Jakarta -
Tiga tahun lalu, saat anak saya lahir, senangnya luar biasa. Merasa dibutuhkan oleh manusia lain, yang tangisannya hanya bisa ditenangkan oleh air susu saya, rasanya bahagia banget. Tapi di saat yang sama, badan pun lebih letih.
Ya, mengurus manusia kecil menyenangkan sekaligus melelahkan. Saya belum terbiasa dengan begadang yang hampir setiap malam dilakoni. Terkadang si kecil menangis tanpa saya tahu apa maunya. Belum lagi pendapat dan saran orang lain yang diberikan tanpa diminta itu lama-lama terdengar mengesalkan. Apalagi yang disampaikan dengan nada judgement.
Saat itu pun saya jadi lebih mudah terusik emosinya. Lebih gampang marah dan sedih. Di saat itulah, suami, sebagai tempat bersandar diharapkan banget bisa memberikan dukungan.
Nah, suatu kali saya ngobrol dengan Ferry Tenka, CEO Orami, yang 13 bulan terakhir menjadi ayah dari seorang putri. Darinya saya tahu perspektif laki-laki ketika menjadi orang tua baru. Mirip-mirip seperti suami saya, ikut bingung saat anak sakit. Tapi nggak tahu harus berbuat apa karena kadang sarannya dianggap nggak tepat oleh sang
istri.
"Stresnya banyak sih.
Istri saya sebelumnya pernah keguguran, jadi saat hamil hingga anak saya lahir jadi over protective," tutur Ferry saat ngobrol dengan HaiBunda di sela-sela konferensi pers Orami Birth Club beberapa waktu lalu.
Suatu kali dalam sebulan, Ferry dan istrinya pernah membawa si kecil ke dokter sampai lima kali. Kekhawatiran berlebih membuat mereka jadi lebih sering ke dokter. "Padahal biaya ke dokter nggak murah juga," lanjut pria berkacamata ini.
Beda sudut pandang dan kehidupan yang berubah diakui Ferry memicu beberapa konflik. Lelah memang jadi ayah baru, tapi Ferry merasa istrinya jauh lebih lelah. Sebab si kecil 24 jam bersama ibunya.
"Dukungan saya sebisa mungkin lebih sabar, lebih mengerti situasi dia. Nggak emosional," ucap Ferry.
 Dukungan suami untuk Istri yang Usai Lahiran: Banyak Sabar /Foto: Thinkstock |
Karena itulah menurut Ferry, penting banget adanya komunitas buat ibu-ibu. Karena punya pengalaman yang sama dan merasakan hal yang mirip, akan lebih membantu ibu mengurangi stres ketika terjadi sesuatu pada anaknya.
Beda Jadi AyahSetelah menjadi ayah, tambah Ferry, hari-harinya hanya diisi dengan urusan pekerjaan dan rumah. Jika dulu dia lumayan punya waktu untuk nonton film di bioskop, misalnya, hal itu sekarang nggak dilakukannya lagi.
"Sehari-hari anak dan kerjaan saja," katanya sambil tersenyum.
Selain itu Ferry juga nggak lagi punya waktu berdua saja dengan istri, karena si kecil nggak bisa jauh dari ibunya. Maklum anaknya masih minum air susu ibu (ASI) langsung dari sumbernya, sehingga ke manapun ibunya pergi, pasti akan selalu ikut.
Kalau dulu sebelum jadi ayah, Ferry terbiasa tidur larut malam dan bangun sekitar jam 7 pagi, kini mulai berubah. Selama 13 Bulan terakhir ini Ferry selalu tidur lebih cepat dan bangun pukul 5 pagi, karena di jam itulah anaknya bangun.
Sebagai ayah perlu me time nggak sih? "Me time saya di kantor, ketika 8-10 jam kerja," ujarnya.
Satu perbedaan lagi saat jadi ayah adalah ketika mau bepergian sama si kecil, barang yang dibawa banyak banget seperti mau pindah rumah. Ferry mencontohkan saat dia dan keluarganya ke Bogor selama dua hari tiga malam, seisi mobil penuh dengan keperluan si kecil.
"Alat makan, sterilan, cooker-nya, dibawa semua," kenang Ferry sambil tertawa.
Seru banget pastinya menjadi orang tua. Ada capeknya, tapi pasti banyak senangnya. Apalagi kalau melihat perkembangan si kecil yang makin pintar dan lucu, kelelahan itu terbayar sudah.
(Nurvita Indarini/rdn)