Jakarta -
Pertama kali bertemu dengannya, belum ada rasa yang mendesir. Lirikan nakal matanya pun belum juga memancing rasa Gede Rasa atau GR di dalam diriku. "Biasa saja," demikian pikirku saat itu.
Aku juga lupa-lupa ingat bagaimana cara dia melamarku. Pesta pernikahan kami pun rasanya macam mimpi yang timbul-tenggelam di ingatanku. Aneh.
Semua itu kembali lagi menghantui ketika aku duduk di kursi Pengadilan Agama (PA) Jakarta Timur. Tak sudi aku melihat pria yang tiga tahun terakhir ini memperalatku. Cuih!
Dia mengambil seluruh uang gajiku selama kita menikah. Mobil yang kubeli dengan susah-payah pun, ia perebutkan juga di PA sebagai harta gono-gini. Lebih kurang ajar lagi, suamiku, sebut saja Akbar sempat mau merebut rumah yang kami tempati. Padahal itu rumah orang tuaku!
Makin mual perutku jika mengingat kezaliman yang Akbar lakukan pada kami yaitu aku dan orang tuaku. Kenapa dulu aku bisa sekhilaf itu terlena dengan pelet yang ia layangkan.
Iya, pelet! Beberapa bulan sebelum proses perceraian, ibuku menemukan ada benda mencuat di bawah kasur. Setelah ditarik, ternyata isinya potongan batu nisan, celana dalam, dan sejumput tanah. Reaksi spontan ibuku adalah membuangnya.
Sejak saat itu, aku seperti terbangun dari mimpi. Kabut yang selama ini melayang di dalam kepala, seperti terempas angin kencang. Tidak ada lagi rasa cinta pada pria yang disebut semua orang itu sebagai suamiku.
Orang tua dan sahabat-sahabatku seperti memberi kabar pada orang yang hilang ingatan. Satu persatu 'kelakuan aneh'-ku mereka beberkan. Mulai dari gaji yang kusetor pada Akbar. Padahal, dia sendiri bekerja serabutan. Mobil yang kupercayakan penuh padanya hingga balik nama STNK atas namanya. Bahkan, mempercayakan beberapa perbincangan warisan keluarga padanya.
Batu Nisan dan Tanah Kuburan, Suami Memperalatku demi Harta/ Foto: Ari Saputra |
Apa aku sudah gila? Ibu kemudian menguak bagaimana kesadaranku mulai terbuka setelah pecahan batu nisan, celana dalam, dan tanah itu dibuang. Penasaran, kami pun bertanya ke seorang Ustaz kenalan Ayah.
Menurutnya, benda-benda ganjil itulah yang membuatku terperdaya. Malah sebenarnya ada tanah yang disematkan di
pelet itu adalah tanah kubura. What? Aku si perempuan modern berpendidikan tinggi diperlakukan macam itu? Aku tidak terima dan mengusirnya dari rumah hari itu juga. Orang tua pun mendukung, Ayah malah menambah orang rumah yang tugas utamanya menjagaku.
Kini, duduk di bangku beludru PA, aku mantap menceraikan Akbar. Aku tidak mau lagi terpedaya ilmu hitamnya. Aku juga mati-matian mempertahankan rumah orang tuaku agar tidak bisa dia klaim sebagai harta gono-gini.
(Bunda Lani, Jakarta) (ziz/rdn)