Jakarta -
Biasanya, orang tua kelabakan saat tahu anak nggak terlalu jago di bidang akademis, misalnya pelajaran matematika atau IPA. Padahal sebagai orang tua sudah sepatutnya kita menyadari tiap anak unik, sehingga kemampuannya yang menonjol di suatu bidang nggak bisa disamaratakan.
Seperti dikatakan psikolog anak dan keluarga, Ajeng Raviando, sebagai orang tua sudah sepatutnya kita bisa melihat keunikan anak. Karena itu potensi anak bisa diidentifikasi sejak dini. Ajeng menyayangkan nih, Bun, kadang masih ada orang tua yang berpikir hal terpenting adalah nilai ujian nasional yang bagus, dan yang penting anak masuk sekolah favorit.
"Tapi apakah anak kita punya kompetensinya? Punya minat terhadap apa yang kita arahkan? Karena kalau tidak, alangkah sayangnya kalau memang
anak ternyata ada kompetensinya di hal lain dan nggak terasah karena kemauan kita. Ini penting, jangan terpaku sama kecerdasan akademik semata," kata Ajeng saat ngobrol sama HaiBunda.
Kecerdasan akademis nggak melulu yang nomor satu kok, Bun. Banyak juga kecerdasan anak lainnya yang bisa diasah. Misalnya anak nilai matematikanya biasa aja tapi dia jago bikin karya seni. Kalau begitu, nggak ada salahnya kita asah kemampuan anak di bidang seni kan?
"Kalau anak melakukannya dengan fun, kita juga senang maka hasilnya juga bagus itu yang harus diupayakan bagaimana fun ini tetap ada. Apalagi, kalau melihat anak zaman sekarang esensi fun ini penting banget," tutur Ajeng.
Wanita yang sudah 15 tahun jadi psikolog ini juga mengingatkan gaya belajar
anak bermacam-macam. Contohnya kinestetik di mana anak belajar sambil melakukan banyak gerakan. Misal, anak sedang menghafal arah mata angin. Nah, dia akan berputar-putar atau bergerak ke sana ke sini untuk menghafal.
"Ini mungkin akan membuat guru nggak nyaman di kelas karena anak nggak bisa diam. Tapi justru dengan cara itu anak malah mudah menyerap pelajaran dan lebih hafal dibanding dia diam aja," kata Ajeng.
Gaya belajar anak berbeda-beda memang harus dipahami sehingga orang tua nggak bisa menyamakan satu anak dengan yang lain. Contohnya saat Bunda atau Ayah membandingkan si kecil dengan bilang teman si anak diam di meja, tekun belajar, dan bahasanya baik. Sedangkan anak kita justru nggak bisa diam karena jalan-jalan terus ke sana ke mari.
"Menurut saya, asalkan prosesnya berjalan dengan baik dan pemilihan tempat belajar yang pas nggak masalah. Misal, sekolah mana sih yang cocok sama anak kita? Siapa tahu kalau sekolah yang lebih kecil dan tidak terlalu banyak murid, belajar dan fokus anak lebih baik dibanding dia belajar di sekolah besar yang banyak banget muridnya," kata Ajeng.
Ajeng bilang sekarang sudah banyak sekolah yang memiliki berbagai sistem untuk memudahkan anak belajar. Hanya saya, keputusan di mana anak sekolah kembali lagi pada masing-masing orang tua.
(rdn)