Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Mengenal Quiet Cracking, Ketidakbahagiaan Pekerja yang Picu Kinerja Buruk hingga Mau Resign

Arina Yulistara   |   HaiBunda

Senin, 22 Sep 2025 18:05 WIB

Asian women who are serious about working in the office are stressed by working too hard and missing deadlines.
Ilustrasi quiet cracking/ Foto: Getty Images/Wasan Tita
Daftar Isi

Lagi-lagi in this economy mencuat tren yang membuat pekerja merasa tidak aman dan bahagia. Disebut quiet cracking. Apa Bunda termasuk di dalam tren ini? Mari mengenal quiet cracking, ketidakbahagiaan pekerja yang picu kinerja buruk hingga mau resign.

Fenomena dunia kerja terus berkembang dengan istilah-istilah baru yang menggambarkan kondisi karyawan era modern. Setelah sebelumnya ramai dengan istilah quiet quitting atau karyawan yang bekerja sekadar memenuhi kewajiban, kini muncul tren lain bernama quiet cracking.

Meski belum setenar istilah sebelumnya, quiet cracking menjadi isu serius yang diam-diam merusak kinerja perusahaan dan mengganggu kesejahteraan pekerja. Quiet cracking menggambarkan perasaan ketidakbahagiaan yang menetap di lingkungan kerja.

Para ahli menilai fenomena ini jauh lebih sulit terdeteksi dibandingkan gelombang resign massal seperti The Great Resignation, namun dampaknya sama. Menariknya, quiet cracking bukan sekadar tentang kelelahan (burnout) atau sekadar kerja minimalis seperti quiet quitting.

Kondisi ini lebih halus, seringkali tidak langsung terlihat dari penurunan kinerja, tapi perlahan-lahan merusak motivasi, rasa percaya diri, dan keterikatan karyawan terhadap pekerjaannya. Inilah mengapa fenomena ini disebut sebagai ancaman senyap yang tengah menghantui banyak perusahaan.

Mari mengenai quiet cracking yang mungkin sedang Bunda alami saat ini.

Apa itu quiet cracking?

Menurut laporan terbaru dari TalentLMS, quiet cracking didefinisikan sebagai perasaan ketidakbahagiaan menetap di tempat kerja. Berbeda dari burnout yang biasanya terlihat dari kelelahan fisik atau mental.

Quiet cracking lebih sering muncul dalam bentuk perasaan terjebak dan tidak berdaya. Karyawan yang mengalaminya merasa tidak puas, kurang terhubung dengan manajemen, hingga kehilangan semangat.

Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berujung pada performa kerja yang menurun drastis dan akhirnya memicu keinginan resign. Bahkan sebelum Bunda memilih untuk melakukan quiet quitting, tanda-tanda quiet cracking biasanya sudah muncul lebih dahulu. Ketika karyawan merasa mandek, tidak didengarkan, atau tidak yakin tentang masa depan mereka, saat itulah rasa tidak terlibat muncul.

Para peneliti menyebut kondisi ini sebagai gejala awal sebelum pekerja benar-benar kehilangan semangat dan akhirnya mengambil langkah ekstrem, entah itu resign atau menarik diri dari tanggung jawab.

Quiet cracking dan quiet quitting, apa bedanya?

Meski serupa, quiet cracking dan quiet quitting memiliki perbedaan. Quiet quitting adalah aksi nyata di mana karyawan hanya bekerja sebatas kontrak tanpa tambahan usaha lebih.

Sementara quiet cracking lebih pada kondisi psikologis, berupa perasaan stuck, tidak didengar, dan kehilangan arah. Keduanya lahir dari burnout dan ketidakpuasan, sama-sama merugikan perusahaan jika tidak segera diatasi.

Bedanya quiet cracking lebih sulit terlihat sehingga perusahaan perlu lebih peka mendeteksinya sejak dini.

Penyebab quiet cracking

Ada beberapa faktor utama yang mendorong munculnya quiet cracking:

1. Rasa tidak aman dalam pekerjaan

Banyak pekerja merasa kurang percaya diri karena minim pelatihan atau keterampilan yang mendukung peran mereka. Data menunjukkan bahwa karyawan yang tidak menerima pelatihan selama setahun terakhir 140 persen lebih berisiko merasa tak aman dalam pekerjaannya.

2. Koneksi yang lemah dengan manajemen

Survei TalentLMS menemukan bahwa 47 persen pekerja yang mengalami quiet cracking merasa atasan mereka tidak mendengarkan keluhan. Kondisi ini dikenal sebagai managerial disconnect, di mana hubungan komunikasi antara karyawan dan pimpinan renggang.

Mengutip CNBC International, quiet cracking adalah cara lain untuk menggambarkan keterpisahan karyawan, di mana pekerja merasa kurang terhubung, kurang puas dengan perusahaan mereka, dan lebih cenderung mencari pekerjaan lain.

3. Ekonomi yang tidak stabil

Berbeda dengan masa Great Resignation pada 2021 sampai 2022 ketika banyak orang mudah berpindah kerja untuk gaji lebih tinggi, kini kondisi ekonomi membuat karyawan sulit keluar. Mereka merasa terjebak, tidak puas, namun juga takut kehilangan penghasilan.

Dampak quiet cracking bagi perusahaan

Dampak fenomena ini tidak bisa disepelekan. Karyawan yang disengaged akan cenderung bekerja tanpa semangat, kehilangan motivasi, bahkan produktivitasnya anjlok.

Menurut laporan Gallup, disengagement pekerja di AS menyebabkan kerugian hingga 2 triliun dollar per tahun akibat hilangnya produktivitas. Selain itu, kondisi ini juga berpengaruh pada budaya kerja.

Pekerja yang tidak bahagia dapat menularkan energi negatif kepada tim, memperburuk hubungan antarkaryawan, hingga menurunkan moral secara keseluruhan. Jika terus dibiarkan, perusahaan bisa kehilangan talenta terbaik karena resign menjadi jalan keluar terakhir bagi mereka.

Cara mengatasi quit cracking

Kunci utama untuk mengatasi quiet cracking dengan memberikan ruang tumbuh bagi karyawan. Hal ini bisa dilakukan melalui:

  1. Program pelatihan dan pengembangan keterampilan agar karyawan merasa lebih percaya diri.
  2. Membangun komunikasi terbuka antara manajer dan pekerja sehingga mereka merasa didengar.
  3. Memberikan kesempatan untuk berkembang dan meraih tujuan, bukan sekadar rutinitas kerja

Ketika karyawan merasa diperhatikan dan diberi peluang berkembang, mereka akan menemukan kembali tujuan serta semangat kerja. Inilah yang pada akhirnya bisa mencegah quiet cracking berkembang menjadi quiet quitting atau resign.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!



(som/som)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda