Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

Bullying Bisa Jadi Salah Satu Sebab Anak Mogok Sekolah

Melly Febrida   |   HaiBunda

Minggu, 11 Mar 2018 09:05 WIB

Duh si kecil mogok sekolah. Ternyata dia di-bully temannya.
Bullying Bisa Jadi Salah Satu Sebab Anak Mogok Sekolah/ Foto: Thinkstock
Jakarta - Membangunkan anak untuk berangkat sekolah dan memintanya mandi itu termasuk pekerjaan yang butuh tenaga bagi saya, Bun. Hingga suatu hari si sulung tampak nggak bersemangat ke sekolah. Meski sudah bangun, ada saja alasan nggak mau masuk sekolah. Itu nggak hanya berlangsung sehari, Bun, melainkan tiga hari.

Saya bingung, nggak biasanya kakak mogok sekolah. Apa mungkin dia jenuh? Setelah saya menanyakan beberapa kali, akhirnya kakak bercerita dia takut dengan temannya di sekolah. Rupanya salah satu teman sering mengejeknya sehingga membuatnya malu.

Mengejek berkali-kali hingga membuat tidak nyaman dan tidak berdaya merupakan salah satu praktik bullying. Dan Olweus, penulis Bullying at School, bullying bisa dibagi menjadi dua yakni direct bullying yang merupakan intimidasi secara fisik dan verbal, serta indirect bullying yang berupa isolasi secara sosial.

Situs Peduli Karakter Anak (PeKA) pekabullying.org menuliskan, bullying diartikan sebagai penggunaan agresi dengan tujuan menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental. Bullying nggak sama dengan occasional conflict atau pertengkaran biasa yang umum terjadi pada anak, Bun.

Kalau konflik pada anak itu normal Bun dan membuat anak belajar cara bernegosiasi dan bersepakat satu sama lain, sedangkan bullying merujuk pada tindakan yang bertujuan menyakiti dan dilakukan berulang. Sang anak biasanya lebih lemah dibanding pelaku.

American Academy of Child and Adolescent Psychiatry dalam situsnya di aacap.org juga menyebutkan bullying bisa terjadi secara verbal maupun nonverbal. Pada anak laki-laki, bullying kerap dilakukan dengan intimidasi secara fisik maupun dalam bentuk ancaman.



Sedangkan bullying pada anak perempuan kerap terjadi secara verbal, dan korban yang dipilih gender yang sama. Selain verbal, bullying juga bisa berbentuk fisik, emosional, dan seksual.

"Kekerasan verbal itu sangat subjektif. Jadi, sebaiknya lihat juga kultur yang mendasari. Sebuah pernyataan bisa tergolong keras menurut suatu kultur, tapi bisa jadi pernyataan tersebut justru menjadi hal yang biasa pada kultur lain," kata dr Lukas Mangindaan, Staf Pengajar Departemen Psikiatri FKUI/RSUPCM dalam talkshow Upaya Pencegahan Kekerasan pada Anak yang diadakan Center for Indonesian Medical Student Activities.

Dr Indra Sugiarno, Ketua Satuan Tugas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak PP IDAI juga pernah punya pengalaman pribadi dengan bullying, Bun. "Ini terjadi pada anak saya sendiri. Waktu itu, sudah tiga hari ia mengalami perubahan tingkah laku. Setelah dikorek, ternyata ia mengaku dimintai uang dan dipaksa mengerjakan PR oleh teman sekolah yang badannya jauh lebih besar," katanya.

Solusinya, orang tua mendatangi sekolah dan bertemu anak yang bersangkutan untuk membicarakan masalah tersebut. Si anak akhirnya berhenti di-bully

"Bullying ada di sekitar kita. Yang jelas, perhatikan perubahan sikap dan tingkah laku si anak. Mulai dari mengeluh sakit perut atau beralasan setiap berangkat sekolah, sampai menarik diri adalah salah satu yang biasanya tampak," kata Indra.

dr Lukas juga sependapat dengan Indra, anak yang menjadi korban bullying itu biasanya terlihat dari sikapnya. Ia tiba-tiba jadi menarik diri.

Kalau Bunda mencurigai si kecil sudah menjadi korban bullying di sekolahnya, ada yang bisa dilakukan seperti dikutip Parents Guide Growing Up Usia 5-6 Tahun.

1. Amati

Amati perubahan sikap atau tingkah lakunya, Bun. Kalau biasanya ceria tiba-tiba jadi pendiam serta menghindar nggak mau keluar rumah atau sekolah dengan berbagai alasan, bisa jadi ia mengalami sesuatu yang membuatnya tidak nyaman dan takut.

Anak-anak yang dibully juga sering mengaku kehilangan barang atau uang. Mereka juga jadi moody dan bertemperamen buruk, prestasi menurun karena kehilangan semangat belajar, insomnia, cemas, dan jadi pendiam.

2. Ajak Bicara

Kata Indra berbicara ini penting untuk mengorek data serta keterangan dari anak untuk mengambil tindakan lebih lanjut.

3. Sikapi

Kalau anak benar jadi korban bullying, orang tua perlu meyakinkan anak bahwa ia tak perlu takut dan harus melaporkan apa yang terjadi. Selanjutnya, kita bisa mendatangi sekolah untuk melaporkan tindakan bullying sehingga pelakunya bisa ditindak.



Dampak Bullying

Sebenarnya, dampak bullying nggak hanya dirasakan si korban, Bun. Pelakunya sendiri juga akan merasakan akibatnya.

Kata Psikolog anak dan remaja Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Psi., Psi, ketika seseorang sering melakukan tindakan bullying tetapi tidak mendapatkan konsekuensi yang jelas, maka yang bersangkutan berisiko tinggi menjadi anak agresif.

"Selain agresif, mereka tidak bisa menghargai orang lain, sering memaksakan kehendak, bahkan ke depannya bisa jadi pembangkang kepada negara misalkan," ungkapnya saat berbincang dengan detikHealth, beberapa waktu yang lalu.

Namun, dampak terhadap korban bullying diakui lebih besar ketimbang yang dirasakan pelaku, terutama terkait risiko depresinya. "Sisi lainnya kalau dia menolak sekolah misalnya, itu kan perkembangan emosi dan sosialnya menjadi terbatas. Dan karena menolak sekolah, kepintarannya juga nggak terasah, itu yang kemudian memupuk masalah lain," lanjutnya.

Sebagai orang tua, yuk kita dukung anak mendapatkan hak untuk merasa nyaman dan stop bullying. (Nurvita Indarini)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda