Jakarta -
Kalau mau menerapkan
disiplin, jangan tunggu anak sampai cukup besar ya, Bun. Soalnya nilai-nilai kedisiplinan sebenarnya sudah bisa kita terapkan sejak kecil, bahkan sejak anak-anak bayi.
Bicara soal menerapkan disiplin pada anak, Ilma Rineta, seorang ibu dengan empat anak yang juga co-founder Circle of Moms punya tipsnya. Kata Ilma, anaknya yang pertama sangat lekat dengannya. Jadi dari main sampai melakukan aktivitas lainnya maunya dilakukan bareng sang bunda.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, Ilma pun berupaya menanamkan kedisiplinan sejak dini pada anak kedua hingga keempat. Hal itu, lanjutnya, bisa dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya saja soal tidur, di usia tertentu mulai diajarkan tidur di kamarnya sendiri.
"Jadi sudah mulai diajarkan tidur sendiri, jam tidurnya juga harus on time. Jadi anak-anak sudah beranjak tidur jam 20.30," kata Ilma yang ditemui di Cerita Bunda Bersama Prenagen di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Selain itu,
disiplin juga bisa dibiasakan pada anak dengan menerapkan jam makan. Dengan berdisiplin anak akan terbiasa lebih efektif dan efisien menggunakan waktunya.
Psikolog dari TigaGenerasi, Annelia Sari, MPsi, mengamini bahwa disiplin bisa diterapkan sejak dini dengan menggunakan hal-hal yang sederhana. "Disiplin itu tidak 'ujuk-ujuk' anak mengerti, tapi harus diajarkan sejak lahir. Jam berapa anak tidur, mandi dan makan. Ketika orang tua membiasakan anak dengan kedisiplinan, maka saat besar anak akan tertanam tetap seperti itu. Jadi bisa lebih terkontrol," tutur Annelia.
Nah, untuk menerapkan kedisiplinan nggak seharusnya pakai cara-cara kekerasan lho, Bun. Apalagi disiplin dan kekerasan adalah dua hal yang berbeda. Disiplin itu relatif terukur dan dalam mendisiplinkan anak, emosi orang tua stabil.
Sementara kekerasan itu nggak terukur, jadi bisa ringan banget atau berat banget. Lantas saat melakukan kekerasan, emosi orang tua juga nggak stabil.
Selain itu, mendisiplinkan anak konsekuensinya jelas. Sedangkan ketika anak mendapat kekerasan, konsekuensi biasanya tidak logis.
(Nurvita Indarini)