrates dan berkata "matematika dicintai dengan caranya kita sendiri-sendiri, cara dalam menyelesaikan terdapat berbagai cara tetapi hanya 1 jawaban."

Mata pelajaran matematika di hari pertama memanglah buruk, tetapi Bu Lala mengajarkan jangan menilai sesuatu buruk terlebih dahulu. Seperti guru-guru pada umumnya hari pertama digunakan untuk bercerita dengan murid-murid

Setelah jam matematika datanglah Pak Amar sebagai guru fisika. Di hari pertama kami sudah diceritakan mengenai hebatnya Tuhan membuat semuanya secara spesifik, dimana yang tidak terlihat belum tentu tidak ada dan yang terlihat belum tentu ada kebenarannya. Di hari pertama, kami diajarkan beberapa rumus dasar fisika seperti kekekalan energi selain itu kami diajarkan agar cepat bergerak dalam ruang agar waktu tidak banyak terbuang sia-sia.

Pelajaran pertama yang aku dapat adalah di dunia ini banyak kemungkinan tetapi yang terjadi hanyalah yang terbaik. Hal ini aku simpulkan setelah guru fisikaku berkata "paradoks mungkin bisa terjadi jika Tuhan mengizinkan, tidak ada yang mustahil bagi Tuhan." Aku dan teman-temanku kaget karena Pak Amar seperti sedang menyamar menjadi guru agama mengingat penemu-penemu sebagian teori fisika tidak beragama dan tidak mempercayai adanya Tuhan tetapi guru kami berbeda 180 derajat, mungkin karena kita lahir di Indonesia.

Hari pertama memang kami diajari untuk mencintai mata pelajaran terlebih dahulu agar kemudian harinya tidak menjadi momok yang menakutkan, sejauh ini hanya 4 guru yang mengajar kelas kami antara lain Bu Lala, Pak Amar, Bu Ratih dan Pak Bayu. Mereka semua adalah kumpulan guru matematika, IPA, IPS, dan Bahasa.

Perkenalkan teman dekatku Arai, ia menemaniku selama 3 tahun di SMA Negeri ini. Kita berteman karena memiliki satu hobi dan satu pemikiran, di saat yang lain sedang menyukai tren masa anak remaja saat ini aku dan Arai menyukai hal-hal yang sedikit gila yaitu menyukai hal-hal yang sedikit berbau misteri dan mistis. Dengan melihat beberapa aliran satanic yang mungkin sangat melenceng dari ajaran agama, kita memiliki keingintahuan yang besar terhadap ada dan ketidakadaannya hantu dan sejenisnya.

Namun, di antara kita berdua yang paling normal adalah diriku sendiri karena Arai sempat hampir mempercayainya dan melakukan beberapa ritual yang sangat aneh, sedangkan aku hanya tertarik untuk mendengarkan ceritanya saja. Kami juga sangat senang mempelajari matematika, pelajaran tersebut bagaikan sesuatu yang tak kasat mata, bayangkan jika suatu hari dunia ini mengubah angka Apakah akan terjadi sesuatu hal? Tanya diriku sendiri. Angka seperti Tuhan, tetapi anehnya banyak manusia yang mempercayai angka tetapi tidak mempercayai Tuhan. Kita mungkin tidak bisa melihat angka tetapi, ia menunjukkan bahwa dirinya ada dengan perhitungan. Tuhan sudah membuktikan bahwa dirinya ada tetapi banyak manusia yang enggan percaya dengan Tuhan.

Di sisi lain Arai dan aku senang bermain di daerah-daerah yang sejuk seperti sawah mencari cari ikan-ikan kecil untuk dibuat mainan. Muti seorang gadis misterius yang baik. la pendek, pintar dan cinta dengan alam. Sejarah merupakan mata pelajaran favoritnya, la selalu berkhayal ingin bertemu Adolf Hitler. Baginya Hitler adalah orang yang baik karena sejarah mengatakan ia sangat benci dengan orang-orang Yahudi. Selain ia suka membaca biografi Hitler, ia juga senang dalam membaca biografi Joseph Stalin sang diktator yang sangat kejam. Walaupun Muti sangat cinta dengan alam tetapi ia suka membaca biografi diktator-diktator terkenal dan memiliki reputasi yang buruk dengan dunia. Selain membaca biografi diktator-diktator tersebut ia juga senang dalam berkebun dan juga merawat tanaman. Di masa putih Abu-abu ia hampir tidak memiliki teman, teman terdekatnya pun hanyalah Tania. Banyak yang tidak menyukai Muti yang memiliki sifat sangat dingin dan seperti tidak membutuhkan dunia luar tetapi bagi Tania, Muti adalah sahabat baiknya dan hanya Tania saja yang dapat mencairkan dinginnya Muti.

Tidak banyak yang dapat diceritakan pada masa putih abu-abu ini karena tidak lama dari itu pertemanan kami hancur akibat Chris dan teman-temannya memusuhi kami. Mereka mengikuti tren ke barat-baratan yang sangat berbeda dengan kami yang nyaman dengan budaya-budaya lokal. Kami pada akhirnya dipecah menjadi 2 kelas karena guru-guru sangat pusing dengan pertikaian setiap harinya. Hingga kami benar-benar tidak mengenal antara satu dengan yang lain. Hingga pada suatu hari kami membuat dan menamai klub kami karena kami tidak ingin kalah saing dengan klubnya Chris dengan kawan-kawan. 

Pada suatu hari, ketika kami sedang duduk bersama di bawah pohon rindang di halaman sekolah, Arai tiba-tiba mengajukan sebuah ide yang sangat menarik. Dia mengusulkan agar kita membentuk sebuah klub eksplorasi yang fokus pada misteri dan keajaiban alam. Ide tersebut langsung mendapat sambutan hangat dari kami semua.

Dengan semangat yang membara, kami mulai merencanakan kegiatan-kegiatan klub. Pertama-tama, Arai mengusulkan agar kita melakukan penjelajahan ke daerah-daerah terpencil di sekitar sekolah. Dia mengatakan bahwa di sana mungkin terdapat tempat-tempat yang menyimpan cerita-cerita mistis dan tak terungkapkan.

Muti langsung menyambut ide itu dengan antusias. Dia menyarankan agar kita membaca lebih banyak tentang tempat-tempat tersebut sebelum melakukan penjelajahan. Muti memiliki koleksi buku-buku tentang tempat-tempat misterius di seluruh dunia, dan ia akan membagikan pengetahuannya kepada kami.

Sementara itu, aku merasa sedikit ragu-ragu. Aku tertarik dengan hal-hal misterius, tetapi aku juga ingin memastikan bahwa kita tidak melampaui batas-batas yang aman. Aku mengingatkan teman-temanku agar tetap waspada dan bertindak dengan bijaksana dalam setiap petualangan kita. 

Setelah melakukan persiapan yang cukup, klub eksplorasi kami akhirnya mulai beraksi. Kami mengunjungi gua-gua tua, hutan-hutan terlarang, dan puing-puing bangunan bersejarah yang ditinggalkan, Kami mencatat setiap temuan dan pengalaman yang kami alami. Beberapa di antaranya adalah kesaksian-kesaksian tentang suara aneh, penampakan bayangan misterius, dan perasaan tidak nyaman yang tak terjelaskan.

Namun, meskipun kami sering mendapatkan pengalaman menarik, kami juga menyadari bahwa kebanyakan dari itu hanya mitos dan cerita yang dilebih-lebihkan. Kami mencoba melihatnya sebagai hiburan semata dan tidak terlalu memikirkannya secara serius.

Dalam perjalanan kami mengeksplorasi, kami belajar banyak hal baru. Kami belajar tentang keajaiban alam dan pesona sejarah yang terkandung dalam setiap tempat yang kami kunjungi. Kami belajar menghargai alam dan menjaga kelestariannya. Kami juga belajar bahwa terkadang, kebenaran bisa sangat subjektif dan tergantung pada sudut pandang kita.

Ketika memasuki tahun terakhir kami di SMA, kami memutuskan untuk membuat laporan akhir tentang perjalanan kami dalam klub eksplorasi. Kami mengumpulkan semua catatan, foto, dan kesaksian yang kami miliki. Laporan itu menjadi kenang-kenangan indah tentang masa-masa kami sebagai anggota klub eksplorasi yang penuh petualangan dan persahabatan.

Setelah kami lulus, kami semua melanjutkan ke jenjang pendidikan yang berbeda-beda. Namun, kami tetap menjaga hubungan persahabatan kami. Kami masih sering berkumpul untuk mengobrol dan mengenang kembali petualangan kami di masa SMA.

Kami menyadari bahwa klub eksplorasi telah memberikan kami banyak pengalaman dan pelajaran berharga. Kami belajar tentang keberanian, rasa ingin tahu, dan pentingnya menjaga ikatan persahabatan. Meskipun kehidupan kami mungkin telah berubah, kenangan masa putih abu-abu akan selalu hidup dalam hati kami.

Cerita ini merupakan karya dari Ahmad Meidaffa Prasetyo, dikutip dari buku Yash: Antologi Cerpen Smala 2023 karya Kelas XI-1 SMA Negeri 5 Surabaya.

Me and My Best Friends 

Bagiku, sahabat adalah seseorang yang dapat menghiburku, seseorang yang sangat berarti dalam hidupku, karena sahabatlah orang yang selalu ada untukmu. Aku memiliki banyak teman, hampir semua orang di kelasku, ingin berteman denganku. Sayangnya, mereka hanya memanfaatkan kepintaran dan kebaikanku. Mereka berteman denganku untuk membantu mereka mengerjakan PR. Tetapi aku cukup beruntung karena masih memiliki dua orang sahabat ,yaitu, Serlina dan Jean.

Perkenalkan namaku Gwen Amanda, kelas 6 SD, aku merupakan anak yang cukup pintar, karena sering mendapat juara kelas, oleh karena hal itu banyak temanku yang ingin bersahabat denganku.

"Gwen, aku boleh meminjam bukumu yang ensiklopedia tentang hewan?" tanya Jean, "Tentu," jawabku sambil mengeluarkan buku ensiklopedia yang berat dari dalam tasku, saat ini adalah waktu istirahat, Jean dan Serlina duduk dan makan bersama aku.

"Kukembalikan 5 hari lagi, ya, hari Jumat," kata Jean "lya, hari apa aja boleh asal jangan rusak, ya," kataku "Iyaa," jawab Jean.

"Gwen, kamu mendapat buku itu dari mana?" tanya Serlina.

"Oh, aku mendapat dari ayahku, sebenarnya buku itu sudah agak lama," jelasku "Ooohh...." seru Serlina.

Sudah 1 minggu berlalu sejak Jean meminjam buku milikku.

"Gwen, bukunya kukembalikan waktu istirahat, ya," kata Jean, aku hanya mengangguk mengiyakan.

"Jean, temani aku ke ruang guru sebentar, ya," seruku saat istirahat,.

"Bagaimana dengan Serlina?" tanyanya "Dia lagi mengerjakan tugas yang belum selesai," jelasku, "Oh, ayol" kata Jean.

Kami segera berjalan menuju ruang guru.

"Ah...." seru Jean. "Ada apa?" tanyaku dan Serlina, "Bukumu hilang, Gwen!" seru Jean panik, "Kita cari sama-sama, yuk!" ajakku, "Ok," seru Jean dan Serlina, tiba-tiba datanglah Jessica.

"Serlina, mungkin bukunya ada di dalam tas kamu, atau di dalam tas kamu Gwen," kata Jessica, aku segera mengecek tasku, tidak ada.

"Ahh..., bukunya ada di dalam tasku," kata Serlina, "Kamu mengambilnya?" tanya Jean, aku hanya diam terpaku tidak mungkin sahabat yang sangat kupercayai mencurinya buku milikku.

"Tidak, aku tidak mencurinya, buku ini tiba-tiba ada di dalam tasku," seru Serlina.

"Bohong, buktinya sudah cukup bukan, sudah jelas ada buku itu di dalam tas milikmu, tidak mungkin tiba-tiba muncul secara sendirinya," seru Jessica.

"Kamu benar mencurinya?" tanyaku masih tidak percaya, Serlina menggeleng, aku sebenarnya berpikir tidak mungkin Serlina sahabatku tega melakukannya.

"Gwen, sahabat pun dapat berkhianat, apalagi sahabat terdekat, masa kamu masih tidak percaya, sudah ada bukti nyatanya," seru Jessica. Sejak saat itu, aku dan Jean menjauh dari Serlina, akhirnya ia dijauhi oleh teman-teman yang lain.

Suatu hari, ketika aku berjalan melewati ruang ganti putri, aku mendengar Jessica sedang berbicara dengan sahabatnya, Queency. 

"Sebenarnya, Queen, kalau buku itu yang mencurinya adalah Vera, aku yang memintanya untuk mengambil dan menaruh buku itu di dalam tas Serlina, aku hanya ingin membalas dendam, pada kejadian waktu itu," jelas Jessica. Jadi, bukan dia?" tanya Queency, "Bukan, tapi janji jangan beritahu siapa-siapa, ya," pinta Jessica, "Balas dendam, kenapa?" tanya Queency.

"Yah, waktu TK, dia pernah melaporkan pada guru kalau aku mendorong temanku. Biarlah dia sekarang merasakannya," lanjut Jessica.

BRAK..., ku buka pintu ruang ganti, "Jadi, kamu memfitnah Serlina?" tanyaku pada Jessica.

"G... Gwenn...." seru Jessica kaget.

"Aku tidak akan melaporkannya pada guru, tetapi kau harus, meminta maaf pada Serlina, dan menjelaskannya pada teman-teman yang lain," seruku kesal.

"Ba...ba...iklah, tapi kau harus janji kalau tidak akan memberitahu kepada guru!" seru Jessica, "Janji," janjiku.

Sejak saat itu, Serlina kembali diterima oleh teman-temanku, semua teman meminta maaf atas kejadian itu, termasuk Jessica, aku dan Jean karena telah menyalahkannya. Setelah kejadian itu, aku, Serlina dan Jean kembali bersahabat, dan ditambah Jessica dan Queency.

"Aku ingin memberikan ini," kata Jessica sebagai permintaan maaf, ia memberikan sebuah gelang bertuliskan BFF. Dalam hati aku berjanji tidak akan asal menuduh sembarangan.

Cerita ini merupakan karya dari Chloe, dikutip dari buku Kumpulan Cerpen Karya Anak Bangsa karya Afwan Sutdrajat.

Contoh cerita pendek menarik: Ceroboh 

Humoris, ekstrovert, pintar mencairkan suasana, dia adalah Wanda, Teman baikku. Dulu sejak SMP, aku jarang sekali menemukan teman seperti Wanda.

Saat SMA saja, aku bisa menemukan teman sepertinya, tiap hariku dipenuhi kebahagiaan. Jika aku ada masalah, Wanda selalu menghiburku, kita sering menghabiskan waktu berdua mengelilingi kota, pergi bersama di tiap acara sekolah.

Pernah di suatu hari, kita pergi ke suatu mal di Surabaya untuk menemui teman dari beda kota, berhubung kita menggunakan motor, sebelum masuk ke mal kita pergi ke tempat parkir, dan mendapat karcis parkir yang harus diberikan ke petugas parkir saat keluar mal, karcisnya tidak boleh hilang karena jika hilang akan didenda, tapi dengan kecerobohanku ini, aku menghilangkan karcis tersebut, hingga kita sempat bertengkar hebat. 

"Ngel, karcisnya mana??" ucap Wanda saat kita hampir sampai di tempat parkir. 

"Loh? Bukanya kamu yang pegang? Tadi aku lihat kamu yang ambil karcisnya," ucapku sedikit panik.

"Enggak woy! Aku kan sudah kasih kamu waktu kita mengobrol sama Rita tadi?!"

Aku segera meraba kantongku, dan membuka tas kecilku. Aku sangat panik mendapati bahwa karcisnya tidak ada, untuk memastikan lagi, aku mengeluarkan semua barangku di tas kecil ini, tapi tetap saja aku tidak mendapati karcis tersebut.

Aku sedikit melirik ke arah Wanda, perasaanku bertambah panik dan sedih ketika melihat wajah Wanda yang mulai mengerut seakan dia marah.

Aku perlahan mengingat di mana aku meletakkan karcis tersebut, tidak lama kemudian aku teringat bahwa saat asyik mengobrol dengan temanku tadi, aku melipat lipat karcis tersebut dan meletakannya di meja kafe yang kita datangi tadi. Dengan rasa panik aku berlari masuk ke dalam mal dan menuju kafe yang kita datangi tadi.

Betapa paniknya aku mendapati karcisnya sudah tidak ada, aku sudah bertanya ke orang yang membersihkan tempat itu, katanya juga sudah di buang, mataku mulai berkaca kaca, pikirku pasti Wanda akan marah sekali.

"Karcisnya hilang nda...maaf," ucapku sedikit gemetar.

"Kan! Makanya jangan ceroboh Ngel!! Dendanya mahal loh! Uangku sudah tinggal sedikit!" bentak Wanda, wajar sekali dia marah karena aku yang terlalu ceroboh.

"Maaf Nda, aku pinjam dulu ya. Nanti aku kembalikan," badanku gemetar, ingin menangis rasanya.

"Urus sendiri saja! Aku tunggu di depan, lain kali jangan ceroboh dong Ngel!"

"Ya kalau kamu enggak ngasih karcisnya ke aku, enggak akan kaya gini!!! kamu kan ada tas juga, kenapa harus dikasih ke aku?! jangan nyalahin aku terus lah!"

Kita bertengkar sekitar 10 menit dan salah satu dari kita mulai mengalah dan meminta maaf, dengan semua cara yang kita pikirkan, akhirnya kita bisa keluar dari mal itu.

Di sepanjang jalan, kita hening saja dan merenungkan kejadian tadi.

"Maaf ya ngel, aku tadi kasar ke kamu..."

"Gapapa nda, maafin aku juga ya sudah ceroboh enggak hati-hati, maaf sudah bentak kamu juga."

Setelah itu kita bercanda ria, tertawa sambil di temani sepoi angin, dan cahaya kota. Kita memang bisa bertengkar hebat seperti ini, tapi kita tetap mempertahankan pertemanan kita apa pun yang terjadi.

Cerita ini merupakan karya dari Angelitanuryani, dikutip dari buku Meraki: Antologi Cerpen Smala 2023 karya Kelas XI-10 SMA Negeri 5 Surabaya.

Duduk di Bangku SMA 

Dini hari suasana rindang di sore hari pada tanggal 26 Juni 2023, aku membuat tugas liburan yaitu membuat cerpen meski kemarin aku berpikir apa boleh aku kumpulkan tugas cerpen yang pernah kubuat sebelumnya, akhir pun di esok hariku mempunyai sebuah ide atau tema seperti judul di atas. "Rasa Di Bangku SMA," kubuat judul ini untuk mengenang sebuah kisah keseharianku berada di bangku SMA, masa waktu berjalan hingga aku menjadi seorang senior saat masuk sekolah lagi.

Aku yang sedang berlibur hingga mendekati hari dimana aku memiliki adik kelas sebagai pelajar baru. Hal itu membuat diriku merasakan aku yang dulu pernah berpikir 'bisakah aku masuk ke sekolah favorit ini (SMAN 5 SBY) terus terang itu juga impian ayah dan ibu saya?'

Sebuah usahaku dan usaha kedua orang tuaku, takdir pun berjalan sesuai keinginanku untuk bersekolah di SMAN 5 SBY. Hari pertama masuk penerimaan siswa baru dengan mengenakan pakaian kemeja rapi dengan mencari namaku untuk mencari keberadaan kelasku, hingga sampai di kelas kulihat banyak sekali teman, hingga aku memiliki teman sebangku dengan menyapa bercakap-cakap dengan santai hingga semakin banyak aku berkenalan dengan temanku di kelas itu.

Waktu berjalan hingga hari di mana ada kegiatan semacam tes ujian sepertinya untuk menentukan kelas mana yang akan di tetapkan di kelas 10, kelas 10 dibagi sampai 10-10 aku pun masuk ke dalam kelas 10-1 bersama temanku.

Hari masuk sekolah mengenakan seragam SMAN 5 SBY, aku berada di kelas 10-1 duduk di bangku kelas baru dan teman baru di hari pertama dengan rasa canggung sedikit. Aku berbicara dengan teman, hingga suatu saat aku mengajak temanku bermain game online, itu membuat teman aku lainnya tertarik akan bermain bersama hingga aku pun memiliki beberapa teman. Waktu terus berjalan, temanku semakin banyak karena aku suka sekali bersosial berteman dengan banyak orang, bersekolah hingga aku mengenal berbagai tempat di sana semakin hari ke hari aku sudah mengenal berbagai tempat di sekolah dan mengenal berbagai guru pengajar.

Waktu terus berjalan hingga bersekolah membuatku merasakan bosan dan membuatku merasa bahwa 'sekolah di sini sangat sulit.' Aku merasa pencapaianku masih rendah karena ternyata banyak sekali temanku yang pintar di kelas. Aku merasa paling seru dan tidak membosankan mengikuti organisasi dan ekskul-ekskul yang ada, tetapi aku merasa sekolah ini banyak sekali teman yang aku merasa ia istimewa. Aku berpikir, 'mengapa meski aku suka bersosial aktif dalam berorganisasi dan berbagai ekskul, aku kurang dalam belajar dan nilaiku rendah?" 

Hingga pada masa sulit ini terus menghantui pikiranku. Suatu hari, aku pun pernah menyontek dalam mengerjakan ujian, kesalahanku ini pun terus kulakukan berbagai macam pekerjaan seperti penugasan, ujian harian, ujian semester. Aku berpikir cara ini bisa terus kulakukan hingga nilaiku tetap naik, tetapi suatu hari aku terlihat oleh guru pengajar bahwa aku ketahuan membawa kertas kecil untuk menyontek. Aku berharap itu tidak mengurangi nilaiku hanya kena poin, tetapi tanpa kuketahui ternyata orang tuaku tahu pada saat ibuku mengambil rapor kelas 10. Malam harinya, kedua orang tuaku menegurku.

"Kenapa kamu menyontek, Nak?" Aku pun terkaget setelah kedua orang tuaku memberikan nasehat kepadaku, aku menyesal akan perbuatanku aku pun meminta maaf kepada kedua orang tuaku akan kesalahanku selama ini.

Pada hari liburan telah tiba, masalahku pun selesai. Diriku dulu yang penuh kesalahan, aku ingin mengubahnya. Aku berpikir 'Melakukan kesalahan itu bisa menjadi pelajaran untukku,' Mengapa dalam kesulitan, kita tidak berusaha dulu. Kini aku belajar bagaimana menjadi orang yang bertanggung jawab dan selalu berusaha. Tuhan pun akan melihat usahaku untuk menyelesaikan masalahku.

Cerita ini merupakan karya dari Baihaqi Muhammad, dikutip dari buku Yash: Antologi Cerpen Smala 2023 karya Kelas XI-1 SMA Negeri 5 Surabaya.

Kemauan dan Usaha Si Miskin untuk Sekolah 

Di sebuah desa di pinggiran kota Medan, terdapat dua orang perempuan kakak beradik yang hidup tanpa kedua orang tua. Ilona dan Azura adalah anak yatim piatu sejak mereka berada di bangku sekolah dasar. Saat itu, Ilona berusia 8 tahun dan Azura 7 tahun, di usia tersebut mereka merasakan pahitnya kehilangan orang tua. 

Setelah kedua orang tuanya meninggal, Ilona dan Azura tinggal dengan paman dan neneknya. Mereka hidup dengan pas-pasan, tetapi Ilona dan Azura memiliki tekad untuk terus bersekolah. Ilona dan Azura adalah siswa yang pintar di sekolahnya. Mereka selalu mendapat juara kelas dan diikutsertakan dalam lomba-lomba cerdas cermat. Dari situlah mereka mendapat beasiswa untuk terus dapat bersekolah. Ilona dan Azura bercita-cita ingin meneruskan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Tetapi karena keterbatasan biaya, mereka hanya dapat berusaha dengan belajar segiat mungkin agar mendapat beasiswa untuk terus bersekolah. 

Sepulang sekolah, Ilona dan Azura akan menjajakan gorengan dengan berkeliling kampung. Gorengan tersebut mereka ambil dari tetangga sekitar rumah. Setiap gorengan yang laku, mereka mendapat upah Rp200. Mereka selalu menjajakan gorengan dengan semangat dan berharap gorengan akan habis sebelum waktu sore.

"Gorengan... gorengannya pak buk," ucap Ilona dan Azura dengan suara sedikit keras.

"Gorengan... tahu, tempe, bakwan...." sambil berjalan Ilona dan Azura terus berseru menjajakan dagangannya.

"Dek, sini ibuk mau beli," panggil seorang ibuk dari depan rumahnya. Ilona dan Azura pun mendekati rumah ibuk tersebut.

"Berapa satunya, dek?" tanya ibuk tersebut sambil melihat gorengan yang di bawa Ilona..

"Satunya Rp 1.000-an buk," jawab Ilona.

"Ibuk beli 10 ya, bakwan 4, tahu 3, tempe 3," ucap si ibuk. Ilona pun membungkus gorengan dengan hati senang.

"Ini buk gorengannya," ucap Ilona sambil menyerahkan gorengan yg sudah di bungkus tadi. Kemudian ibuk tersebut memberikan uang Rp 10.000 kepada Ilona.

"Terima kasih ibuk," ucap Ilona dengan tersenyum. Ilona dan Azura pun kembali berkeliling menjajakan dagangannya.

Hari sudah mulai sore, dagangan mereka masih ada beberapa lagi. Mereka pun memutuskan untuk pulang saja. Mereka harus mengantar uang hasil jualan dan sisa gorengan ke pada tetangganya. Upah yang di dapat hari ini adalah Rp 10.000.

Setelah itu mereka bergegas pulang untuk membantu nenek di rumah. Upah dari berjualan gorengan mereka tabung untuk membeli peralatan sekolah. Karena paman dan nenek hanya buru lepas, dengan upah yang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Itu lah keseharian yang Ilona dan Azura lakukan, saat ini Ilona dan Azura sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Karena kepintarannya, mereka mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah. Keterbatasan ekonomi tidak membuat mereka patah semangat.

Paman dan neneknya selalu mendukung Ilona dan Azura untuk terus bersekolah. Mereka berharap kelak Ilona dan Azura meniadi orang yang sukses. Sehingga tidak lagi merasakan sulitnya bertahan hidup dengan segala keterbatasan yang seperti dialami paman dan neneknya. Semangat dan keinginan Azura dan Ilona untuk terus bersekolah di tengah keterbatasan menjadikan mereka orang-orang yang rendah hati dan tidak sombong meski memiliki kepintaran. Azura dan Ilona berharap kedua orang tua mereka merasa bangga atas diri mereka.

Setelah menempuh pendidikan beberapa tahun, Ilona lulus kuliah dengan gelar summa cumlaude dengan nilai yang memuaskan. Azura juga sedang menempuh pendidikan dan sudah semester 6. Azura kuliah sambil bekerja untuk menambah uang sakunya. Ilona mendapat tawaran mengajar les privat di salah satu tetangganya. Ilona pun menerima tawaran tersebut. Ilona mengajar les privat tiga kali pertemuan dalam seminggu dengan waktu 2 jam setiap pertemuan. Ilona mengajarkan semua mata pelajaran mulai dari Matematika hingga IPA.

Sebenarnya, Ilona adalah guru Bahasa Inggris. Tetapi karena ini pelajaran tingkat sekolah dasar, sehingga Ilona tidak merasa kesulitan. Untuk mengisi waktu di kampung, Ilona membuka praktek mengajar les. Saat ini murid les di tempat Ilona berjumlah 10 orang, terdiri dari 3 siswa SD, 4 siswa SMP dan 3 siswa SMA. Untuk siswa SD, Ilona mengajar semua mata pelajaran. Untuk siswa SMP, Ilona hanya mengajar 4 mata pelajaran, yaitu matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan IPS. Sedangkan untuk siswa SMA, Ilona hanya mengajarkan matematika, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.

Ilona tidak menentukan besaran uang lesnya. Ia menerima pembayaran semampu murid yang diajarnya. Karena llona sudah rasakan betapa sulitnya menuntut ilmu, jadi Ilona tak ingin memberatkan murid-murid lesnya. Melihat keinginan belajar murid-muridnya, Ilona sudah cukup senang. Ilona membuka praktek mengajar di ruang tamu rumah neneknya. Ilona mengajar les dengan tiga kali pertemuan dengan waktu 2 jam dia setiap pertemuan. Meskipun begitu, Ilona tidak melarang siapa saja yang datang kepadanya untuk bertanya mengenai tugas sekolah yang kurang di mengerti. Ilona akan membantu orang-orang yang memerlukan bantuannya semampunya.

Azura dan Ilona sekarang sudah tidak tinggal dengan paman dan neneknya lagi. Karena jarak kampus dan rumah neneknya cukup jauh, Ilona dan Azura memutuskan untuk menyewa satu kamar kost di dekat kampus. Untuk memenuhi kebutuhan makan dan lain lain, Ilona sewaktu kuliah bekerja part time. Saat masih kuliah dulu, Ilona bekerja part time di salah satu toko kosmetik di dekat kampusnya. Ilona bekerja dari sepulang kuliah hingga malam pukul 20:30 WIB dengan upah Rp 270.000,00 per minggunya.

Tetapi karena Ilona sudah lulus, Ilona pun kembali ke kampung untuk kembali menemui paman dan neneknya. Ilona sudah sangat rindu dengan paman dan neneknya. Kini paman Ilona sudah menikah dan memiliki dua anak perempuan yang hanya terpaut satu tahun. Sama seperti Ilona dan Azura. Tetapi anak Pamannya masih balita. Sungguh lucu dan menggemaskan sepupunya itu.

Tapi karena Ilona kembali ke rumah paman dan neneknya, maka Azura tinggal sendirian di kota. Azura juga merindukan neneknya tetapi uangnya yang hanya tersisa sedikit lagi. Hanya cukup untuk kebutuhan makan beberapa hari ke depan. Azura juga tidak bisa mengambil cuti di tempat kerjanya juga gajinya belom turun karena ini masih akhir bulan.

Azura terpaksa harus tetap tinggal di kota. Azura ingin sesegera mungkin menyelesaikan pendidikan sarjananya agar dapat bekerja yang lebih bagus lagi. Azura ingin mengajak neneknya jalan-jalan. Neneknya pasti akan sangat senang jika di ajak jalan oleh cucu-cucunya. Azura dan Ilona membuktikan bahwa Allah pasti selalu memberikan apa yang kita butuhkan. Meski tanpa orang tua, llona dan Azura dapat menyelesaikan pendidikan sarjananya. Berkat doa, usaha, dan ketekunan, mereka dapat meraih apa yang mereka cita-citakan.

Cerita ini merupakan karya dari Ayu Aprilliani, dikutip dari buku Perspektif Pendidikan Generasi Milenial oleh Mahasiswa PBSI 4A UMN Al-Washliyah

Contoh cerita pendek menarik: Sampai Akhir Menutup Mata 

"Ben, kamu udah bersyukur belum hari ini?" pertanyaan yang sering dilontarkan kawanku Andi setiap harinya yang membuatku tersadar betapa pentingnya bersyukur atas kehidupan yang telah Tuhan berikan kepada kita. Alasan Andi bertanya seperti itu kepadaku tak lain ia hanya ingin membuatku ingat akan perjuangan para pahlawan yang rela mati demi mengibarkan bendera merah putih yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Sikap ramahnya membuatku semakin beruntung memiliki sahabat seperti Andi, mungkin tak banyak orang yang seperti Andi di dunia ini.

"Andi, kamu enggak latihan hari ini?" tanyaku kepada Andi yang sedang memainkan game di ponselnya.

"Kayaknya hari ini aku enggak bisa latihan, soalnya badanku kurang fit, Ben," jawab Andi sambil menoleh ke arahku. Tidak biasanya Andi seperti itu, mungkin ia terlalu lelah karena kemarin telah berlatih renang dengan keras. Aku pun terpaksa harus berlatih renang tanpa Andi hari ini.

Aku dan Andi adalah atlet renang nasional yang tahun lalu ikut kejuaraan renang di Thailand, namun hasilnya kurang memuaskan. Kami gagal mempersembahkan medali emas bagi Indonesia, dan tahun ini kami berharap bisa mengumandangkan lagu Indonesia Raya di negeri orang. Bulan depan, aku dan Andi akan melewati masa karantina, maka dari itu kami harus mempersiapkannya dari sekarang untuk mengikuti kejuaraan renang di Singapura.

Masa karantina pun telah dimulai, semua atlet renang termasuk aku dan Andi sangat berlatih keras demi menampilkan yang terbaik di Singapura nanti. Semangat begitu terpancar di wajah Andi yang selalu melontarkan pertanyaan sakral kepadaku setiap harinya itu.

"Ben, tahun ini kita harus bisa kibarkan bendera Indonesia dan kumandangkan Indonesia Raya di Singapura, bawa medali emas!" ucap Andi kepadaku ketika sedang latihan.

Tak terasa, kami pun sudah berada di Singapura dengan semangat 45 yang berkobar. Kebetulan kejuaraan ini bertepatan dengan bulan Agustus, bulan dimana Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Andi sangat berantusias untuk memberikan kado terindah bagi ulang tahun Indonesia yang hanya beberapa hari lagi.

Dua hari lagi, aku akan bertanding melawan negara-negara lainnya yang akan memperebutkan medali lewat cabang renang gaya punggung putra. Sementara sehari setelahnya, Andi akan berlaga di gaya bebas putra. Meskipun Andi adalah seorang kristiani, tetapi ia sering menngingatkanku akan berdoa atau solat terlebih dahulu sebelum bertanding.

Hari ini aku gagal mengumandangkan Indonesia Raya di Singapura walaupun pencapaianku hari ini lebih baik ketimbang tahun lalu. Namun, di kejuaraan tahun ini aku berhasil mempersembahkan medali perak bagi Indonesia.

Keesokan harinya, giliran Andi sahabat terbaikku yang akan berjuang di medan perang. Ketika bertanding, Andi selalu menganggap semua lawannya seperti para penjajah di masa lampau yang banyak menyengsarakan rakyat Indonesia. Dengan begitu, Andi bisa lebih bersemangat dalam bertanding. Tahun lalu, Andi hanya mendapatkan medali perak dan tahun ini ia menargetkan emas untuk dibawa pulang ke Indonesia.

Semalam sebelum bertanding, Andi menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan sangat lantang. Katanya, ia harus berlatih mengumandangkan lagu Indonesia Raya untuk besok karena ia sangat yakin besok bisa menjadi juara pertama di renang gaya bebas putra sehingga bisa mengumandangkan lagu ciptaan W.R Soepratman itu.

Hari yang ditunggu Andi pun telah tiba, ia sudah mempersiapkan segala-galanya. Dan tak lupa Andi kembali mengingatkanku lagi dengan pertanyaan sakralnya. Semua perlengkapan telah melekat di badan atletisnya itu. Tak lama setelah bel berbunyi tanda dimulainya lomba, Andi pun meluncur deras ke dalam kolam bak laut biru itu dan menyerahkan semua hasilnya pada Sang Maha Kuasa. 

Andi harus menyelesaikan lomba ini dengan dua putaran. Pada putaran pertama Andi berhasil memimpin, namun ketika berputar balik kecepatannya terlihat menurun dan setelah itu tubuh Andi sekan tak terlihat lagi. Andi tak berhasil menyelesaikan perjuangannya, ia tak sadarkan diri ketika akan mendekati garis finish. Andi telah berpulang di Singapura.

Semua rombongan timnas renang Indonesia termasuk aku sangat terpukul dengan kepergiannya terlebih Andi adalah sahabat terbaikku selama ini. Namun perjuangannya tidaklah sia-sia, impiannya untuk mengumandangkan lagu Indonesia Raya tidaklah sepenuhnya gagal. Untuk menghormati dan memberikan selamat jalan kepada Andi, lagu Indonesia Raya pun berkumandang di Singapura. Dan aku yakin, Andi pun pasti ikut bernyanyi bersama kami.

Aku bangga memiliki sahabat seperti Andi yang berjuang habis-habisan di medan perang walaupun kondisinya tidak begitu baik hanya untuk bisa kibarkan merah putih, dan kumandangkan Indonesia Raya sampai akhir hayatnya, sampai matanya benar-benar takkan pernah terbuka lagi.

Cerita ini merupakan karya dari Erfransdo, dikutip dari buku Kumpulan Cerpen Karya Anak Bangsa karya Afwan Sutdrajat.

Hiduplah Indonesia Raya 

"Hiduplah Indonesia Raya...", begitu lagu itu berakhir aku langsung menurunkan tanganku kembali yang tadinya kudekatkan di alis kananku. Ingin rasanya aku berada di gedung itu bersama dengan anak-anak lainnya yang bisa mengikuti upacara bendera menggunakan seragam yang menurutku bagus, lebih bagus daripada pakaian yang aku kenakan sekarang ini. Walaupun aku hanyalah seorang anak jalanan, tetapi aku masih mempunyai rasa semangat yang tinggi untuk menempuh pendidikan. Namun apa daya, aku tak bisa mewujudkan angan-angan itu karena tak ada yang peduli dengan orang semacam aku ini.

Setiap Senin pagi, aku selalu kabur dari kakakku yang sedang mencari barang-barang rongsokan, karena aku ingin sekali mengikuti kegiatan upacara bendera walaupun hanya di luar gedung sekolah SMP. Jika aku masih sekolah, aku seumuran dengan mereka, dan sepertinya aku saat ini sedang duduk di bangku kelas 8. Betapa bangganya aku jika bisa merasakan seperti apa yang mereka rasakan.

"Hani, ngapain kamu berdiri di situ, ayo bantu kakak cari plastik!!" tegur kakakku pelan takut orang-orang di sekolah mendengarnya. Aku yakin, kakakku juga pasti ingin sekolah sepertiku, namun ia tak pernah memperlihatkan keinginannya kepadaku.

"Iya kak sebentar lagi, benderanya belum naik ke atas," jawabku dengan tidak merubah posisi hormatku kepada bendera. Tak lama setelah itu, bendera pun telah sampai di atas, dan pemimpin upacara kembali menyiapkan. Tanganku ditarik kakak sampai ke pinggir sekolah, dan hampir saja motor yang ada di depan menabrak kami, untugnya kami cepat menghindar.

"Kamu itu ya, sudah dibilangin sama kakak berkali-kali masih aja ngeyel, mulai minggu depan kamu enggak boleh ke sini lagi!" kakakku memarahiku. Aku pun hanya menggangguk dengan muka yang kecut.

Di dunia ini, aku hanya memiliki Tuhan dan kakakku saja. Aku tak tahu sedang ada dimana kedua orang tuaku saat ini, mungkin mereka sudah meninggal, tapi entahlah aku tidak terlalu memikirkannya. Aku dan kakakku tidak mempunyai tempat tinggal tetap, terkadang kami tidur di pinggir jalan, di pinggiran toko (itu pun kalau tidak diusir), atau sesekali di kolong jembatan. Untuk bertahan hidup, kami sering mengumpulkan barang bekas yang nantinya akan dijual ke tukang pengumpul barang bekas, dan hasilnya akan kami belikan untuk makan, itu pun kadang belum cukup.

Dua hari lagi adalah hari kemerdekaan Indonesia yang ke-71, dan semua sekolah pasti akan mengadakan upacara kemerdekaan memperingati hari jadi Indonesia. Aku ingin sekali mengikuti upacara itu, tapi aku bingung bagaimana caranya. Jika aku menyelonong masuk ke dalam barisan, yang ada aku akan diusir oleh penjaga. Meminta bantuan kakak hanya mencari mati saja, aku harus mencari cara sendiri untuk bisa mengikuti upacara kemerdekaan di lapang yang pastinya tidak dengan pakaian yang aku kenakan seperti saat ini.

Aku mempunyai ide untuk memakai baju seragam SMP dan berpura-pura menjadi siswi yang mengikuti upacara kemerdekaan agar bisa bergabung bersama mereka. Aku tak peduli bagaimanapun caranya aku harus bisa mendapatkan seragam itu. Kalau melihat tabunganku, mana bisa membeli baju seragam SMP. Kalau aku mencuri, aku tak mau menanggung akibatnya nanti, terlebih Tuhan akan menghukumku nanti di akhirat. Tiba-tiba kakakku menegurku yang sedang melamun, sontak aku pun terkejut.

"Hei, kenapa kamu melamun siang siang bolong gini?" tanya kakakku penasaran. Apa aku harus jujur kepadanya, ah jangan pasti kakak akan memarahiku.

"Begini kak, kemarin aku melihat boneka bagusss. sekali, aku mau membelinya tapi tabunganku enggak cukup, aku boleh enggak pinjem uang kakak, nanti aku ganti..", pintaku dengan penuh harap.

Kakakku berpikir sejenak tidak bersuara, dan tak lama kemudian kakak pun memberikan uang pinjaman kepadaku. Syukurlah, aku sudah menemukan jalan keluarnya. Siang ini aku akan ke pasar membeli baju bekas untuk lusa. Setelah membeli baju SMP bekas, aku pun harus cepat-cepat untuk menyembunyikannya takut kakakku tahu. Kalau tahu, urusannya bisa lebih panjang. 

"Katanya mau beli boneka, mana bonekanya?" tanya kakakku penasaran. Aku bingung menjawab pertanyaan horror itu, terpaksa aku harus berbohong kali ini. Aku pun mengaku bahwa boneka itu sedang dipinjam oleh teman baruku di jalanan. Kakak sebenarnya sempat tidak percaya, namun ketika aku meyakinkannya akhirnya ia pun percaya. Maafkan aku kak harus berbohong, karena aku ingin sekali mengikuti upacara itu.

Keesokan harinya aku pun mencoba untuk membersihkan baju bekas itu untuk dipakai besok di lapangan. Namun, aku sangat terkejut ketika baju baruku itu sudah tidak ada di tempat persembunyian kemarin yang aku simpan di bawah gerobak yang selalu aku dan kakakku bawa. Siapa yang berani mencuri bajuku?

Kakakku tidak mungkin melakukan hal itu, karena kakakku tidak pernah memeriksa gerobak. Aku menangis sejadi jadinya, kucari kemana-mana baju itu tetap tidak ketemu. Impianku untuk menghadiri upacara sambil memakai seragam putih biru sudah kandas. Aku tidak mempunyai uang lagi untuk membeli baju itu. Aku pun hanya bisa pasrah menerima keadaan. 

17 Agustus pun telah tiba, aku terbangun di pagi-pagi buta siapa tahu Tuhan memberikan aku kejutan, sebuah baju bekas itu. Namun khayalan itu benar-benar tidak terjadi. Aku sangat sedih dan aku pun menangis kembali. Ketika aku bangun, kakakku sudah tidak ada, sepertinya ia sudah mencari plastik, namun tak seperti biasanya ia mencari barang rongsokan pagi pagi begini.

Satu jam kemudian, aku pun memutuskan untuk kembali bekerja mengumpulkan barang rongsokan sambil menunggu upacara kemerdekaan dimulai, tak apalah kalau harus menyaksikannya di luar lapangan. Ketika aku hendak pergi, tiba-tiba suara kakakku terdengar dari belakang. Ketika aku menoleh ke belakang, kakakku berucap "Ini yang kamu inginkan?" kakakku berkata seperti itu sambil memperlihatkan baju putih biru yang berbeda dari yang aku beli. Apakah ini kejutan dari Tuhan yang tertunda tadi pagi? Aku sama sekali tidak menyangka kakakku bisa memberikanku kejutan yang membuatku terharu.

"Kemarin kamu bodoh sekali, sudah tahu itu tempatnya tidak aman, ya kakak ambil ternyata satu setel baju SMP, dan baju itu kotor sekali, kakak pun berniat untuk membelikanmu yang lebih bagus hasil penjualan plastik kemarin sore", kakakku menjelaskan itu semua. Aku pun tersipu malu dan meminta maaf kepada kakak sekaligus berterima kasih karena telah perhatian kepadaku. Aku pun menjelaskan untuk apa aku beli baju itu. Dan setelah aku menjelaskan semuanya, kakakku langsung menyuruhku segera memakai baju baru itu dan segera menyuruhku lari karena acara akan segera dimulai.

Aku berlari sekencang-kencangnya sambil mengumandangkan lagu Indonesia Raya walaupun suaraku tidak begitu bagus, namun aku sangat puas. Setelah sampai di lapangan, aku pun masuk ke dalam barisan anak kelas 8, orang-orang di sekelilingku pun menatapku aneh. Aku pun hanya membalas mereka dengan ucapan "Aku adalah anak baru..", sambil tersenyum dengan rasa malu. Lalu mereka pun kembali ke posisi semula seakan-akan mereka telah mempercayaiku.

Aku berhasil, aku berhasil mengikuti upacara bendera yang sangat spesial ini. Aku tidak akan pernah melupakan momen bersejarah ini sepanjang hidupku.

"Hiduplah Indonesia Raya...", kami pun menurunkan tangan kami tanda bendera telah berada di puncaknya.

Cerita ini dikutip dari buku Kumpulan Cerpen Karya Anak Bangsa karya Afwan Sutdrajat.

Contoh cerita pendek pendidikan: Persahabatan 

Ada seorang siswa dari SMA 1 Bangkit yang bernama Sandy. la adalah seseorang yang baik dan pintar. Di sekolah banyak yang menyukai dia karena dia rendah hati dan suka membantu temannya yang sedang kesusahan. Selain itu, Sandy juga aktif dalam berorganisasi sehingga para guru pun ikut menyukai Sandy karena memiliki sikap yang baik.

Selain Sandy, ada juga siswa yang bernama Andi. Andi memiliki sifat yang berbanding terbalik dengan Sandy. Andi seseorang yang pintar tetapi ia sering menyombongkan hal-hal yang ia miliki. Selain itu, Andi tidak aktif dalam organisasi sekolah karena ia menganggap teman-temannya tidal selevel dengan dia.

Suatu hari, ibu guru mengumumkan bahwa akan ada perlombaan pidato pada tingkat provinsi. Perlombaan itu membuka kesempatan seluas-luasnya untuk seluruh siswa SMA. Setelah mendengar pemberitahuan itu, Sandy berminat untuk mendaftar perlombaan tersebut. Andi yang mendengar pemberitahuan itu juga ingin mengikuti perlombaan itu.

Setelah itu, Sandy mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan untuk mengikuti perlombaan. Mulai dari teks dan pakaian ia persiapkan dari jauh-jauh hari. Hari demi hari Sandy lalui dengan berlatih berpidato supaya dapat memenangkan perlombaan tersebut. Di sisi lain, Andi yang merasa sudah bisa berpidato dengan baik. Andi melalui hari demi hari dengan bermain dan bersantai-santai.

Pada saat di sekolah, Andi suka mengganggu Sandy yang sedang berlatih untuk mempersiapkan perlombaan. Tentu saja konsentrasi Sandy terganggu. Sandy menghiraukan gangguan tersebut. Andi berpikir jika dia mengganggu Sandy maka Sandy tidak fokus, sehingga saat berlatih konsentrasinya terganggu dan berharap tidak maksimal. Tetapi, Sandy tetap fokus untuk berlatih supaya keinginannya dapat tercapai.

Tiba saat hari lomba, Sandy dan Andi mempersiapkan diri di belakang panggung. Andi mendapat undian lebih dulu dibandingkan dengan Sandy. Saat di atas panggung, Andi mendadak lupa tentang isi teks pidato yang ia hafalkan. Hal itu terjadi karena Andi tidak mempersiapkan perlombaan ini dengan baik. Akhirnya, giliran Sandy pun telah tiba.

Sandy melalui perlombaan ini dengan sangat luar biasa. Sehingga para hadirin yang menghadiri perlombaan itu terkagum-kagum. Akhirnya, panitia memutuskan untuk mengundur pengumuman sang juara. Saat keluar dari gedung perlombaan, sepanjang perjalanan pulang Andi selalu mengejek Sandy. Andi merasa ia lebih baik dari pada Sandy. Sandy pun hanya diam saja dan tidak menggubris. 

Keesokan harinya, Sandy dan Andi berangkat bersama. Setibanya di sana, mereka berdua duduk bersebelahan. Tiba pada waktunya, MC membacakan sang juara. Tanpa diduga Sandy menjadi juara 1. Saat mendengar pengumuman juara itu Andi terdiam. Andi kaget mengapa ia tidak menjadi juara 1. Sandy maju ke atas panggung dengan bangga, karena usahanya yang selama ini dilakukan tidak sia-sia. Selama perjalanan pulang Andi hanya terdiam, teman-teman yang tahu sikap yang dilakukan Andi kepada Sandy pun mencemoohnya. Andi hanya dapat terdiam dan menangis. Tak lama kemudian Sandy datang menghampiri Andi, la memberi semangat kepada Andi. Andi kagum kepada Sandy, dia berfikir setelah apa yang ia lakukan kepada Sandy, ia masih bersikap baik. Andi pun akhirnya meminta maaf atas segala perlakuan yang telah dilakukannya.

Keesokan harinya saat berada di kelas. Andi berinisiatif untuk meminta maaf kepada seluruh teman kelasnya atas semua yang pernah ia lakukan kepada teman-temannya. Andi berharap mendapat pemaaf dari teman-temannya dan ia berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan- perbuatan buruk yang pernah ia lakukan. Teman-teman kelasnya pun berlapang dada. Mereka akhirnya dapat bermain bersama tanpa dendam.

Cerita ini merupakan karya dari Ridhwan Akmal Mahardika, dikutip dari buku Cerita Kita untuk 2022: Kumpulan Cerpen Karya TN-31 oleh Taruna Nusantara Angkatan ke-31

Kutemukan Makna Hidup 

Kehidupan merupakan perjalanan yang tidak singkat, penuh dengan rintangan, serta kadang-kadang bisa jatuh apabila menjalankannya tidak benar berhati- hati. Aku diberi nama oleh kedua orang tuaku yaitu Vina. Temanku-temanku sering menganggap aku adalah seseorang yang pendiam, terutama di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), di mana kami sedang menempuh pendidikan. Aku sangat menikmati masa-masa indah SMK-ku, meskipun aku tidak pernah memperoleh apa yang selama ini aku inginkan. Ketika aku masih SMK, aku mempunyai beberapa teman-teman akrab, seperti Fani dan Mela, yang merupakan temanku sewaktu menempuh pendidikan Sekolah Menegah Pertama (SMP).

Ayahku telah menghembuskan nafas terakhir sejak empat tahun yang lalu. Sejak ayahku telah tiada, aku telah tinggal bersama budeku yang bernama Risa, ia merupakan kakak kandung dari Ayahku. Ibu kamu dimana, Nak? Yah, Ibuku telah menghembuskan nafas terakhirnya saat berusia dua tahun. Dia meninggal karena penyakit jantung yang telah diidap selama satu setengah tahun.

Aku sekarang ini tidak dapat merasakan kasih sayang dan pelukan yang hangat dari seorang Ibu. Kadang-kadang perilaku aku bisa membuat warga-warga yang tinggal di sekitarku itu marah-marah. Aku menyadari hal itu, yah tapi mau bagaimana lagi, itulah aku.

Aku telah membuang kesempatan serta menyia-nyiakan waktu dalam kehidupanku saat ini. Aku selalu berpikir-pikir untuk kesenanganku sendiri dan memiliki sifat yang egois. Aku tidak menyadari bahwa selamanya hidup itu tidak akan mungkin mendapatkan kebahagiaan serta kesedihan yang kadang-kadang kutemukan telah masuk dalam kisah hidupku. Ayah pernah menasihati aku "Hidup itu bagaikan sebatang pohon". Aku berpendapat setiap istilah mungkin memiliki makna yang khusus yang tidak dapat dijelaskan secara mendalam, namun aku lebih suka dengan daun di pepohonan.

Ayah berkata "Daun-Daun itu akan tumbuh, lalu berjatuhan serta berganti kembali dengan daun yang baru, hal itu terkait dengan seseorang yang baru lahir, akan pergi dan akan muncul kembali generasi-generasi yang baru". Dan disinilah, aku telah menemukan makna dari kehidupan yang sesungguhnya.

Lonceng telah berbunyi, kegiatan belajar mengajar akan segera dimulai, namun masih ada beberapa siswa yang berkeliaran di luar sekolah, mereka sedang merapikan pakaian, segera berlari menuju gerbang sekolah dikarenakan mereka terlambat datang untuk dapat lolos dari pintu gerbang yang selalu ditutup pada pukul 07.00. Situasi ini sudah menjadi kebiasaan yang bisa aku lihat setiap hari. Aku sempat senang dengan tempat yang saat ini kududuki karena setiap sudut tempat dapat aku pandang.

Aku sangat kaget pada saat tangannya Fani mendarat ke pundakku "Idih! serius amat seh, lagi lihat apaan hayo...?" Fani menanyakan kepada aku lalu kujawab "Tidak ada kok". Temanku yang bernama Fani itu sedang kebingungan namun tetap dengan senyuman yang manis di bibirnya sering membuatku itu gemas.

Kemudian...Tuk....tuk....tuk.....suara sepatu menginjak lantai itu hampir dekat di ruangan kelasku. Para siswa yang sudah terbiasa dengan suara itu segera berhampuran menuju tempat duduknya masing-masing. Walaupun mereka sedang menikmati di gasebo yang paling asyik mereka sedang membicarakan seputar gosip selebritas yang terkenal dalam stasiun televisi. Sejak tadi, suasana kelasku hampir mirip seperti pasar, kemudian saat ini menjadi sepi seperti di tempat pemakaman.

Pada saat kegiatan belajar berakhir semua siswa pada pulang menuju rumahnya masing-masing, aku memutuskan untuk jalan sendiri menuju rumahku, dikarenakan aku akan mencari tempat yang ingin kudatangi. "Eh, mau kemana Vin?" Mela bertanya kepadaku "Cuma ingin ke toko sebentar," Aku menjawab pertanyaan dari Mela. Disambung dengan Fani sahabatku "Lah.. Mel kamu kok kaya tidak tahu aja aktivitas yang dilakukan Vina, lupa nin yah, hari ini adalah Kamis."

Dilanjutkan dengan perkataan Fani memberi saran kepadaku "Oh iya aku lupa, ya sudah hati-hati dijalan Vina,". Aku hanya dapat membalaskan dengan menganggukan kepalaku dan mereka telah tahu maksud dari anggukan kepalaku tadi.

Kemudian aku disini, aku berdiri memandang langit yang hampir mendung. Angin yang berhembus membuat pohon-pohon dan rumput-rumput yang berwarna hijau itu bergoyang, serta daun-daun berserakan mengikuti alunan musik yang diiringi oleh angin. Aku sangat menyenangi serta semua itu hanya dapat aku peroleh di dunia ini.

Di tepian sungai yang dekat rumahku, bukan berarti di toko buku sewaktu yang kukatakan kepada Fani dan Mela, aku duduk di bawah pohon mangga sambil melihat setiap tempat yang sunyi hanya ada aku, beberapa pohon yang lainnya, rumput-rumput hijau, serta daun-daun yang ada di sekitarku. Aku kadang-kadang heran kenapa tempat yang bagus seperti ini tidak pernah terlihat oleh mereka yang ingin mencari suatu hiburan untuk menghilangkan rasa stresnya seperti mereka pergi ke mall, cafe, diskotik, dan tempat-tempat hiburan malam.

Yah, aku menyadari bahwa setiap orang memiliki daya berpikir yang tidak sama. Aku telah duduk disini hampir kurang lebih 45 menit, tidak ada yang berubah, hanyalah daun-daun yang berjatuhan serta angina yang berhembus secara tidak lambat. Aku capek, seandainya aku masih memiliki waktu yang banyak untuk duduk di tempat ini, namun sayang di sayang waktu telah menunjukkan jam 14.45, aku cemas budhe sangat khawatir dengan keadaanku.

Selama perjalanan pulang, aku melalui beberapa toko dan rumah yang sama sekali kosong atau tidak ada penghuninya sama sekali. Jalan ini sudah biasa kulewati selama perjalanan pulang sekolah. Di depan rumah yang bermodel zaman dahulu, kakiku telah berhenti melangkah, bangunan masih belum direnovasi sampai sekarang dan masih kelihatan sangat asli seperti dahulu kala. Pemilik tidak pernah mengurus rumah tersebut sehingga rumah itu tidak terlihat penghuni sama sekali. Aku sangat penasaran ingin mencari informasi tentang rumah tua tersebut namun...tiba-tiba ada seorang ibu yang berada di rumah tersebut kemudian aku bertanya dengan hati yang sangat ragu-ragu 

"Selamat sore ibu, maaf apakah ibu yang punya rumah ini?" kemudian sang ibu itu membalas pertanyaan itu.

"Selamat sore juga, oh bukan, saya adalah anak yang punya rumah ini, apakah adik tinggal dekat dengan rumah ini? Aku menjawab dengan nada yang tidak begitu kasar "Oh saya kira ibu yang punya rumah ini, oh iya rumah saya sangat dekat dengan rumah tua ini". Kemudian, aku memperkenalkan diri kepada sang ibu itu dan sambil mengulurkan tanganku "Perkenalkan, nama saya Vina" ibu tersebut merespon "Oh iya, nama saya Rini, adik cukup panggil saja dengan tante Rini". Tante itu kelihatannya sangat baik, lalu aku telah menghabiskan waktu yang lama untuk mengobrol dengan tante itu.

Tante itu bercerita kepadaku tentang perjuangannya selama tiga tahun saat ini sembuh dari penyakit kanker otak yang diidapnya. Suatu penyakit yang membuatnya menjadi lebih menghargai hidup dan ia betapa pentingnya soal waktu. Aku jadi teringat tentang Ayah yang dahulu berjuang melawan penyakit jantung yang diidapnya pada waktu itu. Ia hampir putus asa sampai-sampai ingin nekad mengakhirinya hidupnya dengan cara gantung diri. Namun, salah satu alasan yang menyebabkan ia tidak melakukan niat tersebut dan tetap semangat menjalani hari demi hari dengan penyakit yang diidapnya adalah aku yang sebagai anak kesayangannya. 

Tante Rini mengatakan kepadaku "Ayah Vina merupakan orang yang sangat baik" kemudian aku menjawabnya "Ya, ayahku adalah orang yang sangat baik di dunia ini."

Kemudian tante itu mengucapkan kepadaku kembali "Ayah kamu pastilah seorang pekerja keras, apa benar adik?" Aku menjawab dengan cara mengangguk-anggukkan kepalaku. Garis-garis halus yang ada pada wajah sang ayah menunjukkan bahwa ia adalah seseorang orang tua yang sangat kuat serta rela berkorban apapun demi membahagiakan keluarganya.

Tante Rini mengatakan kepadaku lagi "Asalkan engkau tahu adik, di luar sana masih banyak orang-orang yang sangat menginginkan keluarga yang bahagia, namun banyak juga seseorang yang telah menyia-nyiakan waktunya dalam menjalankan kehidupan itu," Penampilan wajahnya menunjukan rasa kecewa. Aku yakin bahwa apa yang diucapkan oleh Ayahku sama dengan ucapan yang disampaikan oleh Tante Rini, sehingga Ayahku sangat setuju dengan ucapan dari Tante Rini. Kemudian, Tante Rini mengatakan lagi kepadaku "Namun Tante percaya sama Dek Vina, adik tidak mungkin melakukan hal tersebut," Aku merespon dengan menampakkan wajah yang penuh dengan senyuman.

Aku sampai rumah mendapatkan oleh-oleh yaitu beberapa pertanyaan dari budhe, Aku mengerti bahwa dia pasti cemas, seperti Ayah yang dulu pernah menanyakan aku bila aku terlambat pulang. Sesampai di kamar, aku membuka kembali buku harian tentang riwayat Ayah yang berisi sepatah kalimat-kalimat yang sangat indah. Buku catatan yang telah menjadi saksi perjalanan hidup antara ayah dengan aku.

"Jangan pernah menjadikan perbedaan itu sebagai alasan untuk saling menjauh, akan tetapi jadikan perbedaan itu. sebagai penyebab bagi kita untuk saling mengenal dan pondasi untuk membangun suatu hubungan telah ada" tanggal 9 November 1997. "Keberhasilan yang sesungguhnya tidak bisa ditemukan jalan yang lurus, namun aka nada jalan yang menghadang kita serta beberapa jalan tikungan yang tajam," 29 Juni 2002.

Saat ini apa yang telah terjadi, apa yang telah kulihat, kudengar, serta kurasakan, aku sudah mulai memahami makna tentang hidup. Hidup yang sebenarnya yaitu berjuang, berjuang untuk meraih cita-cita yang diinginkan, entahlah apakah itu kebahagiaan atau keberhasilan, dan pada saat ini aku tidak ingin membuat Ayah dan Ibu kecewa, namun sebaliknya aku akan berusaha untuk dapat membahagiakan kedua orang tuaku ini. Saat ini, entahlah mengapa aku sangat merindukan mereka.

Cerita ini dikutip dari buku Arti Kehidupan: Kumpulan Cerita Pendek (Cerpen) karya Maulana Teguh Perdana.

Contoh cerita pendek pendidikan: Sahabat Angin 

"Angiiin...ada angiiin...!"

Gaga mendengar suara teman-temannya dari jalan depan rumah. Mereka berlarian sambil berseru senang. Musim angin telah tiba. Tandanya mereka bisa bermain kincir dengan puas. Semakin besar angin, semakin kencang putaran kincirnya.

"Bu, Gaga boleh main kincir,ya?" tanya Gaga pada ibu. 

Ibu yang sedang membuat teh untuk Bapak memandang Gaga tak percaya. la lalu menarik nafas panjang.

"Tidak usah, Ga. Kamu di rumah saja, ya!" kata Ibu tegas.

Gaga menunduk kecewa. la kembali ke ruang depan, memandangi teman-temannya yang berlarian dengan gembira. Kincir di tangan mereka berputar dengan cepat. Tiba-tiba seorang anak berhenti dan memandang ke arah jendela kaca rumah Gaga. Itu Danu, teman sekelas Gaga.

"Ga, kamu sendirian? aku temani, ya!" Danu melihat ke dalam.

"Kamu enggak main kincir? anginnya kan besar" tanya Gaga. 

"Tadinya sih, aku mau main. Tapi kasihan kamu sendirian," kata Danu.

"Kincir itu kamu bikin sendiri?" tanya Gaga. 

"Iya,Ga! Kamu mau aku ajari membuatnya?" tanya Danu "Wahhh, boleh! tapi aku nggak punya bahannya," kata Gaga "Aku ambil bahan di rumahku dulu ya, Ga!"

"Wah terima kasih Danu."

Ah, Danu memang sahabat yang baik. Gaga senang memiliki sahabat seperti Danu. Tak lama kemudian, Danu kembali ke rumah Gaga dengan membawa bahan-bahan kincir.

Ada potongan bambu yang lebar, ada yang berbentuk seperti lidi besar, dan ada bambu kecil dengan diameter sekitar 2 cm. Lalu mereka pindah ke beranda samping rumah untuk membuatnya. Baling-balingnya dibuat terlebih dahulu. Potongan bambu yang lebar ditipiskan pada kedua ujungnya. Bagian tengah agak tebal. Setelah diraut sampai halus, bagian tengah dilubangi.

"Sudah jadi baling-balingnya. Tinggal bikin porosnya," kata Danu. 

Mereka membuat poros dari potongan bambu yang berbentuk lidi. Baling-baling yang sudah dilubangi dipasang pada poros tersebut. Setelah itu dimasukkan pada bambu kecil sampai bisa berputar dengan lancar. Terakhir, pada kedua ujung poros bagian dalam, dipasang pengganjal agar kincir tidak lepas.

"Nih, coba pegang!" Danu memberikan kincir itu kepada Gaga. 

Gaga juga mencoba mengacungkan kincir itu tinggi tinggi. Sayangnya, ia tidak berhasil menemukan tiupan angin. Danu memandangnya sedikit prihatin.

