Jakarta -
Sumpah Pemuda. Tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap tahun pada tanggal 28 Oktober. Sumpah Pemuda lahir dari Kongres Pemuda II yang digelar di Jakarta pada 27 - 28 Oktober 1928.
Dalam Kongres Sumpah Pemuda II, ada sekitar 700-an pemuda hadir di Gedung Indonesische Club-gebouw atau Gedung Kramat 106, yang saat ini menjadi Museum
Sumpah Pemuda. Meski demikian, hanya 82 orang saja yang tercatat sebagai peserta kongres.
Menurut buku
Panduan Museum Sumpah Pemuda, dari 82 orang tersebut, sebanyak enam orang adalah
perempuan. Mereka adalah Dien Pantow, Emma Poeradiredjo, Jo Tumbuan, Nona Tumbel, Poernamawoelan, dan Siti Soendari.
Hanya tiga yang berpidato dalam kongres tersebut, yaitu Emma Poeradiredja, Poernamawoelan, dan Siti Soendari. Berdasarkan buku
Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda yang ditulis Mardanas Safwan, disebutkan bahwa Emma dan Siti berpidato pada sidang di hari pertama yakni, 27 Oktober.
Ketika itu, Siti berpidato dalam Bahasa Belanda. Pidato itu kemudian diterjemahkan oleh Sekretaris Kongres Pemuda II, Muhammad Yamin.
Dalam pidatonya, Siti menanamkan bahwa rasa cinta Tanah Air, terutama pada perempuan harus ditanamkan sejak kecil, bukan hanya untuk pria saja.
Adapun Emma Poeradiredja yang merupakan Ketua Cabang Bandung Jong Islamieten Bond, dalam pidatonya menganjurkan kepada para perempuan untuk tidak hanya terlibat dalam pembicaraan soal pergerakan saja, tetapi juga disertai dengan perbuatan.
 Museum Sumpah Pemuda. (Foto: Ari Saputra) |
Penasaran seperti apa sosok Siti Soendari dan Emma Poeradiredja? Yuk Bunda kenal lebih dekat dua tokoh ini, dikutip
HaiBunda dari berbagai sumber.
1. Siti Soendari Siti Soendari adalah adik bungsu dari dr.Soetomo, pendiri Budi Utomo yang merupakan organisasi pergerakan pertama di Indonesia. Di masanya, Siti bukan hanya perempuan biasa, Bunda.
Siti adalah perempuan Indonesia kedua yang berhasil menyandang gelar Meester in de Rechten (MR atau Sarjana Hukum) dari Universitas Leiden di Belanda. Mengutip buku
Siti Soendari: Adik Bungsu dr. Soetomo, Siti bersama Maria Ulfah Santoso adalah perempuan-perempuan pertama yang berasal dari kalangan elite Jawa yang dapat kesempatan melepaskan diri dari kekangan adat.
Meski berpendidikan tinggi dan pernah menjadi Direktur Bank, Siti lebih suka menjadi ibu. Ia dengan sabar membimbing anak-anaknya dalam membuat pekerjaan rumah dan menyesuaikan diri dengan kehidupan di Belanda.
2. Emma PoeradiredjaEmma Poeradiredja termasuk perempuan pertama yang melanjutkan sekolah ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat masih duduk di kelas satu MULO, Emma sudah menjadi anggota Bond Inlandsche Studeerenden.
Setelah lulus pada 1921, Emma diterima bekerja di Staatspoor en tramwegen (SS) yang sekarang bernama PT. Kereta Api Indonesia (KAI).
Sambil bekerja, ia tetap aktif dalam pergerakan, seperti Kongres Pemuda Indonesia dan organisasi Jong Islamieten Bond.
Emma juga adalah pendiri Pasundan Istri (PASI) yang bertujuan untuk menampung aspirasi kaum perempuan pada 1930. Ia menjabat sebagai Ketua Umum dan Penasihat Organisasi sampai akhir hayatnya. Emma meninggal pada 19 April 1976.
Pada masa setelah kemerdekaan Indonesia, Emma pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung dan anggota DPR/MPR.
[Gambas:Video Haibunda]
(som/muf)