HaiBunda

PARENTING

7 Cerpen tentang Kehidupan Sehari-hari yang Menarik dan Penuh Makna

Indah Ramadhani   |   HaiBunda

Rabu, 24 Dec 2025 13:17 WIB
Ilustrasi membacakan cerita pendek untuk anak/Foto: Getty Images/Tran Van Quyet

Cerita merupakan suatu hal yang menarik bagi Si Kecil. Dengan adanya interaksi dalam bercerita, hubungan dan komunikasi Bunda dengan Si Kecil dapat semakin terjalin dengan baik.

Selain itu, pemilihan cerita juga sangat penting, karena apa yang diceritakan akan cepat diserap oleh Si Kecil, sehingga dengan bercerita dapat membentuk karakter anak sejak dini. Tentunya, sangat disarankan untuk Bunda memilih cerita yang mengandung pesan moral positif.

Mendengarkan cerita juga dapat melatih fokus serta menambah pengetahuan untuk anak. Si Kecil dapat mengembangkan imajinasi dan kreativitasnya dengan membayangkan apa yang Bunda ceritakan.


Selain isi cerita yang mendidik, cara penyampaian Bunda juga menjadi kunci agar Si Kecil terus menyimak hingga selesai. Bunda dapat menggunakan intonasi suara yang bervariasi, serta memainkan emosi dan ekspresi wajah agar alur cerita menjadi lebih berkesan.

Bunda juga dapat menciptakan rutinitas bercerita yang konsisten, misalnya setiap malam sebelum tidur. Dengan adanya rutinitas ini dapat mempererat ikatan batin yang kuat antara Bunda dan Si Kecil.

7 Cerpen tentang Kehidupan Sehari-hari yang Menarik dan Penuh Makna

Tema, kisah, dan pesan moral dalam suatu cerita dapat dijadikan pembelajaran dan parenting untuk Bunda kepada Si Kecil. Berikut rangkuman cerita pendek untuk Bunda baca bersama Si Kecil:

1. Butiran Nasi

Cerpen tentang kehidupan sehari-hari ini dikutip dari buku Kumpulan Cerpen Anak: Pendekar Bebek dan Cerita Lainnya karya Yosep Rustandi:

Setiap pulang dari rumah Nenek di kampung Ciherang, Isti selalu melamun. Pandangan matanya menembus kaca mobil yang dikendarai Pak Yus, bapaknya. Hamparan sawah sejauh mata memandang seperti parade yang mementaskan keindahannya satu per satu. Para petani giat bekerja, anak-anak bermain di pematang sawah. Ada juga yang memancing ikan dan belut. Sungguh pemandangan yang indah.

"Kenapa lagi tuh anak Bapak?" bisik Bu Elin, ibunya Isti, kepada suaminya. Pak Yus lalu tersenyum. "Pasti lagi melamun soal sebutir nasi!" kata Rofi, adik Isti, yang duduk di kursi paling belakang dengan suara keras. Isti terkejut. "Apa? Ada apa?" tanyanya tidak jelas, tentang apa dan kepada siapa. "Ibu bertanya, melamun tentang apa lagi tuh, Teh Isti? Kata aku, pasti soal sebutir nasi". Isti tersenyum. Memang di kepalanya yang ada adalah butir-butir nasi yang sering diceritakan Nenek. Bagi Isti, Ciherang adalah kampung yang luar biasa.

Pemandangannya indah. Air di mana-mana mengalir. Selokan-selokan kecil mengairi sawah. Jamban-jamban umum yang biasanya berdiri di atas kolam airnya bening. Hutan yang memagari kampung Ciherang masih lebat. Tidak ada penduduk kampung yang berani menebang pohon sembarangan. Kalaupun ada penduduk kampung yang membutuhkan kayu untuk membuat rumah misalnya, Ketua Kampung yang akan memilihkannya. Ada adab tersendiri untuk menebang pohon besar. Karenanya, mata air bermunculan di mana-mana. Nama Ciherang sendiri berasal dari kata ‘Ci’ yang berarti air, dan 'herang' yang berarti bening dalam bahasa Sunda. Sesuai namanya, Kampung Ciherang diberkahi air yang bening di mana-mana.

Penduduk Ciherang sangat ramah. Ke mana pun Isti dan keluarganya berjalan-jalan, penduduk yang ditemuinya selalu menegur-sapa, mempersilakannya mampir ke rumah, dan menyuguhkan makanan khas kampung. Ada pisang, ubi rebus, jagung rebus, opak, ranginang, keripik singkong, dan lainnya.

Jangankan kepada tamu seperti Isti dan keluarganya, kepada sesama warga pun, penduduk Ciherang memang perhatian. Hampir di setiap rumah, di bale-balenya selalu tersimpan teko berisi air teh dan gelas. Kadang juga ada ubi atau singkong rebus.

"Siapapun boleh minum air teh itu, dan makan makanan yang ada. Siapa tahu yang lewat di depan rumah kita itu ada yang telah berjalan jauh, kelelahan, atau kehausan. Nah, alangkah baiknya kalau memberi itu tidak usah diminta terlebih dahulu," kata Nenek waktu Isti bertanya, kenapa banyak yang menyediakan teko dan gelas di depan rumahnya. 

** 

Di kampung Ciherang, nasi sangat dihormati. Menurut Isti, penghormatan terhadap nasi itu kadang berlebihan. Nasi, sejak masih berbentuk padi dan beras, diperlakukan seperti kepada puteri kerajaan saja. Ada kebiasaan dan syukuran yang mesti dilakukan sebelum tandur sampai panen padi. Ketika beras mau ditanak saja ada adab tersendiri. Sebelum mencuci beras, ibu-ibu selalu membisiki beras: "Nyai, mari kita mandi".

Akhirnya, adab setelah menjadi nasi dan dimakan adalah pantangan untuk menyisakan butiran nasi di piring. Sebutir atau dua butir nasi pun jangan disisakan. "Karena nasi itu inginnya masuk ke dalam tubuh manusia, menjadi tenaga, menjadi pikiran, dan menjadi perasaan yang baik," kata Nenek. "Nasi akan menangis kalau kita sisakan di piring, terlantar, dan tidak jelas nasibnya. Kecuali kalau butiran nasi itu jatuh ke tanah dan menjadi kotor, lain lagi ceritanya".

