Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

Pelajaran dari Pesan Berantai tentang Penculikan Anak

Nurvita Indarini   |   HaiBunda

Senin, 12 Feb 2018 17:01 WIB

Di grup ibu-ibu beredar cerita penculikan anak. Terlepas dari hoax atau bukan, ada pelajaran di baliknya.
Pelajaran dari Pesan Berantai tentang Penculikan Anak/ Foto: Thinkstock
Jakarta - Bunda, dapat pesan berantai tentang cerita penculikan anak yang dimulai di dalam kereta nggak? Kalau dari cerita yang beredar, upaya penculikan atas anaknya dimulai dari kemunculan seseorang yang dianggap terlalu ramah.

Bagaimana cerita penculikan anak yang beredar itu?

Baru kemarin saya bawa anak saya pulang ke rumah ibu saya. Kita naik kereta. Di samping saya duduk seorang ibu-ibu, usianya kira-kira sudah 60 tahun. Sepertinya dia bawa cucu, usianya kira-kira 7-8 tahun.

Selama perjalanan, ibu ini ngobrol terus sama saya. Bukan cuma itu, dia juga mengingatkan saya kalau di kereta banyak orang, harus perhatiin barang bawaan. Cucunya juga kadang main-main sama anak saya.

Anak saya perempuan baru mau genap 1 tahun. Ibu itu tanya-tanya anak saya umur berapa, kapan lahir, lahir di mana, berat badannya, bla bla bla, terus dia juga cerita tentang cucu dia.

Saya pikir dia cuma ajak ngobrol biasa, namanya ibu-ibu, duduk di kereta, kebetulan sama-sama bawa anak, yah ngobrol.

Dia juga tanya anak saya minum susu apa, seberapa sering, yah saya jawab aja.

Tapi entah kenapa semakin lama pertanyaannya semakin aneh… makin mendalam dan mendetil. Masa dia tanya anak saya lahir jam berapa? Saya pikir ini kurang bagus untuk orang lain tahu yah, jadi saya bilang saya lupa.

Terakhir, dia tanya anak saya siapa namanya. Yah saya kasih tahu nama panggilan anak saya, tapi dia tanya nama lengkap.

Di sini saya sudah semakin curiga. Merasa ada yang tidak beres, saya pun memberitahukan nama palsu.



Sebelum sampai stasiun, saya pamit ke toilet. Ibu itu malah menawarkan saya untuk menitipkan anak kepadanya. Dalam hati saya sudah sangat curiga. Saya ingin mencari tempat duduk di tempat lain, namun sudah penuh semua, jadi terpaksa saya kembali lagi duduk di samping ibu itu. Kelihatan sekali dia menunggu saya di kursi itu sampai saya kembali.

Turun di stasiun, ibu itu bantu saya bawa koper tanpa disuruh. Kita jalan bareng sampai pintu luar stasiun. Dia tanya apakah saya ada yang jemput. Saya bilang tidak (padahal ada).

TIba-tiba, ibu itu mau gendong anak saya. Dia bilang terima kasih sudah menjaga 'cucunya. Saya langsung kaget. Saya bilang, "Ibu! Ini apa-apaan sih!?"

Anak laki-laki yang ikut di sampingnya pun bilang, "Orang jahat! Kembalikan adik saya!".

Saya langsung syok anak kecil itu ngomong begitu. Banyak orang liatin saya, kirain saya culik anak. Tiba-tiba ada satu cewek datang, panggil nama anak saya (nama palsu yang tadi saya kasih tahu) dan bilang, "Duh kamu ke mana aja dari tadi ibu cari-cari! Ayo kita pulang!"

Dia ngotot mau gendong anak saya. Saya langsung naik taksi yang ada di depan gerbang, tapi ngerinya, wanita ini ikut naik. Dia tarik-tarik anak saya. Saya peluk anak saya erat-erat. Anak saya pun nangis.

Di tengah kekacauan seperti ini, pak sopir juga gak berani jalan. Saya cuma bisa turun lagi dan menghadapi wanita itu. Mendengar tangisan anak saya, semua orang berhamburan keluar, kirain saya culik anak.

Anak kecil itu bilang, "Bu, kembaliin adik saya cepet! Kita mau pulang!"

Saya bilang, "Apa-apaan kalian!? Ini anak saya!"

Tangan dan kaki saya sudah bergemetar. Hati saya sudah dag dig dug, takut anak saya diambil sama mereka. Bagaimana pun, dua lawan satu.

Tiba-tiba, ada orang yang manggil. Pas saya lihat, ternyata itu bapak sama ibu! Mereka datang jemput saya!

"Ada apa ini rame-rame begini!?", tanya bapak.

"Itu pak, mereka mau culik anak, bilang ini anak mereka!"

"Ini anak saya kok!" bela wanita itu. "Saya tahu tanggal lahirnya, golongan darahnya, namanya,". Dan lain-lain semua ia sebutkan satu-satu.

Pelajaran dari Pesan Berantai tentang Penculikan Anak/Pelajaran dari Pesan Berantai tentang Penculikan Anak/ Foto: Thinkstock


Saya pikir, Astaga…. Itu kan yang tadi informasi tentang anak saya yang saya kasih tahu ibu-ibu itu di kereta. Saya pikir cuma sekadar ngobrol, nggak nyangka bisa jadi seperti ini! Untung saya kasih tahu nama palsu anak saya.

"Kalau gitu, nama anak saya siapa?" teriak saya.

"Nadin!" sahut mereka.

"Bukan! Nama anak saya Putri! Nadin itu nama palsu!" teriak saya.

Semua orang yang di sana, termasuk 2 wanita itu pun hanya bisa terdiam. Saya langsung semprot, "Kalian ini masih punya hati nurani nggak!? Bisa-bisanya ajak anak kecil untuk ikut bohong sama kalian culik anak orang! Dosa tahu gak!? Dosa!".



Mereka langsung diam nggak berani ngomong sepatah kata pun. Saya langsung naik mobil didampingi ayah dan ibu saya lalu pergi.

Duduk di mobil, badan saya masih gemetaran. Air mata saya mulai bercucuran. Saya peluk erat-erat putri saya. Kalau saja ayah dan ibu tidak datang tepat waktu, bisa-bisa anak saya beneran direbut sama dua orang itu.

Setelah sampai di rumah, sudah agak tenang, kami langsung lapor polisi. Ternyata polisi juga bilang kalau akhir-akhir ini kerap terjadi penculikan anak. Mungkin ini adalah salah satu cara yang mereka gunakan, menargetkan ibu muda yang bawa anak, pura-pura dekat dan mencari kesempatan untuk mengambil anak ketika sang ibu tidak memperhatikan. Untung dari awal saya tidak pernah lengah melepaskan kedua mata dari putri saya.

Dengar-dengar belum lama ini juga ada kejadian anak diculik di pasar. Seorang ibu tua tak dikenal datang ke seorang ibu yang lagi bawa anak dan bilang, "Ternyata kamu di sini!" Tiba-tiba seorang pria tak di kenal seumuran ibu muda itu datang dan langsung menampar ibu muda itu dan mendorongnya.

"Udah tahu anak sakit masih dibawa keluar!" bentak laki-laki itu.

Ibu tua itu pun langsung gendong bayinya yang ada di dorongan dan ngomel-ngomel, "Anak udah sakit gini masih dibawa keluar juga. Mana ada ibu macam ini!?".

Ibu tua itu bawa anak pergi duluan, sedangkan laki-laki itu masih di sana marahin sang ibu yang tidak tahu apa-apa dan tak berdaya menghadapi laki-laki sebesar itu seorang diri. Terakhir, laki-laki itu naik motor lalu pergi. Ibu itu cuma bisa menangis kebingungan bilang anaknya diculik, tapi nggak ada yang peduli. Orang-orang kirain itu cuma masalah keluarga, pasangan lagi berantem. Sampai beberapa saat kemudian baru tahu ternyata ada anak diculik. Anak itu juga kira-kira berusia 10 bulan.

Kalau didengar-dengar, saya gak nyangka kalau hal ini akan benar-benar terjadi pada saya. Sebagai orang tua, kita tidak boleh lengah. Kalau menjumpai orang tak dikenal yang tiba-tiba nyapa, sok kenal sok dekat, tanya-tanya hal yang kedengarannya aneh atau minta gendong anak sebentar, tolong jangan! Kita tidak akan pernah tahu apa maksud orang di belakang, untuk itu dengan mengantisipasi dan menjaga jarak adalah satu-satunya hal yang bisa kita lakukan.

Pelajaran dari Pesan Berantai tentang Penculikan Anak/Pelajaran dari Pesan Berantai tentang Penculikan Anak/ Foto: Thinkstock


Membaca kisah tersebut, psikolog anak ,Ratih Zulhaqqi, menilai kisah tersebut sangat drama. Tapi dari kisah itu, Bun, terlepas dari hoax atau tidak, kita bisa mengambil pelajaran berharga dari kisah itu.

"Menurutku moral of the story-nya, jangan terlalu banyak memberikan informasi kepada orang asing," tegas Ratih.

Terbuka tentang informasi anak sebaiknya juga kita lakukan di dunia maya nih, Bun. Misalnya dengan tidak memaparkan secara rinci anak sekolah di mana, sehari-hari sama siapa, punya kegiatan di mana saja serta kapan saja, dan lain-lain dalam setiap postingan kita.

Kadang kita juga sering nih, menaruh identitas nama anak di pakaian, tas, atau topinya. Dikutip dari detikHealth, psikolog Anna Surti Ariani atau Nina menyebut hal ini bukan langkah bijak. Sebab hal ini akan membuat orang nggak dikenal akan lebih mudah mengenali nama anak. Nah, saat anak terpisah dari orang tua dan dipanggil dengan nama akrabnya, akan cenderung merespons.

"Kalau lagi terpisah, anak bingung, dia akan lebih merespons jika dipanggil dengan nama panggilan yang akrab. Dia akan merasa aman, 'oh, tante ini tahu nama panggilan saya, mungkin pernah ke rumah atau teman mama' padahal bisa jadi punya niat jelek," tutur Nina.

(Nurvita Indarini)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda