Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Bikin Resah! Cek Kebenaran soal Mitos Vaksin Ini

Inkana Putri   |   HaiBunda

Senin, 09 Nov 2020 14:09 WIB

Illustrative picture of covid-19 coronavirus vaccine vial
Cek fakta mengenai vaksin/ Foto: Getty Images/iStockphoto/Manjurul
Jakarta -

Maraknya berita terkait perkembangan vaksin COVID-19 ternyata membuat munculnya mitos tentang vaksin dan imunisasi di tengah masyarakat. Bahkan, tak sedikit mitos yang membuat masyarakat menolak vaksinasi atau ragu terhadap efektivitas vaksin.

Dokter Spesialis Anak dari Yayasan Orangtua Peduli Windhi Kresnawati menyebutkan beredarnya mitos memang menjadi hambatan program vaksinasi sejak dulu. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk tahu fakta seputar vaksin. Berikut beberapa fakta soal mitos vaksin yang perlu Bunda tahu.

1. Gaya Hidup Sehat Saja Bisa Cegah Penyakit

Pola hidup sehat memang merupakan kebiasaan baik. Namun Windhi mengingatkan cara ini belum cukup ampuh untuk mencegah infeksi penyakit tertentu. Hal ini bisa dilihat saat ditemukan vaksin campak di Amerika Serikat pada 1963, penyakit ini berangsur-angsur hilang. Bahkan pada 1974, pemerintah AS menyatakan mereka bebas campak.

Windhi menjelaskan pola dan gaya hidup warga AS sejak tahun 1963 - 1974 tidak ada perubahan. Artinya peran terbesar atas hilangnya campak di AS adalah imunisasi atau vaksinasi, bukan hanya karena gaya hidup sehat.

Namun, kondisi ini mulai berubah saat di AS mulai muncul kelompok masyarakat yang meragukan vaksin MMR (campak, beguk, rubella), yang kemudian diikuti dengan semakin banyak orang ragu terhadap peran vaksin campak.

"Akibatnya, tahun 2018 Amerika Serikat kembali mengalami wabah campak. Ini disebabkan banyak pendatang dari negara lain yang tidak vaksin dan refuse vaksinasi tinggi," ujar Windhi dikutip dari situs covid.go.id, Senin (09/11/2020).


2. Imunisasi Tetap Bisa Kena Penyakit

Terkait mitos ini, Windhi dalam Webinar Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Senin (12/10) menjelaskan bila mengalami sakit, tingkat keparahan yang dialami pasien imunisasi sangat ringan. Bahkan, ia menyebut anak-anak yang melakukan imunisasi bila sakit akan terhindar dari kecacatan dan kematian.

"Dan jangan lupa, kalau Anda tidak diimunisasi dan Anda tidak sakit, berterimakasihlah kepada orang yang diimunisasi. Karena itulah herd immunity. Ketika kita berada di tengah orang-orang yang sehat, kita tidak terjangkit penyakit," ujar Windhi.

3. Vaksin Mengandung Zat Berbahaya

Windhi menegaskan hal tersebut merupakan sebuah informasi keliru di masyarakat. Pasalnya, vaksin yang sudah diproduksi massal tentunya telah melewati proses panjang dan sudah memenuhi syarat utama, yakni aman, efektif, stabil, dan efisien dari segi biaya.

"Setelah dinyatakan aman, dipakai oleh masyarakat luas di bawah monitoring. Kalau negara kita di bawah BPOM. Karena satu saja ada temuan efek samping yang tidak diinginkan itu bisa ditarik dan biasanya itu ketahuan di fase awal," jelasnya.

4. Vaksin Penyebab Autisme

Thimerosal merupakan salah satu kandungan vaksin yang sempat dituduh memicu autisme pada anak. Padahal thimerosal ini berfungsi sebagai pengawet vaksin.

Terkait hal ini, Windhi memastikan tidak ada kaitannya antara kandungan vaksin terhadap autisme pada anak. Hal ini sudah terbukti pada penelitian mendalam dan panjang, bahkan hingga lebih dari 10 tahun.

Lebih lanjut ia menyampaikan Amerika Serikat pernah menghapuskan kandungan thimerosal pada tahun 1999 karena takut bahwa kandungannya bisa memicu autisme. Tapi, setelah thimerosal dihapuskan, angka autisme di Amerika Serikat tidak juga turun.

