Jakarta -
Suatu kali saya beli sayur ke penjual sayur, nggak jauh dari rumah saya. Lalu lewatlah seorang anak perempuan berseragam SD sambil menaiki sepedanya. Seorang ibu berbisik kepada ibu lainnya, "Tuh anaknya pelakor".
Istilah pelakor belakangan memang sering banget disebut. Tahu kan, Bun, artinya? Iya, perebut laki orang.
Ingatan saya pun melayang ke masa kecil dulu. Salah satu teman diejek dengan sebutan 'anak tukang serong'. Waktu itu, ibu dari teman tersebut memang ketahuan selingkuh. Konon selingkuhnya beberapa kali. Di tempat asal saya, istilah serong merujuk pada selingkuh.
Miris banget ya. Anak yang nggak tahu apa-apa dibawa-bawa untuk kasus orang tuanya yang sama sekali nggak melibatkan dirinya. Topik ini pun menjadi perbincangan saya dengan seorang psikolog anak dan remaja, Ratih Zulhaqqi.
"Yang perlu digarisbawahi, anaknya ikut kena sanksi sosial," ujar Ratih.
Apalagi nih ya, kalau yang berselingkuh itu public figur, wah pasti beritanya ada di mana-mana dan 'terekam' di dunia maya. Kelak, kalau si anak sudah besar, pasti sedih ya mendapati kabar-kabar tentang orang tuanya yang berselingkuh.
Tapi nggak cuma public figur aja kan ya, Bun, yang kisah perselingkuhannya bisa direkam di 'dunia maya'. Bisa aja nih, kekecewaan pasangan yang diselingkuhi diungkapkan melalui media sosial, 'disimpan' di dunia maya. Apalagi kalau ada video-video yang mengungkap perselingkuhan juga diunggah ke internet, bisa saja catatan hitam itu akan terus ada sampai kelak anak besar dan paham apa itu perselingkuhan.
"Kalau ada di media sosial (perselingkuhan orang tuanya), lalu anak tahu bagaimana respons sosial, apa yang di-judge lingkungan, maka anak akan turut menanggung apa yang dilakukan orang tuanya," tambah Ratih.
Lalu ada dampaknya nggak buat anak atas semua sanksi sosial yang turut dirasakannya? Kata Ratih, bisa berdampak ke intimate relationship anak kelak. Anak bisa trauma menikah, bisa trauma pada lawan jenis juga.
 Ilustrasi selingkuh/ Foto: Thinkstock |
Terus kalau misal nih, anak kita bilang, "Bun, mamanya si A kan pelakor, kata teman-teman nggak usah dekat-dekat sama dia," gimana sebaiknya kita merespons ya?
"Kita perlu beri pengetahuan ke anak kita, bahwa mungkin tindakan ibunya salah karena mengambil milik orang lain, tapi kita nggak perlu ikut-ikutan. Nggak apa-apa tetap berteman dengan teman itu, karena pertemanan dengan dia nggak ada hubungannya dengan kasus orang tuanya," papar Ratih.
"Kita bisa kasih contoh, kalau bapaknya polisi, anaknya bisa jadi polisi tapi bisa juga jadi yang lain. Sama juga kalau bapaknya mencuri, anaknya belum tentu juga pencuri," imbuhnya.
Terkadang juga apa yang kita lihat dan dengar tidak menggambarkan realita sebenarnya. Meski kata orang-orang si A selingkuh dengan si B, tapi kita nggak tahu apa memang benar seperti itu. Kadang kita perlu membatasi diri untuk tidak terlalu ikut campur dengan kehidupan orang lain.
"Kadang tingkat peduli kita tinggi banget, jadinya rempong sendiri. Kita jadi nanya-nanya, eh bener ya si A selingkuh sama si B. Kadang orang tanya cuma karena ingin tahu saja lalu menjadi bahan perbincangan, membuat situasi makin nggak bagus, bukannya membantu mencari jalan keluar," tutur Ratih.
Dari obrolan saya dengan Ratih, kesimpulannya adalah kalau mau melakukan hal negatif seperti selingkuh harus pikir panjang dulu. Karena anak yang nggak berdosa bisa turut menanggung beban atas apa yang kita lakukan.
Di satu titik mungkin kita merasa pernikahan kita jadi terasa hambar dan membosankan, sehingga ketika ada orang baru, hati ini jadi deg-deg-ser. Itu semua persis sama ketika kita mulai jatuh hati sama pasangan. Tapi kita nggak lagi zaman-zaman pacaran, yang ketika merasa nggak cocok sedikit, bisa segera bilang, "Elo, gue, end".
Apapun kondisinya, semoga kita diberi kekuatan untuk menjaga rumah tangga kita ya, Bun. Semoga kita bisa menyelesaikan semua permasalah rumah tangga dengan baik, sehingga pintu rumah tangga kita nggak bisa dimasuki orang lain.
(Nurvita Indarini)