Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Belajar dari Kasus Andini, Pahami 10 Hal Penting Tentang Toxic Relationship Agar Tak Jadi Korban

Fitri Andiani   |   HaiBunda

Rabu, 11 Oct 2023 16:25 WIB

Upset asian couple wife sit on couch listen to furious husband yelling feel unhappy talk negative to her. Couple have fight or disagreement at home, Couple problem, family married toxic relationship.
Ilustrasi toxic relationship/Foto: Getty Images/iStockphoto/Tirachard
Daftar Isi
Jakarta -

Peristiwa tewasnya Andini usai dianiaya pasangannya, Gregorius Ronald Tannur, sempat menggemparkan publik pekan lalu. Melansir dari Detikcom, diketahui Andini dan pasangannya yang masih berstatus pacar tersebut, terlibat dalam pertengkaran sebelum penganiayaan itu terjadi.

Saksi yang diperiksa mengatakan Andini sempat ditendang hingga terjatuh dalam posisi duduk. Kepala Andini juga dipukul dengan botol minuman keras sebanyak dua kali.

Penganiayaan terus berlanjut sampai keduanya memutuskan untuk pulang, dan Andini terlindas mobil yang dikendarai oleh pasangannya. Setelah rangkaian penganiayaan, Andini pun dinyatakan meninggal dunia di rumah sakit.

Banner Atasi Panas di Rumah Tanpa AC

Yang menjadi pertanyaan adalah, pertengkaran macam apa yang membuat pasangan Andini merasa berhak menganiaya?

Jawabannya tentu saja tidak ada satu alasan pun untuk membenarkan perilaku penganiayaan, baik secara fisik maupun verbal. Toxic relationship semacam ini bukan hal yang baik untuk dipertahankan, namun sayangnya, banyak orang terjebak di dalamnya.

Toxic relationship bisa terjadi dalam bentuk relasi apapun, baik pacaran, pertemanan, keluarga, bahkan pernikahan. HaiBunda menghubungi Psikolog Klinis Dewasa untuk memaparkan lebih lanjut mengenai toxic relationship. Simak di sini selengkapnya.

10 hal tentang toxic relationship yang penting diketahui

1. Toxic relationship tak melulu soal kekerasan fisik

Alfath Hanifa Megawati M.Psi., mengatakan, "definisi toxic relationship itu kan hubungan yang beracun atau hubungan yang secara mental tidak menyehatkan satu atau dua orang yang terlibat di dalam hubungan."

"Toxic relationship itu belum tentu ada perilaku abusive seperti kekerasan, tapi relasi yang abusive yang ada kekerasannya itu sudah pasti relasi yang toxic."

2. Komunikasi yang terjalin selalu bersifat merendahkan

Komunikasi dalam toxic relationship selalu cenderung merendahkan salah satu pihak. Kritik yang terjadi pun hanya satu arah dan tidak ada intensi positif.

"Komunikasi yang deep dan positif itu justru sangat kurang di relasi seperti ini," tutur Psikolog Klinis Dewasa yang akrab disapa Ega ini.

Jika Bunda merasa seseorang yang terlibat relasi dengan Bunda terus menerus merendahkan Bunda, itu bisa jadi salah satu tanda toxic relationship.

3. Pelaku kekerasan dalam toxic relationship tak menyadari perbuatannya

Menurut Ega, pelaku-pelaku kekerasan biasanya tidak memiliki dasar atau prinsip-prinsip yang sehat. Mereka cenderung tak memiliki gambaran bagaimana menjalani hubungan yang sehat atau cara berelasi yang sehat.

"Sebenarnya mereka tahu perilaku mereka itu menyakiti pasangan, tapi balik lagi, mereka sulit mengelola respon dan dorongan."

4. Orang yang melakukan kekerasan biasanya merasa rendah diri

Perlu diingat kembali bahwa toxic relationship tak selalu memiliki perilaku kekerasan fisik, bisa saja bentuknya adalah perkataan-perkataan, atau sikap sepele dengan intensitas negatif dalam keseharian, namun terjadi secara berulang.

Penyebab utama seseorang melakukan tindak kekerasan adalah karena adanya rasa rendah diri. "Jadi, sebenarnya si pelaku ini adalah sosok yang insecure atau memandang dirinya itu tidak memiliki sesuatu yang berharga dan layak dicintai, sehingga pasangan tidak akan stay dengan dirinya ketika dia menunjukkan dirinya yang apa adanya," jelas Ega.

5. Pelaku toxic relationship tumbuh dalam lingkungan yang abusive

Tumbuh dalam lingkungan yang abusive tentu memengaruhi nilai-nilai dalam diri seseorang. Terbiasa melihat kekerasan, bisa saja membuat seseorang merasa tindak kekerasan tersebut adalah normal dan wajar dilakukan.

Ketika masih di jenjang pendekatan atau pacaran, penting untuk mencari tahu bagaimana latar belakang keluarga pasangan. Apakah ia berasal dari keluarga yang rukun dan harmonis? Atau toxic relationship itu sangat kentara dalam keluarga pasangan? Sedikit banyak, ini akan memengaruhi bagaimana pasangan memperlakukan Bunda.

6. Korban toxic relationship sering terjebak karena merasa dirinya bisa jadi penyelamat

Bukan satu dua kali berita kriminal yang didasari kekerasan dalam hubungan viral di media sosial, baik itu masih pacaran, maupun pernikahan. Tak sedikit pula ada pertanyaan, "sudah tahu pasangannya abusive, kenapa tidak melarikan diri dan cari pertolongan?"

Sayangnya, kenyataan di lapangan tak se-hitam putih itu. Menurut Ega, seringkali perilaku toxic itu terjadi dalam hubungan yang berjalan tanpa konflik. "(biasanya) mulai muncul konflik dengan perilaku kekerasan terus ada masa honeymoon di mana pasangan ini meminta pasangannya kembali dengan memberikan hal-hal romantis, memberikan janji-janji manis, baru kemudian ada fase korban ini terpenjara dengan harapan pasangannya bisa berubah, dia ini seseorang yang dibutuhkan."

Perilaku kekerasan yang diterima korban juga memengaruhi rasa keberhargaandiri. Korban biasanya merasa jadi tak berharga dan mempertanyakan value dirinya sendiri. Banyak korban merasa tak pantas mendapat yang lebih baik, dan melarikan diri dari situasi ini hanya akan membawanya pada situasi serupa di kemudian hari.

"Alasan lain yang membuat korban bertahan kayak dia memiliki keinginan bahwa saya adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan pasangan," tegas Ega.

Karena perasaan yang dipikir cinta, rasa heroik yang tak tepat dalam diri korban membuatnya berpikir bahwa cinta yang dimiliki dapat menyelamatkan dan membuat pelaku berubah. Padahal, tentu saja itu salah.

7. Cara menyelamatkan diri dari toxic relationship

Meski kenyataannya ini bukanlah hal mudah yang dilakukan oleh korban, namun Ega menyarankan untuk bercerita. kepada teman atau support system yang dapat dipercaya.

"Mulailah notice ini satu hal yang perlu aku ceritain ke orang lain, kamu bisa bikin jurnal, cerita ke teman," saran Ega.

Jika intensitas (toxic relationship) tinggi, Ega menyarankan untuk mencari jalan keluar ke profesional agar dapat berpikir lebih jernih untuk mengambil sikap. Pikirkan untung ruginya bagi diri sendiri jika menetap atau meninggalkan toxic relationship tersebut.

"Coba sampaikan kepada pasangan bahwa perilaku tersebut membuat tidak nyaman. Kemudian, cari mediator untuk bersama-sama duduk bareng dan mendengarkan sudut pandang orang ketiga yang netral, sehingga bisa menemukan win-win solution."

Tapi kalau pasangan menolak, berarti itu tanda oke kemampuan dia untuk berkembang dan belajar sesuatu itu rendah saat ini, bagaimana kita bisa menjalani visi misi jangka panjang kalau orangnya tidak ingin berkembang dan belajar hal baru. Apakah Bunda sanggup hidup bersama orang seperti itu?

8. Pelaku kekerasan tidak bisa semerta-merta berubah

Kekerasan terjadi karena adanya value yang tertanam dalam diri, melalui kebiasaan-kebiasaan yang sudah lama dilakukan dan menjadi kepribadiannya. Untuk mengubah ini, tentu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.

"Langkah pertama yang bisa dilakukan pastinya dengan upaya bersama. Enggak bisa datang ke konseling hanya salah satu dari kedua belah pihak, atau ketika datang ke konseling si pelaku masih menutup diri, tidak bisa dipastikan dia bisa berubah," kata Ega,

Bersama-sama datang ke profesional untuk memperbaiki relasi agar tahu tahapan-tahapan apa saja yang perlu dilakukan oleh kedua belah pihak.

9. Sebaiknya tak lanjutkan hubungan jika toxic relationship terasa semenjak pacaran

Ega mengatakan jika toxic relationship ini sudah menjadi kebiasaan saat pacaran, baiknya tak perlu dilanjutkan ke jenjang pernikahan.

"Banyak korban itu menikah dengan pasangannya dengan harapan pernikahan itu bisa mengubah pasangannya, tapi tidak demikian. Jadi, keputusan menikah ini bukan sesuatu yang hanya dipikirkan dari faktor nilai sosial gitu ya, tuntutan sosial, tapi memang secara internal diri kita tuh benar-benar memikirkan matang-matang ini orang bisa jadi orang yang menyehatkan atau tidak," tegas Ega.

10. Pesan untuk korban toxic relationship

Jika dalam sebuah hubungan Bunda merasakan ada banyak perilaku negatif, komunikasi yang terjalin membuat Bunda mempertanyakan value diri atau bahkan merasa rendah diri, besar kemungkinan Bunda sedang berada dalam relasi yang beracun.

Ega mengingatkan untuk lebih mindful menjalaninya dan memetakan, apakah relasi itu menyehatkan untuk dijalani dalam jangka panjang? Jika ada di pernikahan, apakah baik untuk anak-anak di kemudian hari?

Jika jawabannya adalah tidak, pertanyakan lagi kepada diri sendiri adakah upaya yang sudah dilakukan secara berkelanjutan? Apakah sudah ada upaya yang dilakukan bersama untuk memperbaiki relasi tersebut? Bagaimana progressnya?

Jika jawabannya masih negatif, pertanyakan lagi pada diri sendiri, dengan semua yang diterima, apakah ini semua layak dijalani?

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(fia/fia)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda