Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Arti Tagar 'Desperate' yang Viral di LinkedIn, Ramai Digunakan Gen Z

Amira Salsabila   |   HaiBunda

Senin, 28 Oct 2024 15:30 WIB

Ilustrasi linkedin
Arti Tagar 'Desperate' yang Viral di LinkedIn/Foto: Getty Images/stockcam
Jakarta -

Belakangan ini tagar ‘Desperate’ tengah ramai digunakan kalangan Gen Z yang mencari pekerjaan. Tren terbaru ini menampilkan bagaimana kebutuhan mendesak akan pekerjaan baru dengan menghiasi profil menggunakan tagar tersebut.

LinkedIn adalah platform yang dibuat untuk membangun jaringan dan terhubung dengan orang lain. Platform ini tentunya sangat membantu seseorang dalam mencari pekerjaan.

Kalangan Gen Z memimpin gerakan untuk menormalkan perilaku yang selama ini dianggap tabu di dunia profesional.

Banner Persiapan Melahirkan

Tren terbaru yang mereka dorong adalah bersikap terbuka tanpa rasa bersalah tentang betapa melelahkannya pencarian kerjanya, dan betapa putus asanya mereka untuk mendapatkan pekerjaan di mana pun.

Seperti yang diketahui bahwa di LinkedIn, pengguna dapat mengubah profil mereka untuk menampilkan tagar Open to Work. Namun, para pencari kerja kini memasang tagar Desperate di foto profilnya untuk membuat situasi lebih jelas.

Asal usul tagar ‘Desperate’ di LinkedIn

Melansir dari laman Nypost, seorang perempuan bernama Myers membuat tagar Desperate di LinkedIn dengan warna ungu.

Tagar ini digunakannya dalam upaya memberi sinyal kepada para pemberi kerja bahwa dia sangat terbuka terhadap pekerjaan baru setelah hampir setahun menjadi pengangguran.

Perempuan 28 tahun ini diberhentikan dari pekerjaannya sebagai desainer grafis pada November dan sejak saat itu telah melamar sekitar 30 pekerjaan per hari, tetapi tidak ada hasil. Hal ini menginspirasinya untuk membuat tagar yang kemudian digunakan sejumlah orang putus asa lainnya.

Tanggapan pakar terkait tagar ‘Desperate

Menanggapi tren Desperate, Managing Partner Inventure, Yuswohady, mengatakan pemerintah dan pemangku kepentingan untuk melakukan refleksi atas nasib para Gen Z sebagai penerus bangsa.

“Kalau mereka desperate, berarti enggak cuma nasib Gen Z yang mengkhawatirkan, tapi nasib bangsa,” ujar Yuswohady, dikutip dari laman detikcom, Kamis (24/10/2024).

Pengamat bisnis dan marketing ini mengatakan jika masalah lapangan kerja dan memperoleh kerja tak teratasi, tak heran jika Gen Z benar-benar mengalami masalah kesehatan mental.

“Ya salah satu penyebab mental health bermasalah bagi Gen Z ya karena kemampuan ekonomi, terutama karena (masalah) kemampuan mencari kerja, untuk mendapatkan pekerjaan itu,” ungkap Yuswohady.

“Kan kita suka ngomong Indonesia Emas, Indonesia Emas. Yang terjadi, jadinya Indonesia cemas karena Gen Z sebagai penopangnya jadi cemas kayak gini,” sambungnya.

Stigma mental health Gen Z

Ia mengatakan Gen Z selama ini lekat dengan stigma tak kuat mental dan kerap mengedepankan isu mental health saat memasuki dunia kerja.

Sementara itu, pengalaman Gen Z yang seumur jagung di ranah kerja juga kerap membuat para anak muda dianggap tidak bisa kerja, tidak mau kerja susah, dan tidak punya kemampuan yang dibutuhkan di dunia kerja.

Menurut Yuswohady mengatakan stigma tersebut perlu dipatahkan semua pihak jika memang ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045. Pemerintah dan pemberi kerja dalam hal ini perlu mempedulikan dan bahu-membahu merespons kebutuhan Gen Z agar dapat terserap di dunia kerja.

“Diharapkan muncul awareness ya dari pemerintah, dari semua kalangan agar ini diperhatikan, harus diubah. ‘Berilah kami pekerjaan’, kan kira-kira begitu ya (makna banner-nya),” ungkap Yuswohady.

“Refleksi bagi pemerintah dan bagi perusahaan, korporasi, untuk bisa lebih peduli kepada generasi emas, Gen Z dan Gen Alpha ini, kan dia yang harusnya akan membawa Indonesia menjadi negara maju 2045,” sambungnya.

Ia mengatakan gerakan yang diikuti para Gen Z ini tidak akan tumbuh jika kondisi yang mereka rasakan tidak benar-benar mengimpit. Yuswohady menggarisbawahi daya beli masyarakat kini turun sehingga jumlah kelas menengah saat ini menurun dari 57 juta pada 2019 jadi 48 juta pada 2024.

“(Jadi) mungkin rasa malunya sudah enggak ada lagi (untuk mengaku desperate),” ujarnya.

Nah, itulah penjelasan terkait arti tagar ‘Desperate’ yang viral di LinkedIn. Semoga bermanfaat, ya, Bunda.

Bagi Bunda yang mau sharing  soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar dan klik di SINI. Gratis!

(asa/som)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda