HaiBunda

KEHAMILAN

Studi Temukan Ibu Pengganti atau Surrogate Berisiko Lebih Besar Alami Gangguan Mental

Dwi Indah Nurcahyani   |   HaiBunda

Selasa, 12 Aug 2025 08:30 WIB
Studi Temukan Ibu Pengganti atau Surrogate Berisiko Lebih Besar Alami Gangguan Mental/Foto: Getty Images/Arina Dovlatova
Jakarta -

Tren surrogate mother atau ibu pengganti sempat marak beberapa tahun belakangan. Tetapi patut diwaspadai juga mengingat studi temukan ibu pengganti atau surrogate miliki risiko lebih besar alami gangguan mental.

Memiliki anak mungkin tampak mudah bagi sebagian pasutri. Tetapi, banyak juga pasutri lainnya di luar sana yang kesulitan mendapatkannya. Jalan lain melalui surrogate mother atau ibu pengganti pun ditempuh guna mendapatkan anak.

Alternatif tersebut mungkin bisa memenuhi kebutuhan pasangan lain dalam mewujudkan adanya anak di tengah-tengah keluarga ya, Bunda. Hanya saja, kewaspadaan mengenai risiko gangguan mental pada surrogate mother patut juga jadi perhatian utama.


Sebuah studi terbaru menemukan bahwa surrogate atau ibu pengganti ternyata berisiko lebih tinggi mengalami penyakit mental dibandingkan perempuan yang mengandung bayi sendiri, seperti dikutip dari laman The Guardian.

Selain itu, terlepas dari bagaimana para surrogate atau ibu pengganti hamil, perempuan dengan riwayat penyakit mental sebelumnya ditemukan memiliki risiko lebih tinggi untuk didiagnosis dengan kondisi tersebut selama dan setelah kehamilan dibandingkan mereka yang tidak ada riwayat sebelumnya.

Meskipun undang-undang seputar surrogate atau ibu pengganti bervariasi di seluruh dunia, praktik ini cukup populer dan berkembang pesat. Menurut Global Market, pasar ini diperkirakan bertumbuh dari USD27,9 miliar pada 2025 menjadi USD201,8 miliar pada 2034.

"Temuan kami menggarisbawahi pentingnya skrining dan konseling yang memadai bagi calon pembawa gestasional sebelum kehamilan mengenai kemugkinan munculnya penyakit mental baru, atau eksaserbasi penyakit mental sebelumnya selama atau setelah kehamilan,"kata Dr Maria Velez, penulis utama penelitian ini, dari McGill University di Kanada.

Selain itu, penyediaan dukugan selama dan setelah kehamilan mungkin sangat penting bagi para pembawa gestasional, tambahnya.

Dalam jurnal Jama Network Open, Velez dan rekan-rekannya melaporkan bagaimana mereka menganalisis data dari 767.406 kelahiran di Ontario yang terjadi antara 1 April 2012 dan 31 Maret 2021. 

Dari jumlah tersebut, sebanyak 748.732 melibatkan konsepsi tanpa bantuan, 758 melibatkan surrogasi, dan sisanya melibatkan IVF pada ibu yang mengandung bayi mereka sendiri. 

Velez mengatakan bahwa sebagian besar kasus surogasi di Kanada melibatkan ibu pengganti yang tidak memiliki hubungan darah dengan anak tersebut, yang berarti sel telur ibu pengganti tidak digunakan dalam konsepsi.

Di antara mereka yang dikecualikan dari analisis awal ini ialah perempuan dengan riwayat penyakit mental sebelum perkiraan tanggal konsepsi.

Tim kemudian menganalisis jumlah perempuan di setiap kelompok yang menerima diagnosis mental baru sejak perkiraan tanggal konsepsi, seperti gangguan kecemasan, gangguan suasana hati, perilaku melukai diri sendiri, atau psikosis.

Diagnosis ini terjadi pada 236 ibu pengganti, dan sebanyak 195.022 perempuan yang menjalani konsepsi tanpa bantuan serta 4.704 perempuan yang menjalani IVF.

Setelah memperhitungkan faktor-faktor seperti usia, pendapatan, kebiasaan merokok, dan jumlah anak, hal ini berkaitan dengan tingkat kejadian penyakit mental baru sebesar 43 persen di mana sebanyak 29 persen lebih tinggi per 100 orang per tahun dalam masa tindak lanjut pada ibu pengganti di bandingkan perempuan yang menjalani konsepsi tanpa bantuan atau IVF.

Untuk ketiga kelompok, gangguan suasana hati atau kecemasan merupakan diagnosis yang paling umum. Sementara median waktu dari konsepsi hingga diagnosis serupa yaitu sekitar dua setengah tahun.

"Temuan ini mungkin menunjukkan bahwa beberapa ibu pengganti gestasional mengalami kesedihan karena melepaskan bayi baru lahir mereka, seperti yang dijelaskan setelah adopsi atau pemindahan anak ke panti asuhan. Tetapi ini sesuatu hal yang membutuhkan studi lebih lanjut," kata Velez.

Guna mengetahui lebih lanjut, tim kemudian melakukan analisis lebih lanjut yang mencakup perempuan dengan riwayat penyakit mental sebelumnya. Dari analisis tersebut, tim menemukan bahwa semua kelompok dalam kategori ini  memiliki tingkat penyakit mental baru yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak memiliki riwayat sebelumnya.

Meskipun di Kanada mewajibkan calon ibu pengganti menjalani penilaian psikologis, hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 19 persen ibu pengganti dalam penelitian ini memiliki diagnosis penyakit mental yang terdokumentasi sebelum kehamilan.

Penelitian ini merupakan tindak lanjut dari penelitian sebelumnya yang dilakukan tim. Dari sana, ditemukan bahwa ibu pengganti lebih mungkin mengalami komplikasi termasuk perdarahan pasca persalinan yang parah dan pereeklamsia berat.