"Kamu enggak ingin main kincir di luar, Ga?" tanya Danu. 

"Aku ingin sekali. Tapi..." Gaga menunduk sedih memandang kakinya.

Danu mengerti. Sejak lahir, kaki Gaga memang tidak tumbuh normal. Karena itu, ia harus terus menggunakan kursi roda.

"Engak boleh sama ibumu, ya?" tanya Danu, Gaga mengangguk.

"Bagaimana kalau aku yang mendorong kursi rodamu? Main kincir asyik, lo!" Danu menawarkan diri

Mata Gaga berbinar, "Benarkah?"

"lya! Tapi, besok ya. Sekarang sudah sore. Aku pulang dulu ya!" kata Danu sekalian berpamitan.

Malamnya, Gaga tidak bisa tidur. Semoga besok anginnya besar, bisiknya dalam hati. la meraih spidol dan menuliskan sesuatu pada baling-baling kincir. Sahabat Angin. Gaga tersenyum puas. la tak sabar menunggu besok.

Keesokan harinya Gaga meminta izin pada ibu "Boleh, ya bu?" pinta Gaga memelas.

Ibu memandang Gaga tak yakin, "Bukannya tidak boleh. Ibu hanya takut terjadi apa-apa," Ibu tampak khawatir.

"Sama saya kok, tante! Nanti saya yang mendorong kursi roda Gaga dengan hati-hati," Danu membantu meminta izin.

"Apakah Danu tidak kerepotan?" tanya Ibu Gaga. 

"Tidak, Tante! Saya malah senang bisa bermain bersama Gaga," jawab Danu, Ibu menarik nafas panjang, memandang Gaga dan Danu bergantian. "Baiklah, tapi hati-hati ya," kata ibu akhirnya. 

Gaga bersorak, " Terima kasih Ibu!"

Danu pun segera mendorong kursi roda Gaga ke jalan. Kincir angin yang dibikin kemarin sudah berada di tangan Gaga. Kincir itu diacungkannya tinggi-tinggi.

"Siap Ga?" Tanya Danu "Siaapppp," jawab Gaga. 

Wushhh....! Angin bertiup kencang memutar kincir Gaga. Gaga sangat senang. Sudah lama ia ingin bermain kincir, menjadi sahabat angin, seperti teman-temannya yang memiliki kaki normal.

Cerita ini merupakan karya dari Rifqi Azzah Syahrizal, dikutip dari buku Cerita Kita untuk 2022: Kumpulan Cerpen Karya TN-31 oleh Taruna Nusantara Angkatan ke-31

Pit Onta Bapak 

Nuri memperhatikan sebuah benda unik yang disimpan di gudang rumahnya. Sebuah sepeda yang jarang dilihatnya.

"Kuwi pit onta-ne bapakmu, Nur..", Kata ibu membuyarkan lamunan Nuri.

"Biyen bapak nyambut gowe nganggo pit kuwi..", Sambung ibunya.

Akhir-akhir ini sedang ngetrend orang-orang bersepeda. Sepedanya tentu saja keluaran baru. Bagus-bagus tentu saja. Waktu Nuri minta dibelikan sepeda seperti milik teman-temannya, ibu malah ngasih tahu kalau ada sepeda bagus di gudang. Alih-alih sepedanya kinclong. Tidak sama sekali. Sepedanya sudah usang, keluaran lama. Dan tentu saja bentuknya terlihat aneh.

"Mana mau teman-teman mengajak aku bersepeda kalau sepe- danya seperti itu. Malah bisa diejek habis-habisan aku..", Batin Nuri.

"Kowe nek arep pit-pitan nganggo pit kuwi ya, le..", Kata ibunya lagi.

"Nggih, bu..", Jawab Nuri singkat.

Nuri memegang handphone milik ibunya. Dia meminjam se- bentar. O iya, Nuri kelas 2 SMP. Bapaknya sudah meninggal saat Nuri kelas 5 SD. Dia mulai browsing. Intinya mau melihat harga sepeda yang bagus. Siapa tahu harganya murah, batin Nuri. Matanya terbelalak melihat harga sepeda model baru yang diinginkannya.

"Tidak mungkin ibu membelikan untuk aku. Harganya mahal. Uang bisa dipakai untuk makan dan sekolah..," gumam Nuri.

Nuri mulai browsing lagi. Tiba-tiba muncul keinginan untuk mengetik " sepeda onta".

"Wah.. Bagus bagus juga kalau dirawat sepeda seperti punya bapak. Harganya juga tidak kalah dengan sepeda jaman now..,"batinnya.

Nuri asyik mencuci sepeda onta milik bapak. Kemudian dia mengelap sepeda itu.

"Nah, sudah kinclong sepeda ini..," gumam Nuri sambil tersenyum.

Besok Nuri akan ikut bersepeda bersama teman-temannya. Tentu saja dia sangat senang.

"Wah... sepedamu unik, Nur. Boleh pinjam tidak?" pinta Awan kepada Nuri.

"Lha kalau kamu pinjam, aku bagaimana Wan?" jawab Nuri.

"Aku memakai sepedamu, kamu memakai sepedaku, Nur.. Setuju?" ucap Awan.

"Oke, kita bergantian ya. Nanti kalau aku mau memakai sepeda milikku kita gantian lagi..," kata Nuri.

Mereka bersepeda dengan gembira.

"Ternyata bersepeda itu tidak harus dengan sepeda baru dan mahal. Cukup dengan sepeda onta unik saja sudah bahagia banget..," gumam Nuri sambil tersenyum.

Cerita ini dikutip dari buku Sepenggal Kisah Si Buta: Kumpulan Cerita Pendek Dari Hati oleh Zahrotul Mutoharoh.

Cerita pendek tentang pendidikan yang kaya pesan moral: Tas Baru Zia 

"Aku pengen punya tas baru, mak..," pinta Zia kepada mamaknya.

Mamak tetap melanjutkan mencuci baju punya tetangga kaya sebelah rumah,

"Tasku sudah jelek, mak..," lanjut Zia.

"Iya, Zia. Nanti kalau mamak sudah punya uang baru beli ya, nak..," sahut mamaknya.

Mamak memang single parent. Bapak sudah lama meninggal. Sementara adik-adik Zia ada dua, Raya dan Tia.

Zia sekarang kelas 5, Raya kelas 3. Sementara Tia masih TK. Sore itu Zia sedang momong dua adiknya. Ya, belajar sambil bermain. Bermain tanah di depan rumah uniknya. Kenapa Zia menyebut unik? Ya, karena rumahnya hanya beru pa papan sederhana yang disusun bapak waktu itu dengan rapinya. Rumah yang tak seberapa itu menjadi istana bagi mereka. Meski di dekat rumah benar-benar ada rumah seperti istana beneran. Besar dan bagus. Pemiliknya bernama pak Bas.

Sebenarnya pak Bas dan keluarganya sangat baik hati kepada mamak, Zia dan adik-adiknya. Zia dan adik-adiknya diijinkan bermain di depan rumah bersama Shasha, putri satu-satunya pak Bas. Sasha-pun sangat baik. Kadang mengijinkan Zia meminjam mainannya. Dan kadang diberi makan dan kue yang enak sekali. Tapi sore itu Shasha tidak tampak. Kata mamak, keluarga pak Bas sedang piknik. Wah, pasti senang sekali Shasha diajak piknik bapak dan ibunya. Zia hanya menelan ludahnya sendiri. Membayangkan jika dirinya bisa piknik kemana saja seperti Shasha yang baik hati itu. Tapi Zia tidak mau membebani mamaknya sama sekali. Akhirnya Zia bermain bersama adik-adiknya di depan rumah. Membuat rumah-rumahan di tanah. 

"Mamak ke rumah pak Bas dulu ya, nak," kata mamak kepada Zia.

"Jaga adik-adikmu," kata mamak lagi.

Ya, meski rumah pak Bas dekat, tetapi jika mamak pergi ke rumah pak Bas bisa sampai sore. Mamak juga membantu bersih-bersih rumah pak Bas, itu dilakukan agar mendapat rezeki dari pak Bas dan keluarganya.

"Ya, mak.. Aku akan menjaga adik-adik," kata Zia.

Setelah itu, mamak pergi berjalan ke rumah pak Bas. Sambil membawa baju-baju keluarga pak Bas yang sudah dicuci. Nanti di rumah pak Bas tinggal disetrika. Sore harinya mamak pulang. Zia melihat mamak membawa dua kantong kresek yang besar. Sepertinya lumayan berat. Zia berlari membantu mamaknya. Kresek itu ditali dengan kuatnya sehingga Zia tidak tahu isinya apa.

"Zia, alhamdulillah mamak diberikan ini untuk kita. Mereka memang baik kepada kita, nak," kata mamak.

Mamak membuka salah satu plastik. Isinya beras, gula, minyak goreng, telur mentah dan roti.

"Ini rotinya.. kamu bagi dengan adik-adik ya, nak," kata mamak lagi, Zia mengangguk.

"Ya, mak."

Zia dan adik-adiknya menikmati roti itu. Enak sekali. Belum pernah merasakan roti seenak itu.

"Zia.. ke sini sebentar, nak," panggil mamak.

Zia menghampiri mamaknya. Dilihatnya mamak membuka. satu tas kresek yang belum dibuka.

"Nak, lihat ini," kata mamak.

Zia melihat kresek itu. Seketika Zia tersenyum bahagia. Dilihatnya sebuah tas yang terlihat baru. Berwarna pink. Terlihat bagus dan cantik.

"Tas ini dibelikan pak Bas untuk nak Shasha. Tetapi ternyata nak Shasha tidak mau memakainya. Pak Bas memberikan ini kepa- da mamak. Katanya untuk kamu, Zia," cerita mamak tentang tas itu.

"Alhamdulillah, mak. Semoga Allah memberikan banyak rezeki untuk pak Bas, ibu dan Shasha ya, mak," kata Zia.

"Ya, Allah, Berilah rezeki pengganti yang paling baik untuk pak Bas, bu Bas dan Shasha. Aamiin," ujarnya lagi.

Cerita ini dikutip dari buku Sepenggal Kisah Si Buta: Kumpulan Cerita Pendek Dari Hati oleh Zahrotul Mutoharoh.

Endog Separo 

"Aku mau nambah telur separohnya lagi, bu," rengek Ardi.

"Ardi, tadi kan kamu sudah makan. Jangan terlalu banyak makan ya, nak," cegah ibunya.

Ardi memang banyak makan. Sepiring nasi penuh dan lauk pauknya. Di usianya yang tujuh tahun tentu saja dia terlihat sangat gemuk. Apalagi bila dibandingkan dengan teman-temannya. Kalau orang tidak tahu, dikira Ardi sudah kelas empat. Ardi tetap mencomot separo telur lagi. Kemudian melanjutkan makannya.