Kebiasaan penduduk kampung Ciherang itulah yang selalu membuat Isti melamun. Setiap dia membaca di koran, sering ada daerah-daerah tertentu yang kekurangan beras. Penduduknya terpaksa makan gaplek atau tiwul dari singkong. Pak gubernur dan stafnya memberi contoh, untuk tidak makan nasi dalam hari tertentu. Supaya persediaan beras tidak habis.

Isti selalu termenung memikirkannya. Bahkan ketika mengikuti orang tuanya ke pesta pernikahan, ulang tahun atau makan di rumah makan, hatinya selalu tidak bisa tenang. Dia resah, karena banyak orang yang menyisakan nasinya di piring.

**

“Coba bayangkan, kalau setiap orang saja menyisakan sepuluh butir nasi ketika makan, berapa butir yang disia-siakan dalam sehari, seminggu, sebulan, atau setahun?” katanya dengan nada sangat antusias di hadapan teman-teman sekelasnya, kelas 5 SD Harapan Bangsa, saat pelajaran menulis karya ilmiah. “Setiap orang itu rata-rata makan tiga kali sehari. Bila hitungannya lebih luas lagi, kabupaten kita, Kabupaten Sumedang misalnya, penduduknya berjumlah kurang lebih satu juta jiwa. Berarti, dalam sehari 30 butir nasi dikali satu juta, sama dengan tiga puluh juta butir nasi telah disia-siakan dalam sehari. Bila lebih luas lagi, provinsi Jawa Barat misalnya, atau Indonesia…”.

Tapi belum juga Isti menghitung, teman-temannya malah menertawakan.

"Kampungan itu. Seperti orang zaman dahulu aja kalau makan harus sampai habis," komentar Ardi.

"Kita kan hidup di kota ls, sudah lebih modern. Ngapain ngikutin orang kampung? Penting ya soal nasi?" kata Ulfa. "Di kota saja masih banyak masalah, tuh banyak anak-anak yang menjadi pekerja jalanan di lampu merah."

Tapi meski tidak mendapat tanggapan yang baik dan teman-temannya, lsti tetap gelisah setiap melihat orang yang makan dengan menyisakan remah-remah nasi. Di pesta pernikahan misalnya, orang bisa mengambil nasi dan lauk-pauknya tapi hanya dimakan beberapa suap, kemudian dia mengambil lagi makanan yang lain. Apa karena di pesta pernikahan makannya gratis? Kalau itu sebabnya, mengapa di rumah makan juga banyak yang menyisakan nasi? Sementara setiap membaca koran, Isti selalu mendapatkan berita bahwa provinsinya, provinsi Jawa Barat, masih kekurangan stok beras. Di negaranya, negara Indonesia, juga sering diberitakan harga beras mahal karena persediaan sedikit. Terpaksa kemudian mengimpor untuk menurunkan harga. Belum lagi di daerah tertentu sering diberitakan kekurangan makanan. Penduduknya tidak bisa makan nasi karena mahal, tidak terbeli, karena panen gagal.

Menurut Isti, kebiasaan penduduk kampung Ciherang tidak bisa dinilai kampungan karena letaknya di pinggir hutan, atau kolot karena merupakan kebijakan nenek moyang. Kebijakan untuk tidak menyisakan butiran nasi di piring itu adalah kebIjakan yang bisa berlaku sampai kapanpun dan di manapun. Seandainya setiap orang menyadari ketika menyisakan butiran nasi di piringnya adalah penghianatan terhadap orang-orang miskin yang tidak bisa makan nasi, mungkin banyak orang yang merasa sakit hati. Sakit hati seperti dirinya ketika melihat tumpukan nasi sisa di piring-piring makan. 

**

Karena selalu sakit hati saat melihat sisa-sisa butiran nasi di piring itulah, Isti begitu giat menuliskan pendapatnya. Ketika di sekolahnya ada lomba Karya Ilmiah, lsti menuliskan tentang kampung Ciherang. la bercerita tentang penduduknya, alamnya, dan kebijakannya memperlakukan alam dan nasi sebagai makanan pokok. Karya ilmiahnya itu dipilih mewakili sekolah untuk dinilai di tingkat kecamatan. Lolos dari tingkat kecamatan, kemudian dinilai di tingkat kabupaten. Lolos dari tingkat kabupaten, lanjut dikirimkan ke tingkat provinsi. Di tingkat provinsi inilah setiap peserta harus mempresentasikan karya ilmiahnya di hadapan juri yang terdiri dari guru-guru besar.

"Setiap berlibur ke kampung aku, Kampung Ciherang, aku selalu termenung. Kebijakan para orang tua di sana untuk tidak menyisakan butiran nasi di piring mengganggu pikiran aku. Seandainya kebiasaan itu dipunyai oleh kita, penduduk provinsi misalnya, berapa butir nasi yang bisa dihemat dalam sehari?” kata Isti. Suaranya bergetar karena gugup, tapi kemudian terbiasa. “Bila setiap orang biasa menyisakan sepuluh butir nasi sekali makan, artinya dia menyia-nyiakan 30 butir nasi sehari. Bila penduduk provinsi Jawa Barat ini 46.497.175 orang, artinya dalam sehari 1.394.915.250 butir terbuang percuma. Bila perkiraan penduduk Indonesia 250 juta, artinya ada 7.500.000.000 butir nasi yang terbuang dalam sehari".

Tepuk tangan bergemuruh ketika Isti mengakhiri presentasinya. Isti merasa puas, dia sudah menyampaikan unek-uneknya yang selalu mengganggunya. Ketika sesi tanya-jawab berlangsung, tidak semua pertanyaan bisa dijawab Isti. Isti termenung, hanya termenung, ketika ada seorang juri yang bertanya:

"Bagaimana caranya menjadikan kebijakan orang tua untuk menghabiskan butiran nasi di piring itu menjadi keseharian dalam hidup penduduk Indonesia? Karena lihat saja kebiasaan buruk masih berlangsung di sini. Orang bisa membuang sampah di mana saja. Asal di rumahnya bersih, tidak apa kotor di jalanan. Apalagi nasi. Nasi dapat beli sendiri, punya sendiri, buat apa repot-repot harus mengukur bila menyendok nasi dan menghabiskan sisa nasi bila sudah kenyang".

Istri termenung mendapat pertanyaan seperti itu. Beberapa menit dia hanya diam. Dan akhirnya hanya mengatakan, "Aku ingin menjadi orang pintar, Pak, untuk menjawab pertanyaan itu. Terima kasih, pertanyaannya membuat aku terharu. Masih banyak yang mesti aku pelajari".