"Angka autis malah naik. Artinya tidak ada hubungan antara autis dengan thimerosal," katanya.

Windhi menambahkan Peneliti melihat kadar thimerosal pada tubuh anak autis dan anak non autis. Hasilnya, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini semakin menguatkan bahwa thimerosal tidak menyebabkan autisme, melainkan genetika.

"Jadi jangan termakan hoaks dengan thimerosal penyebab autisme. Banyak sekali penelitiannya dan mudah sekali mencarinya di internet," paparnya.

5. Vaksin Mengandung Sel Janin Aborsi

Menurut Windhi, virus memang perlu inang berupa sel hidup untuk bisa bertahan dan berkembang biak, seperti halnya virus campak, rubella, polio, bahkan SARS Cov-2. Dalam pembuatan vaksin, virus memang akan menginfeksi sel hidup itu dan diproduksi berulang-ulang selama bertahun-tahun dengan meninggalkan sel awal. Sedangkan yang diambil sebagai komponen vaksin adalah bagian dari virus atau virusnya tersendiri.

"Jadi, kalau ada yang bilang ada sel janin yang digunakan, itu terjadi pada tahun 1960-an, di mana digunakan secara legal untuk membuat vaksin dan itu sekali saja proses yang terjadi. Lantas apakah dalam vaksin ada sel janin? Jawabannya, hanya ada hasil produknya, yakni berupa virusnya saja," imbuhnya.

6. Penyakit yang Sudah Ada Vaksinnya, Tak Perlu Vaksinasi Lagi

Soal hal ini, Windhi mengatakan banyak riset menunjukkan penurunan angka vaksinasi memicu kenaikan penyakit spesifik yang dilawan vaksin tersebut. Hal ini sempat terjadi di Indonesia pada medio akhir 2017 lalu.

Awalnya wabah difteri terjadi di Jawa dan merambah ke Sumatra. Pemerintah pun memutuskan untuk melakukan imunisasi nasional dan menggratiskan imunisasi difteri hingga usia 19 tahun.

"Di AS juga terjadi, tahun 2018 angka imunisasi turun dan muncul lagi. Polio sempat muncul kembali di Papua, padahal kita pernah dapat bendera bebas polio dari WHO. Campak rubella masih mengancam karena banyak hoaks tadi. Jadi hati-hati, kalau angka mulai turun dan kita hadapi wabah ini sangat menderita," katanya.

7. Isu Vaksin Haram

Windhi menyampaikan isu tentang haram atau halalnya vaksin hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di Timur Tengah yang berpenduduk mayoritas Muslim, pro kontra terhadap kehalalan vaksin tidak terjadi.

"Dan peserta haji wajib divaksin. Makanya saya bilang lucu, kenapa di kita doang. Jadi pemicunya ada Trypsin yang dipinjam dari enzim babi untuk hasilkan panen yang baik. Supaya dapat komponen vaksin," ungkapnya.

Ia juga menegaskan masyarakat perlu memahami tidak ada bagian babi yang digunakan untuk vaksin. Enzim ini akan dimurnikan kembali sehingga komponen perantara tidak ikut masuk pada vaksin.

Windhi menjelaskan saat proses pembuatannya bersinggungan dengan enzim dari babi, pada produksi akhirnya hanya virus yang masuk dalam vaksin.

"Seandainya tetap tidak mau. Karena bersinggungan, kita merujuk negara lain yang maju yang mayoritas Muslim dan MUI yang sudah sampaikan halal. Untuk kebaikan dan dalam keadaan mencegah penyakit yang lebih berat dan berbahaya, vaksin halal," pungkasnya.

Selain ketujuh mitos tersebut, masih banyak mitos lain soal vaksin dan imunisasi yang perlu diluruskan. Sebagaimana diketahui, vaksinasi menjadi salah satu cara untuk mencegah penularan penyakit.

Selain itu, di tengah pandemi COVID-19 saat ini, Bunda perlu #IngatPesanIbu untuk menerapkan 3M, yakni #pakaimasker, #jagajarak dan rajin #cucitanganpakaisabun seperti yang terus dikampanyekan #satgascovid19. Hal ini guna memutus rantai penyebaran COVID-19 di masyarakat.

 

Bunda, simak juga fakta tentang Covid lainnya dalam video berikut:

[Gambas:Video Haibunda]



(mul/ega)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda