Jakarta -
Berprofesi sebagai terapis memang bukan impian kecilku. Tapi siapa sangka, profesi yang sering dipandang sebelah mata ini mengantarku terbang ke berbagai negara, hingga bertemu artis kelas dunia.
Semua berawal dari ajakan temanku untuk bekerja di sebuah tempat Spa di Jakarta, pada 2000 lalu. Awalnya aku sempat ragu, karena zaman itu, terapis masih dipandang tabu. Namun, aku yang hanya lulusan SMA ini merasa penasaran dan tidak ingin menyiakan kesempatan.
Sebenarnya aku sempat merasa bersalah. Di awal karier, aku sama sekali tak berkata jujur pada orang tua. Bahkan saat menikah pun, aku juga belum berani jujur pada suami.
"Aku takut mereka tidak bisa menerima profesiku," pikirku ketika itu.
Aku hanya berani bilang bahwa aku bekerja di salon, yang kulakukan adalah facial wajah dan creambath. Aku tidak bilang bahwa aku memijat, apalagi bilang bahwa yang kupijat tak hanya perempuan, tapi juga laki-laki.
Tapi, jalan hidup tak ada yang tahu. Baru enam bulan aku ikut training, pihak Spa menugaskanku bekerja di Malaysia. Selama dua tahun tinggal di Malaysia, aku tak hanya bekerja sebagai terapis, tapi juga di sekolahkan Bahasa Inggris.
Pada 2002, aku pulang ke Indonesia. Berbekal kemampuan bahasa asing, membuatku kembali dengan percaya diri. Beberapa tahun kemudian, Kementrian Pariwisata mengajakku ke Jerman dan Tunisia. Aku jadi salah satu duta untuk memperkenalkan Spa di negara tersebut.
Sejak aku dipercaya jadi duta, menginjakkan kaki di luar negeri seperti sudah jadi hal biasa untukku. Ke Singapura Jepang, Turki, Korea juga sudah kujajaki.
Melihat keberhasilanku, keluarga pun mulai mendukung profesiku. Mereka juga mulai paham, dan tak lagi berpikir negatif, termasuk suamiku.
"Saya bukan terapis yang ecek-ecek, saya berkelas, internasional," jelasku pada keluargaku.
Aku tak hanya terbang ke luar negeri, kota-kota dalam negeri pun aku sambangi, seperti Belitung dan Bali. Yang kupijat pun bukan orang biasa. Duta berbagai negara, para pejabat, sampai artis kelas dunia pernah ku layani. Dan yang paling buatku teringat, saat aku mani pedi Beyonce, diva pop Amerika Serikat. Bagiku, itu masih seperti mimpi.
Aku bangga dengan pekerjaanku sebagai terapis, yang kadang orang anggapnya tukang pijat. Tapi jujur, aku tidak terima dengan label tukang pijat tersebut. Aku belajar gila-gilaan, belajar otot dan tulang, belajar nama-nama gerapan. Buku yang ku baca tebal-tebal, seperti anak kuliahan!
Aku harus tahu segala jenis otot tulang dari ujung kaki sampai ujung kepala. Aku juga mesti paham macam-macam aroma terapi. Aku belajar semua, dari pijat, totok wajah, lulur, hingga mani pedi. Dan itu tidaklah mudah.
Tapi, keberhasilanku ini bukan tanpa air mata. Berbagai hinaan juga pernah aku dapati. Terutama, dari teman sejawatku.
Jangan salah, mereka yang bekerja di hotel pun kerap melihat para terapis dengan pandangan tak mengenakkan. Pikiran bahwa kami terapis melakukan 'macam-macam' dengan tamu juga kerap mereka perlihatkan.
"Eh, lo mijit laki-laki?" Kalimat seperti itu kerap keluar dari mulut mereka, setelah aku keluar kamar melayani tamuku.
Tapi sudahlah, percuma aku jelaskan panjang lebar, mereka juga mungkin tak peduli. Yang penting sekarang, aku menikmati kesuksesanku, dan keluarga selalu mendukungku.
(Bunda Elianta Gurusinga, 38 tahun - Jakarta)
(yun/muf)