Meski jawabannya seperti itu, tapi deretan juri yang berasal dari berbagai disiplin ilmu itu memberi tepuk tangan yang meriah. Isti mengusap air matanya yang tiba-tiba mengalir. Ibu Elin memeluk anaknya ketika pulang.

"Bu, aku tidak lagi memikirkan apakah akan menang atau tidak," bisik Isti. "Karena yang terpenting, aku ingin sekolah setinggi-tingginya, ingin membaca seluruh buku di perpustakaan. Anak Ibu ini harus pintar untuk menjawab banyak pertanyaan yang pasti semakin banyak dan semakin susah".

Bu Elin mencium pipi anaknya. "Ya, Nak, Ibu akan mendukungmu sekuat tenaga. Dunia ini sangat butuh orang-orang pintar, orang-orang pintar yang jujur dan peduli".

Angin berhembus semilir, mempermainkan anak rambut Isti.

2. Hadiah Terindah

Bu Dini adalah wali kelas kesayangan kelas 4 SD Baik Hati. Semua siswa kelas 4 ingin diperhatikan oleh Bu Dini. Sebulan sebelum Bu Dini ulang tahun, semua siswa ramai membicarakan kado yang akan diberikan. Semua siswa kelas 4 seperti berlomba ingin memberikan kado yang terindah.

Sabrina sudah bicara dengan mamanya mengenai novel yang akan dibelinya. Sabrina tahu, Bu Dini sangat suka membaca novel. Menurut Sabrina, novel akan menjadi kado yang indah untuk Bu Dini.

Hari ulang tahun Bu Dini pun tiba. Saat Sabrina mengucapkan selamat dan memberikan kadonya, Bu Dini tersenyum gembira. Setelah mengucapkan terima kasih, Bu Dini memeluk dan mencium kening Sabrina. Tentu saja Sabrina senang. Dia merasa Bu Dini sangat menyukai kado ulang tahun darinya.

Tapi tidak lama kemudian, datang Echi mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan kadonya. Bu Dini tersenyum, mengucapkan terima kasih, dan mencium kening Echi. Kemudian datang Dila, Davin, dan Bening. Bu Dini menyambut mereka dengan cara yang sama.

Namun, raut wajah Bu Dini sangat berbeda ketika Ninit datang membawa bunga anthurium di dalam pot kecil. Bu Dini memeluk Ninit lebih lama, mencium kening Ninit, kemudian matanya berkaca-kaca.

Sabrina memalingkan pandangannya. Apa istimewanya kado bunga anthurium kecil? Di pinggir Jalan juga banyak, harganya tidak akan seberapa. Kekecewaan Sabrina ternyata dirasakan juga oleh teman yang lainnya. Echi, Davin, Bening, Hilyah, semua membicarakannya. Tapi semuanya tidak bisa menebak, kenapa kado anthurium kecil dari Ninit begitu berkesan di hati Bu Dini?

Sabrina baru mengerti mengapa Bu Dini begitu terkesan dengan kado anthurium dari Ninit ketika dua bulan kemudian, dia sendiri yang berulang tahun. Sabrina merayakannya di sekolah. Setelah bel pulang, Bu Dini meminta semua siswa kelas 4 tidak pulang dulu. Ada acara sederhana merayakan ulang tahun Sabrina. Lilin ditiup, kue dipotong, makanan dibagikan, tidak lupa berdoa, dan teman-teman semua mengucapkan selamat ulang tahun sambil memberikan kado. Sabrina gembira.

"Ulang tahun adalah saat yang tepat untuk merenung. Kita sudah semakin besar. Apa yang sudah kita lakukan dalam setahun ini? Pastinya harus lebih baik dari tahun yang lalu," kata Bu Dini. "Mari kita mendoakan Sabrina agar lebih sholehah, karena hari ini Sabrina ulang tahun..."

Di rumah ketika membuka kado satu per satu, Sabrina tertegun ketika membuka kado dari Ninit. Sebuah buku komik. Buku komik yang lain dari yang lain. Sabrina belum pernah melihatnya di toko buku manapun. Kertasnya adalah dari daur ulang. Tidak dilem seperti komik kebanyakan, tapi kertasnya diikat oleh tali yang unik. Gambarnya meski tidak sebagus kebanyakan buku komik, tapi lucu-lucu. Ceritanya di dalamnya membuat komik ini semakin istimewa. Sabrina kemudian mengenalinya. Ini cerita tentang Sabrina sendiri. Sampulnya adalah kardus yang ditempeli kertas daur ulang. Dari mana Ninit memperoleh buku komik seperti ini?

Ninit adalah anak dari seorang pemulung barang-barang bekas. Setiap hari bapaknya keliling komplek-komplek perumahan, mengais tempat- tempat sampah, memilih benda-benda yang sekiranya bisa dimanfaatkan. Bila hari Minggu atau libur, Ninit sering ikut keliling. Bila sedang tidak keliling, Ninit ikut membantu ibunya memilah-milah barang rongsokan yang akan dijual. Waktu kelas 1 dan kelas 2, banyak teman sekelas yang mencemooh Ninit. Sabrina sering kasihan juga melihatnya. Tapi saat sudah kelas 4, Bu Dini selalu menegur siswa yang mencemooh Ninit.

Sabrina sendiri termasuk akrab dengan Ninit. Sabrina sering mengajak Ninit bermain dengannya bila istirahat tiba. Awalnya Ninit tidak mau, apalagi kalau diajak ke kantin. Tapi lama-lama dia mau. Kalau ke kantin, Sabrina sering membagi uang bekalnya. Kalau ke taman sekolah, Sabrina juga membagi bekal rotinya.

Karena penasaran, Sabrina datang ke rumah Ninit sore harinya. Ninit sedang membantu ibunya memilah barang rongsokan. Sabrina mengucapkan terima kasih, kado dari Ninit sangat berkesan di hatinya. Ninit tersenyum senang.

"Kalau boleh tahu, dari mana Ninit mendapatkan buku komik seperti itu?" tanya Sabrina akhirnya.

"Aku membuatnya sendiri," kata Ninit. "Hampir setiap hari aku membantu Ibu memilah barang. Plastik dengan plastik, kaleng dengan kaleng, kertas dengan kertas. Nah, setiap aku menemukan kertas yang bagus, aku teringat kamu. Aku mengumpulkannya buat kado ulang tahunmu. Setelah banyak, aku bikin kertas daur ulang. Ibu yang mengajarinya. Lalu aku gambari dan bikin ceritanya. Bagaimana, bagus ceritanya? Gambarnya?"

Sabrina mengangguk senang. Dia terharu. Membuat kadonya pasti sulit dan lama.

"Sudah sejak enam bulan yang lalu aku mengumpulkan kertas-kertasnya," kata Ninit lagi.

"Enam bulan yang lalu? Kamu sudah ingat ulang tahunku sejak enam bulan yang lalu?"

"Ya. Bunga anthurium buat Bu Dini malah sudah aku pelihara selama delapan bulan. Aku menemukannya di sebuah tempat sampah, kecil, dan kering. Aku memindahkannya ke plastik, mengganti tanahnya, belajar memelihara anthurium dari Mang Kardi pedagang bunga keliling itu. Kemudian aku menemukan pot bekas, membersihkan dan menghias potnya."

Sabrina memeluk Ninit. "Aku mengerti mengapa Bu Dini begitu terharu mendapat kado bunga itu darimu. Karena aku pun merasakan hal yang sama," kata Sabrina. "Kamu teman yang sangat perhatian, Nit."

Ninit tersenyum bahagia.

3. Cerpen tentang kehidupan sehari-hari: Terima Kasih, Bu Karsih

Bu Karsih adalah penjual daun-daun sirih. Seminggu dua kali dia akan berkeliling ke kampungku. Suaranya yang khas membedakan Bu Karsih dengan pedagang yang lain. Lagi pula hanya ada seorang pedagang daun sirih yang suka berkeliling ke kampungku.

"Dauunn sirriihh...," tawar Bu Karsih.

Kata Mamaku, sebenarnya daun sirih sudah jarang dikonsumsi orang. Dulu, banyak ibu-ibu dan nenek-nenek yang mengunyah daun sirih, namanya ngalemar (red: menerapkan). Tapi sekarang sudah jarang orang yang ngalemar. Meski begitu, daun sirih masih digunakan orang untuk kesehatan. Karenanya Bu Karsih masih mempunyai pelanggan.

Selain satu-satunya pedagang sirih, Bu Karsih terkenal dengan terima kasihnya. Maksudnya, kepada siapapun yang membeli sirihnya dan membantunya, Bu Karsih selalu mengucapkan terima kasih.

Suatu siang aku pulang sekolah. Sendirian. Matahari sangat terik. Membuat lapar dan haus tentunya. Uang jajanku sudah habis di sekolah. Aku berjalan sambil menendang-nendang apa saja yang ada di hadapan. Maksudnya, biar lapar dan hausku terlupakan.

Di tengah jalan aku dicegat Bu Karsih yang sedang berdagang sirih berkeliling kampung. "Nak, terima kasih," kata Bu Karsih.

"Terima kasih untuk apa, Bu?" tanya aku heran.

"Kamu ini sudah meminggirkan kerikil-kerikil besar," kata Bu Karsih. "Bila ada motor atau sepeda yang menggilas kerikil-kerikil itu, bisa-bisa mereka jatuh. Kamu sudah memberi kebaikan pada banyak orang".

Aku tersenyum. Sejak itu, bila ada batu besar di tengah jalan, aku selalu teringat kepada perkataan Bu Karsih. Maka aku akan meminggirkannya. Siapa tahu memang betul, batu besar itu suatu kali bisa membuat celaka.

Saat akhir semester, untuk melengkapi ujian, semua murid kelas 5 diberi tugas. Tugasnya adalah menceritakan sesuatu yang unik yang ada di lingkungan rumah. Entah kenapa, yang ada di pikiranku adalah tentang Bu Karsih.

Bu Karsih adalah sosok yang sangat menarik bagiku. Bu Karsih adalah seorang janda dengan dua orang anak. Usianya tidak muda lagi, sudah lebih dari empat puluh tahun. Kedua anaknya juga dikenal sebagai anak yang baik, suka membantu siapa saja, dan tentunya ramah seperti Bu Karsih.

Dengan bantuan Mama, aku bisa mengenal Bu Karsih lebih dekat. Aku akan menceritakan keseharian Bu Karsih. Di belakang rumahnya, Bu Karsih mempunyai kebun yang lumayan luas. Kebun itu ditanami pohon- pohon sirih yang berdaun lebat, menghijau, dan lebar- lebar. Pohon-pohon sirih yang subur.

"Dari kebun sirih inilah Ibu sekeluarga hidup," kata Bu Karsih. "Kami bisa mandiri, anak-anak Ibu bisa sekolah sampai perguruan tinggi, karena jasa kebun sirih ini".

Anak Bu Karsih ada dua orang, Teh Wening dan Kang Rifan. Teh Wening sudah kuliah di Akademi Perawat, dan Kang Rifan baru kelas XI SMK. Kedua anak Bu Karsih rajin membantu. Sambil kuliah, Teh Wening mengajar di tempat kursus.

Seminggu dua kali Bu Karsih memanen daun-daun sirihnya. Lalu menjualnya berkeliling kampung. Bila ada sisanya, Bu Karsih akan menjualnya ke pasar.

Hal yang unik dalam catatanku, Bu Karsih ternyata selalu mengucapkan terima kasih kepada pohon-pohon sirihnya. Hari Minggu pagi itu aku berkunjung ke rumah Bu Karsih, ikut memanen kebun sirihnya. Daun yang sudah lebar dan berwarna hijau tua adalah yang sudah boleh dipetik.

"Terima kasih, engkau telah memberi kebaikan," ucap Bu Karsih. Awalnya aku mencari-cari seseorang, siapa tahu ada orang lain selain aku dan Bu Karsih. Ternyata kami hanya berdua.

"Ibu berterima kasih kepada siapa?" tanyaku.

"Pohon-pohon sirih ini telah membantu hidup Ibu".

Mereka memberi kebaikan dengan tumbuh subur. Jadi Ibu harus mengucapkan terima kasih kepada mereka," kata Bu Karsih. "Selain ucapan terima kasih dengan kata-kata, kita juga harus berterima kasih dengan rajin menyiram saat kemarau, dan memberi pupuk untuk makanan mereka."

Awalnya aku tertegun. "Mereka kan bukan manusia, buat apa mengucapkan terima kasih, Bu?" tanyaku.

"Siapapun yang membantu hidup kita, memberi kemudahan kepada kehidupan, kita wajib mengucapkan terima kasih," kata Bu Karsih. "Apalagi mereka itu makhluk hidup."

"Apa mereka akan mengerti?"

"Pasti mengerti. Makanya mereka tumbuh subur."

Aku pulang dengan tersenyum. Tidak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada Bu Karsih. Sampai di rumah, aku membersihkan sepeda yang berhari-hari tidak aku cuci. "Terima kasih, sepeda, engkau sudah memberi kemudahan kepada hidupku," gumamku sambil menggosok bagian kotor dari sepeda. Tiba-tiba aku merasa ada perasaan yang indah antara aku dan sepedaku.

4. Ransel Ajaib

Cerpen berikut ini dikutip dari buku Kumpulan Cerpen Anak: Payung-Payung Impian karya Yosep Rustandi:

Ibu Toti adalah guru di Sekolah Pelangi. Semua murid sangat mencintainya. Karena Bu Toti ramah, penyayang, menerangkan pelajaran apapun gampang dimengerti, dan mempunyai ransel ajaib.

Ratri juga menyayangi Ibu Toti. Ratri baru sebulan pindah ke Sekolah Pelangi. Tapi Ratri tidak percaya kalau Bu Toti mempunyai Ransel Ajaib.

"Tidak mungkin ada ransel ajaib yang bisa mengeluarkan banyak benda," kata Ratri. "Kalau tidak percaya, ikut saja bila berjalan-jalan ke tepi hutan," timpal Asih, teman sebangku Ratri.

Bu Toti sering mengajak jalan-jalan murid-muridnya. Dia menerangkan ilmu pengetahuan sambil langsung melihat alam. Bila jalan-jalan, Bu Ratri selalu membawa ransel gendong ajaibnya. Ransel berwarna pink muda yang lucu. Di depannya digantung boneka monyet yang sedang tersenyum.

Waktu jalan-jalan ke perkampungan di tepi hutan, Bu Toti memberikan hadiah kepada siapa saja yang ditemuinya. Ada yang diberi mie instan, susu bubuk, beras, tepung terigu, cangkul, baju, dan benda lainnya. Semua benda yang diberikan itu dikeluarkan dari ransel gendongnya.

"Anak-anak, kita beristirahat di sini. Kita duduk melingkar," kata Bu Toti setelah memasuki tepi hutan. "Tapi sebelum kita makan, ada yang ingin diberi bagian terlebih dahulu".

Bu Toti mengeluarkan banyak buah-buahan. Ada apel, pisang, pepaya, pear, jeruk, semangka. Tiba-tiba bermunculan banyak bintang. Ada kelinci, rusa, kura-kura, monyet, burung, dan entah apa lagi. Ratri terkejut dan takut.

"Tenang saja, itu teman-teman Bu Toti, teman-teman kita juga," kata Asih.

Setelah binatang itu pergi. Bu Toti mengeluarkan makanan dan minuman lagi. Setiap siswa mendapatkan sebungkus nasi dan lauknya, sebotol minuman mineral, dan sebuah buah-buahan. Ratri takjub melihatnya. Ransel Bu Toti memang benar-benar ajaib.

Menjelang siang mereka pulang. Di perjalanan pulang Bu Toti menghampiri Ratri.

"Ratri tidak usah heran dengan ransel Ibu," kata Bu Toti seperti yang tahu apa yang dipikirkan Ratri. "Ini adalah ransel ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu menakjubkan. Semakin kita memberikannya kepada orang lain, kepada makhluk lainnya di dunia ini, bukannya menjadi habis, tapi malah semakin banyak."

Ratri tersenyum.

"Makanya Ratri harus pintar, banyak membaca, banyak belajar," sambung Bu Toti.

Ratri memeluk Bu Toti. Dia berjanji akan belajar sungguh-sungguh, membaca sebanyak-banyaknya. Dia ingin mempunyai ransel pengetahuan yang ajaib. Dia ingin menjadi orang pintar yang membagikan ilmu pengetahuannya dengan bijaksana.

5. Cerpen tentang kehidupan sehari-hari: Si Kamus

Rio mempunyai nama baru. Si Kamus, begitu teman-temannya memanggil. Awalnya saat belajar di kelas, Bu Isti menerangkan tentang makanan.

"Banyak orang yang suka mi. Tapi mi lumayan lama dibuatnya dan cepat basi. Maka kemudian ada yang kita kenal dengan mie instan. Kalian tahu siapa yang menemukan mi instan?" tanya Bu Isti.

Anak-anak kelas 5 SD Baik Hati tentu tidak tahu. Karena masalah mi instan tidak ada di buku pelajaran. Eh, tunggu. Ternyata ada anak yang mengacungkan tangan.

Namanya Rio. Dia adalah murid baru. Baru seminggu dia pindah dari luar kota.

"Mi instan ditemukan oleh Momofuku Ando, seorang berkebangsaan Jepang tahun 1948," kata Rio. Semua temannya memandang kepadanya, juga Bu Isti. "Seperti kita tahu, orang Jepang sangat suka makan mi. Mi adalah makanan yang padat kalori, gurih, dan harganya murah. Pedagang mie selalu diserbu pembeli setiap hari. Momofuku Ando berpikir, bagaimana caranya agar mie cepat saji, tidak mudah basi, dan gampang dibawa ke mana-mana? Pak Ando pun mulai melakukan percobaan, sampai berhasil membuat mi instan yang di Jepang dikenal dengan sebutan ramen."

"Dari mana Rio tahu tentang mi instan?" tanya Bu Isti.

"Aku pernah baca di buku, Bu."

Bu Isti lalu bertepuk tangan. Anak-anak kelas 5 pun ikut bertepuk tangan.

Bukan hanya itu. Rio pernah mengobati luka di lutut Asip dengan getah pohon pisang. Asip terjatuh saat main di halaman sekolah waktu itu. Asip nyengir karena perih. Tapi beberapa saat kemudian dia tersenyum karena lukanya sudah mengering.

Hampir setiap hari Rio bercerita kepada teman-temannya tentang percobaan sederhana yang menakjubkan.

Telor rebus masuk ke dalam botol yang lubang lehernya kecil, cara menangkap burung parkit, cara membuat boneka jari dari kacang hijau, dan sebagainya. Pernah juga Rio menerangkan pelajaran kepada murid kelas 3 dan kelas 4.

Sejak itu Rio mempunyai sebutan baru, yaitu Si Kamus. Bila ada teman-temannya yang tidak tahu sesuatu, akhirnya selalu ditanyakan kepada Rio, eh, Si Kamus. Bila tahu, Si Kamus selalu menjawab. Tapi bila tidak tahu dia selalu bilang begini, "Aduh, maaf, aku juga tidak tahu. Tapi nanti aku bantu cari tahu, deh".

Semua murid dan guru di SD Baik Hati menyukai Si Kamus. Semuanya? Oh, ternyata tidak. Dindon selalu sinis bila melihat Si Kamus sedang menceritakan sesuatu kepada teman-temannya.

Dindon tidak menyukai Si Kamus karena dia merasa iri. Dia anak paling pintar di kelas 5. Mestinya dia yang terkenal. Tapi mengapa kalah oleh anak baru yang kepintarannya belum teruji?

Suatu hari, murid-murid kelas 5 belajar di luar kelas. Mereka mengunjungi kebun salak yang masih satu desa dengan sekolah mereka. Malang bagi Dindon, waktu memetik buah salak tangannya tertusuk duri. Duri itu patah. Bu Isti dan orang tua yang ada di sana kebingungan, bagaimana caranya mencabut duri yang patah?

"Luka seperti ini harus dibawa ke Puskesmas," kata Pak Kimung pemilik kebun salak. Bu Isti juga setuju. Murid kelas 5 lainnya tentu kecewa, karena acara kunjungan itu akan berakhir.

"Bu, aku tahu cara bagaimana mengeluarkan duri seperti itu," kata Si Kamus. "aku hanya minta lilin, minyak goreng dan bawang merah. Kita coba dulu, mudah-mudahan cara ini berhasil."

Si Kamus memarut bawang merah, lalu dicampur minyak goreng dan memanaskannya di dalam sendok. Setelah hangat, bawang merah campur sedikit minyak goreng itu ditempelkan ke luka tusuk Dindon. "Tunggu saja beberapa menit," katanya. Dindon meringis karena bawang hangat itu ada panas-panasnya juga.

Setelah beberapa menit, ramuan bawang merah itu di- buka. Betul saja, duri pohon salak itu keluar sedikit. Begitu dicabut oleh pinset, durinya terangkat. Bu Isti memeluk Si Kamus saking gembiranya. Teman-temannya juga banyak yang menyalami. Ketika mau pulang, Dindon menghampiri Si Kamus.

"Terima kasih," kata Dindon pelan.

"Ya, sama-sama."

"Kamu memang hebat. Kapan kamu membaca pengetahuan seperti itu?"

"Kalau tidak salah setahun yang lalu, dari sebuah majalah."

"Kamu masih ingat?"

"Oh, kalau soal itu gampang. Ilmu pengetahuan itu, begitu kita bagikan bukannya habis, kita malah semakin ingat dan pengetahuannya semakin bertambah. Jadi, pengetahuan yang sering aku ceritakan itu ada yang aku baca 2 atau 3 tahun yang lalu."

Dindon mengerti sekarang. Si Kamus ini suka membaca, cerdas, dan juga baik hati. Tidak ada alasan baginya untuk tidak menyukainya. Malah mulai sekarang dia akan meniru caranya menghapal ilmu pengetahuan, yaitu dengan cara berbagi dengan siapa saja.

6. Pesan Ayah

Cerpen kali ini berkisah tentang Pesan Ayah dikutip dari buku Kumpulan Cerpen Anak-Anak Rumpun karya Mike J Yanti:

Siang itu Akbar buru-buru masuk rumah, ia berlari menuju pintu sembari mendorong masuk dan langsung masuk ke kamarnya tanpa menghiraukan ibu yang duduk sambil menyuapi adiknya Zulaika. Nafasnya ngos-ngosan sambil membaca salam.

"Pelan-pelan Nak, suaramu mengagetkan adikmu!" Akbar telah berlalu.

Ia keluar lagi setelah mengganti pakaian dan hendak berpamitan kepada ibu.

"Akbar keluar dulu Bu," sambil meraih tangan ibu yang berisi mangkuk makanan adiknya, dan dengan sigap sudah tidak terelakkan lagi, tangan ibu langsung digenggam akbar untuk dicium ke keningnya.

"Ibu bilang pelan-pelan, kau mau kemana lagi, makanlah dulu sebelum pergi," kata ibu.

Kali ini Akbar memberikan penjelasan:

"Akbar harus segera pergi Bu, Ibra dan Angga menunggu di rumah Khalid, hari ini ada acara pacu itiak di lapangan sekolah, kami ingin melihatnya ibu".

"Oo Angga juga ya sudahlah, baik-baik di jalan, nanti ingat shalat dzuhurmu ya".

"Baik Bu, Assalamualaikum," Akbar pun berlalu melewati halaman samping sambil mengayuh sepedanya.

Di luar dekat kedai pak Mahmud di ujung jalan, wangi sate menyeruak dan bercampur debu di depan rumah warna hijau, dekat mesjid. Dari jauh sudah tampak Ibra dan Khalid menunggu dengan satu sepeda, tapi Angga belum kelihatan.

Di antara mereka berempat Angga yang paling jauh rumahnya dari sekolah. Mereka akan bertemu di setiap pagi di depan rumah hijau dekat rumah setelah rumah Khalid. Setelah cukup lama menunggu akhirnya Angga datang tergesa-gesa mengayuh sepedanya. Nafasnya terlihat naik turun kempang kempis dan wajahnya terlihat mengkilat karena berkeringat.

"Maaf aku terlambat," sapa Angga.

"Tidak apa-apa," jawab Ibra, kita siap berangkat? Sebentar lagi itiak emas pak Mahmud akan meluncur, mereka tertawa mendengar celoteh Khalid.

Kami dapat memahami bahwa di antara kami berempat, selain rumahnya paling jauh, ia juga harus melewati jalan proyek pembangunan jalan baru. Jalan itu cukup ramai dilewati truk pengangkut pasir yang besar. Terkadang kami mengantarkannya sampai ke ujung jalan batas proyek karena selain ramai, ia juga membawa perlengkapan yang banyak ke sekolah, karena membawakan dagangan ibunya dari kantin sekolah. Terkadang kami juga membantu Angga berjualan di sore hari sepulang dari Masjid.

Angga adalah anak yang baik, di antara kami berempat ia adalah anak yang paling pintar di sekolah. Ia anak sulung dengan tiga orang adik yang masih kecil-kecil, Savia sekarang kelas dua Sekolah Dasar, Lukman yang masih di Taman kanak-kanak tahun ini. Sementara Faruq si kecil masih tiga tahun.

Ayahnya dulu juga seorang pekerja proyek jalan, bekerja sebagai seorang pengemudi truk pasir sejak Angga dan ibunya pindah ke tempat kami. Angga murid pindahan sejak tiga tahun lalu, ia pribadi yang periang dan mudah bergaul, suka bercerita dan banyak ide. Sekolah sudah dua tahun ini memilihnya untuk mewakili sekolah dalam rangka lomba design robot. Ia sangat menyukai menggambar.

Ia pernah bilang, jika hobi design dan gambarnya turun dari ayahnya. Tempat tinggalnya yang dulu di tepi bukit dengan hamparan sawah berjenjang di kaki bukit tempat ia dan ayahnya menghabiskan waktu untuk melukis. Banyak hal yang ia lalui bersama ayahnya. Ia juga pernah bercerita tentang perjalanan ayahnya menuntut ilmu ke tempat yang jauh, ayahnya dulu kuliah di pulau Jawa. Kuliah itu didapatkan ayahnya karena beasiswa. Saat akan diwisuda ayahnya mendapatkan kabar jika kampungnya kena banjir bandang, banjir itu menghanyutkan satu kampung termasuk keluarganya, dan tersisa hanya bıbınya yang harus duduk di kursi roda karena harus kehilangan kakinya saat banjir tersebut. Semenjak itu ayahnya memilih untuk tinggal di kampung itu dan menikah dengan ibunya di sana. Semenjak bibinya menikah barulah ayahnya mulai pindah dan menetap di kota ini.

Namun tidak seindah mimpi yang akan dituju ayahnya, dua tahun yang lalu ada pengerjaan jalan malam hari, beberapa pekerja sedang mengangkut sisa pemangkasan bukit tempat pembuatan jalan, tiba-tiba bukit ujung yang dekat dengan hulu sungai runtuh dan menimbun badan mobil pengangkut pasir, banyak pekerja yang tidak ditemukan termasuk ayah Angga. Semenjak saat itu Angga menjadi pendiam, butuh waktu yang lama untuk Angga untuk kembali bersekolah dan memulai bermain kembali bersama teman-temannya.

Orang di sekitar tempat kami tinggal tahu cerita Angga, ia sangat dekat dengan ayahnya, kepergian ayahnya yang sulit ia terima membuat luka yang dalam bagi Angga. Ibu-ibu di tempat kami akan menanyakan kondisi Angga setiap hari, begitu juga dengan ibu kutang bulan Ramadhan di kampung kami, ayah Angga adalah orang yang akan membuatkan design gambar baliho besar selamat Idul Fitri dengan lukisannya sendiri.

Orang-orang yang pulang kampung akan berfoto dengan baliho itu. Merasa disambut oleh orang kampung dengan kemeriahan baliho besar lukisan ayahnya. Sejak ayahnya tiada mesjid kami hanya bisa mengenang keramaian yang ada tentang baliho besar dıkampung kami. Saat ini Angga sudah mulai pulih, ada salah satu istri pengurus masjid membantu Angga melalui sekolah untuk memberikan pendampingan terapi dengan Angga, semua mulai membaik saat keluarga disarankan untuk memberikan memori indah yang bisa mengembalikan rasa bahagianya, sampai akhirnya bibi Angga datang menghadiahinya buku yang bertuliskan tulisan ayahnya tentang bagaimana senangnya ayah Angga dapat kuliah di tempat terbaik dan membayangkan dapat kelak men-design sekolah impian untuk anak-anak di kampungnya. Bagi ayah Angga, menjalani hidup serta berbuat baik kepada orang lain adalah hal yang mesti kita lakukan, dan itu dengan ilmu seperti dapat saling membahagiakan orang lain adalah hal baik yang harus dilakukan dan itu harus dengan ilmu seperti kata nabi, maka derajatmu akan naik.

7. Cerpen tentang kehidupan sehari-hari yang menarik: Pesan Ibu kepada Dina

Cerpen berikut ini dikutip dari buku Anak-Anak Pantai (Kumpulan Cerpen Anak) karya Ahmad Toni Harlindo:

Liburan sekolah telah usai. Seperti biasanya lagi siswa- siswi SDN Harum Sari mulai kembali masuk sekolah. Mereka mulai mengikuti kegiatan belajar. Hari ini Dina yang merupakan murid kelas 5B pun kembali masuk sekolah.

Dina adalah murid yang pintar dan cerdas. Cepat memahami pelajaran yang disampaikan. Parasnya memang tidak begitu cantik, namun ia sangat baik hati. Sifatnya yang ramah disenangi teman-temannya. Tak hanya satu kelas, semua teman-teman se-sekolahnya menyukai Dina.

Suasana kelas begitu berisik. Semua murid-murid saling mencurahkan rasa rindu dengan canda tawa. Begitu pula Dina yang bercerita tentang adiknya, Rila.

Selama satu minggu libur sekolah, Ayah dan Ibu memberi tugas agar menjaga Adiknya. Sepatu baru pun yang kini tengah dipakainya pemberian Ayah dan Ibunya.

Kedua orang tua Dina adalah pasangan pedagang di tempat wisata. Karenanya selama liburan kedua orang tua Dina sibuk berdagang. Karena ketika musim libur tiba pengunjung banyak berdatangan. Sementara mereka memiliki seorang anak yang masih kecil, Rila yang usianya baru tiga tahun, adik Dina.

Yuli begitu asyik mendengar cerita liburan Dina. Kisahnya memang menarik. Teman-teman yang lain belum tentu dapat atau mau mengasuh adiknya yang masih kecil. Namun tidak bagi Dina.

Dina bukan saja pandai dalam mata pelajaran. Ia juga pandai bercerita. Penuturan gaya penceritaannya mudah dimengerti. Lancar dan menarik teman-temannya untuk mendengarkan.

"Huuh, adikku Rila sangat rewel. Minta jajan ini, jajan itu. Minta antar ke sini. Antar ke sana. Sebentar-sebentar nangis," tutur Dina kepada teman-temannya.

"Dengan perlahan aku mengasuh adikku. Bermain congklak, bermain gambar, berhitung dan bernyanyi. Rila pun kini bisa menghitung sampai lima. Aku juga menyanyikan lagu ketika ia mulai menangis, seperti Kasih Ibu, Cicak-cicak di Dinding, Layang-layang dan Sepeda Baruku."

"Wah kamu hebat Din, aku saja belum begitu hafal semua lagu-lagu itu," tanggapan Yeyet teman akrab Dina.

"Kalian juga bisa kok. Dengan menyanyikan lagu, anak-anak kecil yang mau menangis akan merasa senang," ujar Dina.

"Benar juga," nada Vinna setuju.

"Tapi bagaimana ya cara mengasuh si Bimo itu yang nakalnya minta ampun. Kalau main sepeda selalu jemping-jempingan. Kalau ada anak lain di sebelahnya anak yang lain diserempetnya. Emang sih enggak sampai jatuh. Tapi sebagai Kakak aku merasa was was, khawatir," ungkap Nina teman Dina yang juga sedang mendengarkan.

"Euh.. kalau adikku selain nakal, cengengnya minta ampun deh. Kalau dibawa ke mana-mana pasti nangis padahal udah enggak nyusu lagi. Ketika aku asyik main tiba-tiba Dia minta pulang," ungkap Resti.

"Aku enggak mau ngasuh adikku. Karena selalu rewel. Karenanya aku selalu enggak mau kalau Ibu menyuruhku menjagai atau bermain dengan Adikku," tutur Resti menyambung.

"Assalamualaikum," suara bu Guru Solehah, wali kelas 5B terdengar memberi salam ketika akan masuk kelas.

Seketika semua murid laki-laki yang tidak pada tempat duduknya kembali ke bangku masing-masing. Kelas pun seketika rapi. Tidak ada lagi yang ngobrol, bercanda tawa. Beberapa murid yang sejak tadi duduk di bangkunya langsung membalas salam, "Waalaikumsalam Warohmatullohi Wabarokhatuh".

Dengan senyum yang manis, Bu Leha demikianlah nama panggilannya mengawali kegiatan belajar di kelas 5B. "Maaf, anak-anak tadi Ibu ada rapat jadi Ibu telat masuk," kata bu Leha.

"Iya Buuu," jawab mereka serentak dengan kompak.

Zenal nampak sedang berbicara dengan teman sebangkunya Dado. Kemudian Bu Leha pun langsung memanggil Zenal.

"Zenal, coba kamu ke depan. Silakan membacakan PR cerita liburanmu."

"E.. Anu Bu...," jawab Zenal gugup, la tampak bingung. Jantungnya berdegup dengan kencang karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah yang ditugaskan Bu Leha. Sebelum liburan bu Leha memberikan PR untuk membuat cerita liburan atau membuat puisi. Murid- murid disilakan untuk memilih salah satunya.

"Siapa yang mau membacakan cerita liburan? Nanti ibu kasih nilai tambahan," kata Bu Leha.

Kelas hening. Tak ada satupun siswa-siswi yang berani mengacungkan tangan. Mereka takut berada di depan kelas apalagi membaca sebuah cerita. Ada yang sudah mengerjakan PR cerita liburannya, tetapi masih belum berani membacanya di depan kelas. Ada pula yang dibuatkan cerita oleh Ibunya. Ada pula yang belum membuat sama sekali seperti Zenal.

"Bu saya mau membaca puisi. Ucap Dina yang tiba-tiba mengacungkan tangannya dengan berani.

"Ya, Dina, silakan ke depan. Yang lainnya coba dengarkan," kata bu Leha dengan semangat.

Seketika Zenal merasa lega ada yang maju ke depan. Juga semua siswa-siswi dalam kelas 5B.

Puisi Dina

Pesan Ibu

Adik, Ibu pesankan engkau agar kujaga
Jangan sampai tetes-tetes air mata membasah di pipimu
Jangan tinggalkan engkau sebelum Ibu dan Ayah pulang
Jangan dipukul atau dibentak
Jagalah adikmu. Itu pesan Ibu

Tidak bu.. tidak
Pesan Ibu akan kulaksanakan dengan baik.
Karena aku menyayangi adikku.

Lalu, ramai tepuk tangan mengisi membuat riuh ruang kelas. Bu Leha pun bertepuk tangan merasa senang dengan puisi Dina. Sementara murid-murid laki-laki hanya bisa diam karena belum mengerjakan tugas itu.

Jam belajar pun telah usai. Dina merasa bahagia. Karya puisinya akan dimuat di majalah dinding kelas dan majalah dinding sekolah. Ini adalah pertama kalinya Bu Leha membuat buku kumpulan puisi karya anak-anak muridnya.

Rencananya karya puisi-puisi yang bagus akan dikirimnya ke media cetak lokal agar anak-anak muridnya lebih bersemangat berkarya dan belajar.

Dina pulang dengan bahagia. Sepanjang perjalanan ia mengingat adiknya. Tak sabar ingin cepat menemui adiknya dan mengajaknya bermain sambil mengajarinya berhitung. Dina bersyukur dipesani Ibu untuk menjaga Adiknya, Rila, saat liburan kemarin. Andai saja Ibunya tak menitipkan Rila kepadanya, mungkin ia tak akan mampu membuat puisi.

Itulah rekomendasi cerita pendek yang bisa Bunda baca bersama Si Kecil. Semoga pesan yang disampaikan di cerita tersebut dapat menjadi pengingat yang berharga untuk Bunda dan Si Kecil.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(fir/fir)

Simak video di bawah ini, Bun:

Psikolog Ungkap 5 Tipe Bunda Baik, Mana yang Lebih Cocok untuk Anak?

TOPIK TERKAIT

ARTIKEL TERKAIT

TERPOPULER

25 Artis & Influencer Umumkan Kehamilan di 2025, Ada Aaliyah Massaid hingga Alyssa Daguise

Kehamilan Annisa Karnesyia

Ternyata, Bulan Lahir Berpengaruh pada Hasil Belajar Anak di Sekolah

Parenting Nadhifa Fitrina

10 Sarapan Ini Justru Bikin Perut Cepat Lapar

Mom's Life Natasha Ardiah

Resmi Bebas Pajak, Biaya Sekolah Swasta di Jakarta Bakal Turunkan Enggak Ya?

Parenting Amira Salsabila

5 Potret Marsha Aruan di Masjid Agung Sheikh Zayed, Sempat Disangka Mualaf

Mom's Life

REKOMENDASI
PRODUK

TERBARU DARI HAIBUNDA

110 Ucapan Selamat Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 Menyentuh Hati & Penuh Doa

Leticia Joseph Jadi Juara Gadis Sampul 2025, Sheila Marcia Ungkap Perjuangannya

9 Resep Dessert Natal Terbaik Ukuran 9x13 untuk Perayaan Bersama Keluarga & Orang Terkasih

10 Sekolah di Depok Kena Teror Bom Lewat E-mail, Terduga Pelaku Diperiksa

Ternyata, Bulan Lahir Berpengaruh pada Hasil Belajar Anak di Sekolah

FOTO

VIDEO

DETIK NETWORK