Dr Zaina Mahmoud, pakar aspek sosio-legal surrogasi di The University of Liverpool di Inggris, yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan bahwa perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi apakah risiko penyakit mental baru yang lebih tinggi pada ibu pengganti disebabkan oleh kehamilan itu sendiri atau ada mekanisme yang berperan.

"Para peneliti tidak membahas mengapa atau bagaimana ibu pengganti memiliki lintasan emosional ini,"ujarnya.

Ia menambahkan bahwa tim peneliti juga telah menggunakan definisi penyakit mental yang sangat luas. "Mereka berhipotesis bahwa kesedihan muncul karena melepaskan bayi mungkin berkontribusi di dalamnya. Tetapi, mereka tidak benar-benar mengukur kesedihan tersebut."

Namun, Mahmoud mendukung seruan untuk skrining dan dukungan yang lebih besar lagi bagi para ibu pengganti, dengan mengatakan bahwa penelitian tersebut menyarankan dukungan harus berlangsung lebih dari dua tahun setelah kelahiran. Penelitian ini benar-benar menyoroti perlunya prosedur informasi dan persetujuan yang kuat,"katanya.

Legalitas surrogate mother atau ibu pengganti di Indonesia

Di luar negeri, tren surrogate mother menjadi hal yang lumrah terjadi dan sah-sah saja. Di negara seperti Amerika Serika, praktik ini bahkan dilegalkan. Artinya, pasutri bisa mendapatkan anak dengan inseminasi buatan atau program bayi tabung yang dijalani perempuan lain. Syaratnya, si ibu pengganti setidaknya harus memenuhi kriteria tertentu untuk bisa hamil.

Bagaimana di Indonesia mengenai praktik ibu pengganti ya, Bunda?

Berdasarkan UU, praktik surrogate mother sebenarnya justru dilarang, Bunda dan tidak masuk dalam aturan pemerintah. Dalam UU Nomor 36 Tahun 2009, pasal 127 (a) dijelaskan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah, dengan ketentuan hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.

Dari butir ayat dalam UU tersebut jelas bahwa kehamilan tidak dapat dilakukan oleh perempuan yang bukan istri sah dari suaminya. Serta, sperma suami juga tidak dapat ditanam kecuali di rahim istrinya sendiri.

Pandangan Islam mengenai peran ibu pengganti

Jika dalam UU pemerintah sendiri, keberadaan ibu pengganti tidak diatur di dalamnya dan bahkan dilarang untuk dilakukan. Dalam Islam sendiri juga, peran surrogate mother atau ibu pengganti tidak dibenarkan dalam Islam. Konsep memberikan anak sendiri kepada orang lain menjadi hal yang tidak dibenarkan, Bunda.

"Ibu pengganti ini dalam hukum Islam tidak dibenarkan. Anak yang dilahirkan dari rahimnya adalah anak ibu tersebut, anak kandung, karena dia yang mengandung," kata Amany Lubis, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

"Apabila diambil keluarga lain, maka anak tersebut jadi anak angkat keluarga si keluarga baru, dan tidak bisa dianggap [anak] kandung," sambungnya.

Berbeda cerita ketika konsep surrogate mother atau ibu pengganti ini  tak memperkenalkan dengan benar siapa ibu kandung dan ibu angkat dari anak tersebut. Artinya, anak yang bersangkutan bisa mengetahui asal usulnya. 

Sebaliknya, konsep surrogate mother jadi bermasalah jika ibu kandung anak tersebut tidak memperkenalkan pada anaknya sehingga ibunya tidak kenal dengan anak dan anaknya juga tidak kenal ibunya.

"Ini yang jadi kekacauan. Dalam pencatatan [sipil] ibu kandungnya juga berbeda. Ini yang tidak dibenarkan," ujar Amany Lubis.

 

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(pri/pri)

Simak video di bawah ini, Bun:

Mengenal Toxic Productivity, Ini Ciri-Ciri dan Cara Menanganinya

TOPIK TERKAIT

ARTIKEL TERKAIT

TERPOPULER

Ultah ke-36, Marshanda Dapat Ucapan Manis dari Sang Putri Sienna yang Menyentuh Hati

Mom's Life Nadhifa Fitrina

5 Potret Adiba Khanza & Egy Maulana Gender Reveal Kehamilan Pertama, Bakal Dikaruniai Baby Girl!

Kehamilan Annisa Karnesyia

Kurang Tidur atau Tidur Berlebih, Mana yang Lebih Berbahaya? Ini Penjelasannya

Mom's Life Ajeng Pratiwi & Fauzan Julian Kurnia

205 Nama Irlandia Aesthetic untuk Anak Perempuan dan Artinya yang Cantik & Menawan

Nama Bayi Annisya Asri Diarta

Anak Bangun Tidur Kepala Pusing, Ketahui Penyebab dan Cara Mengatasinya

Parenting Nadhifa Fitrina

REKOMENDASI
PRODUK

TERBARU DARI HAIBUNDA

Masih Mahal, Harga Beras Tembus Rp54.000 per Kg di Wilayah Ini

Momen Ariel NOAH Habiskan Waktu Bersama Sang Putri, Ini 5 Potretnya Bareng Alleia

BomBBASHtic Party: Perayaan 1 Tahun BC June 2024 Penuh Cinta Dihadiri 95 Bunda & Si Kecil

Anak Bangun Tidur Kepala Pusing, Ketahui Penyebab dan Cara Mengatasinya

5 Potret Adiba Khanza & Egy Maulana Gender Reveal Kehamilan Pertama, Bakal Dikaruniai Baby Girl!

FOTO

VIDEO

DETIK NETWORK