"Ardi, besok kita ke panti asuhan ya," ajak bapaknya.

"Mau ngapain, pak?" tanya Ardi.

"Kita akan memberikan ini kepada teman-teman kamu yang kurang beruntung di sana," ucap bapak.

Dilihatnya lima karton mie instan, minyak goreng, kue-kue dan telur banyak sekali.

"Kita harus berbagi kepada sesama, nak," sambung ibunya.

Keesokan harinya, Ardi bersama bapak dan ibunya ke panti asuhan. Mereka disambut oleh seorang bapak dan ibu pengasuh di panti itu. Mereka juga dipertemukan dengan anak-anak panti asuhan. Ya, panti asuhan itu menampung anak-anak yatim piatu dari berbagai daerah. Anak-anak yatim itu terlihat bahagia dengan kehadiran Ardi dan bapak ibunya.

"Ardi, sana bermain dengan teman-temanmu," kata ibu.

"Iya, jangan hanya di sini saja. Biar kamu tambah teman. Ya, nak," sambung bapaknya.

"Hai, namaku Ardi.. Kamu siapa?", Ardi menyapa seorang anak yang duduk sendirian di bawah pohon.

"Aku Agus," jawab anak itu.

Mereka kemudian bermain ayunan di dekat pohon itu. Tak berapa lama terdengar suara adzan Dhuhur.

"Ayo kita shalat berjamaah dulu, Ar," ajak Agus.

Ardi terdiam. Kemudian mengiyakan ajakan Agus. Mereka kemudian mengambil air wudhu dan masuk ke dalam masjid di lingkungan panti asuhan itu.

"Ayo kita makan, Ar," ajak Agus.

"Makan? Di mana?" tanya Ardi.

"Ayooo. Di sana.. Kita makan bareng teman-teman lainnya..".

Agus menarik tangan Ardi ke ruang makan. Dilihatnya teman-teman Agus sudah mengambil makan dan lauknya. Ardi mengingat kisahnya bersama Agus dan teman-teman di panti asuhan. Mereka makan dengan lahapnya. Tidak ada anak. yang berebut mengambil makan, mereka makan sesuai jatahnya. Tidak minta lebih. Masih dingatnya, di meja makan panti asuhan itu ada sayur gudheg dan telur yang dipotong menjadi dua bagian. Agus dan teman-teman mengambil nasi, sayur gudheg dan separo telur.

"Makanan itu harus dibagi, Ar. Bisa makan seperti ini saja. sudah alhamdulillah," kata Agus.

"Kami diajarkan makanlah ketika kamu lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang," imbuhnya lagi.

Ya, sejak saat itu, Ardi belajar makan sesuai jatahnya saja. Dan bersyukur diberi makan apa saja oleh ibunya. 

Cerita ini dikutip dari buku Sepenggal Kisah Si Buta: Kumpulan Cerita Pendek Dari Hati oleh Zahrotul Mutoharoh.

Yash 

Dialog dini hari, di ujung waktu malam. Fia dan malam adalah teman. Fia dengan dialog malam kepada dirinya sendiri, berharap ada balasan terhadap hal yang la utarakan. Fia dengan keresahannya. Fia dan hal yang ia takutkan. Fia dengan tugas, teman-teman, keluarga, hal remaja, atau Fia dan emosi yang dibuatnya sendiri. Hanya malam sunyi yang tahu. Tapi, Fia juga cinta banyak hal. la senang tiap kali ia bisa berbagi kasih baik kepada orang di sekitarnya ataupun kepada hal lain yang membuatnya bahagia. Fia senang melihat orang lain senang meskipun pada saat bersamaan Fia dalam masalah. Baginya, tidak ada di dunia ini yang lebih baik daripada melihat orang yang la sayangi bahagia.

Fia berkali kali bertemu kegagalan, kegagalan bersosialisasi, gagal dalam sekolah, atau gagal dalam hal lain. Pernah sekali ia takut, ia dikurung rasa takut terhadap hal baru. Berbulan-bulan ia terjebak dengan rasa bersalah dan takut. Sampai akhirnya ia menemukan titik di mana ia harus bangkit. Berpikir bahwa banyak sekali orang di luar sana yang menunggunya kembali.

Ibu berkata, "Perasaanmu lebih penting dari apa pun di dunia ini, Fla," Tapi, bukan itu yang Fia mau, Ibu. Fia tidak satu pendapat dengan beliau. Bagi Fia, tidaklah penting bagaimana perasaannya. Yang terpenting adalah bagaimana orang lain merasakan berbagai afeksi yang dia berikan. Fia tidak keberatan jika dirinya harus berada di dalam sebuah permasalahan. Yang penting, mereka senang.

Namun pandangannya berubah, ia harus menerima cinta di samping dengan semua yang telah diberikannya. Fia harus mendapat apa yang ia mau, yang menjadi haknya. Tatkala itu, semua diubah oleh kehadirannya. Seseorang yang tidak Fia sangka dapat berdampak sebesar ini terhadap dunianya.

Sederhana saja, dia adalah penciptaan paling cukup dari segala secukupnya. Kala menatap manik coklat legamnya, rasanya Fia mau pergi ke mana saja asal dengannya. Rasanya Fia ingin pergi keliling dunia berdua dengannya asalkan ia menemui bahagianya. la laki-laki sederhana, sederhana dengan apa yang ia punya, sederhana dengan apa pun yang ia dapat. Tidak meminta kembali, tidak meminta lebih.

Kalau Fia bertanya, "Kenapa kamu bertahan hanya dengan apa yang kamu punya sedangkan kamu bisa meminta lebih?". Pasti jawabannya hanya sekedar, "Aku juga harus belajar dunia dan kehidupannya, Fi."

Hari itu Sabtu pagi, masih sejuk angin dingin meskipun rumah Fia di tengah kota. Masih sepi orang berlalu Lalang padahal ini sudah jam 9 pagi. Bosan hatinya tidak melakukan apa-apa, "Bagaimana kalau mengajak Yash panggilan laki-laki yang Fia ceritakan sebelumnya pergi keluar?" Fia membuka handphonenya, mencari kontak Yash yang langsung muncul paling atas seolah mengetahui jika Fla sedang mencarinya.

"Yash, keluar yuk," ajak Fia.

"Yah, Fi. Aku lagi mencicil materi UTBK nih. Aku enggak mau bergantung di SNBT," jawab Yash.

"Yah sayang banget, Yash. Yaudah deh semangat ya!!" ujar Fia.

"Bahkan ini masih awal kelas 12," gumam Fia. Yash memiliki keinginan untuk masuk ke universitas terbaik di kotanya, atau bahkan di Indonesia sekalipun, Fia tahu itu. Tidak jauh dengan Yash, Fia juga bermimpi hal yang sama, diterima di universitas tujuannya. Tapi bukannya ini terlalu dini ya untuk belajar? 

Sore itu, Yash dan Fia akhirnya memutuskan bertemu, bersama Dena dan Ryn masing-masing teman Yash dan Fia juga. "Gimana belajarnya seharian? Sampai enggak ada satu pun chat loh ke kita," kata Fia saat dirinya duduk di sebelah Yash.

"Ya gimana, Fi. Kita sudah kurang dari 9 bulan sebelum UTBK. Aku harus belajar materi materinya. Apalagi mulai tahun ini tes yang diujikan beda dengan tahun-tahun sebelumnya," katanya sembari meminum Lemon Tea pesanannya. "Tapi... bukannya ini terlalu dini ya buat belajar?" sambung Yash.

Fia tahu, Yash sangat berharap besar pada kemampuannya. Ayahnya tiada, Ibunya yang setiap hari bekerja keras demi dia dan adiknya. Setidaknya, ia harus bisa melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih matang, menyelesaikannya segera, mendapat pekerjaan dan membantu ibunya di usia senjanya. Fia tahu itu semua, seberapa besar ambisi Yash, dan seberapa banyak harapan yang digantungkan kepadanya.

"Semua ada waktunya, Fi. Orang ada masanya, masa adal orangnya. Aku cuma mau masa buat aku mengejar mimpiku makin panjang. Itu kenapa aku curi start dari awal." katanya kemudian.

Ini yang sebenarnya membuat Fia jatuh lebih jauh, lebih dalam dari segalanya. Yash dan segala kata katanya adalah semua yang Fia inginkan. Fia bahkan bisa membaca ribuan kali puisi yang Yash buat baik khusus untuknya ataupun yang ada di akun Instagram milik Yash. Fia betah menemani Yash belajar selama apa pun dalam suasana sesunyi apa pun. Bahkan, Fia bisa berubah menjadi anak kecil pendiam saat Yash butuh ketenangan belajar. Semua itu Fia suka.

Bersama Yash, Fia memahami dunia. Bersama Yash, Fia lebih memahami dirinya sendiri. Bersama Yash pula, ia lebih berani mengambil apa yang menjadi miliknya. Fia menjadi pemberani, berani mengeksplorasi, meminta apa yang harus ia dapat, dan berani menentang jika apa yang diminta orang lain kepadanya tidak sesuai isi hatinya. Semua itu berkat Yash. Yash yang secara tidak langsung memberikan contoh kepada Fia bagaimana dunia berjalan dan berputar dengan kehidupan di dalamnya.

Jadilah seperti lilin yang tak pernah menyesal saat api membakarmu, jadilah air yang mengalir sabar. Jangan pernah takut memulai hal baru. Ini apa yang dikatakan Yash saat Fia dan Yash harus terpisah kota dan jarak. Nyatanya rezeki Yash jauh di sana. Dibiayal lengkap selama masa studi dan pengabdiannya di negeri tetangga, Dan Fia harus merelakannya, hidup berdampingan dengan kisahnya dengan Yash di kota tempatnya tinggal.

Di samping afeksi yang ia berikan, dunia benar-benar berbalas. baik kepadanya. Tidak ada satu pun orang di sekitarnya yang berbuat jahat kepadanya. Fia memberi kasih, dan secara bersamaan juga menerima cinta. Fia dicintai dan dikasihi banyak orang. Fia tidak sendiri, dan Fia bukan satu satunya orang yang hanya bisa bercerita kepada malam tentang masalahnya. Fia bisa bercerita kepada siapa pun setelahnya. Terutama kepada Yash, segala dari segalanya.

Bunda, itulah beberapa cerita pendek tentang pendidikan yang bisa Si Kecil baca dan pahami. Semoga dengan membaca cerpen tersebut, Si Kecil mampu mengambil pesan positif yang terkandung di dalamnya, ya. 

Cerita ini dikutip dari buku Yash: Antologi Cerpen Smala 2023 karya Kelas XI-1 SMA Negeri 5 Surabaya.

Demikian kumpulan cerpen bertema pendidikan yang bisa dibacakan ke anak. Semoga informasi ini bermanfaat ya, Bunda.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(ank/ank)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda