Jakarta -
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ramai diperbincangkan netizen di seluruh dunia. Trump dimakzulkan oleh House of Representatives (HOR) atau DPR AS, yang menggelar voting pada Rabu (18/12/2019) waktu setempat.
Trump dijerat dua dakwaan, yaitu penyalahgunaan kekuasaan dan menghalangi kongres AS. Demikian seperti dilansir
New York Times.
Berbagai kebijakan dan perilaku Trump memang menjadi sorotan dunia, Bun. Baru-baru ini, profesor dan psikiatri klinis di George Washington University Medical Center, Dr.Justin Frank dalam bukunya Trump on the Couch mengatakan, sang ibu Trump berperan besar dalam membentuk karakter Presiden AS ke-45 itu.
Dikutip dari
The Guardian, Frank berpendapat bahwa hubungan dengan ibu yang tidak dekat dan ayah otoriter adalah kunci untuk memahami bagaimana seorang Donald Trump menjadi sosok seperti sekarang. Sikap Trump yang terus menjadi sorotan di antaranya kekanak-kanakan, impulsif, dan tidak cocok di kantor.
"Kita harus menerima bahwa dia adalah presiden. Kita juga harus menerima jika dia tidak akan berubah, karena memang tidak bisa. Jika kita bisa menerimanya, kita tahu apa yang akan dilakukan untuk mengatasi ketakutan kita," ujar Frank.
Bagi Frank, dinamika antara anak dan ibu memiliki pengaruh besar pada pandangan dan kesehatan psikologis seseorang. Ibu Trump adalah Mary Anne MacLeod yang datang ke New York dari Pulau Outer Hebridean, The Lewis di tahun 1930.
Setelah enam tahun sebagai pekerja rumah tangga dan pengasuh, dia menikahi pengembang properti Fred Trump dan mereka memiliki lima anak.
Awal menjadi presiden AS, Trump tidak pernah membicarakan ibunya. Ia bahkan hanya memasang foto sang ayah di meja kerjanya di Oval Office.
Trump dan istrinya Meliana/ Foto: ist |
"Fakta bahwa dia mencoba menbuat orang merasakan kegelisahannya dan tidak bertanggung jawab membuat saya merasa bahwa, sebagai seorang anak kecil, dia tidak merasa puas saat diasuh ibunya atau pengasuh lain. Dia tidak memiliki kekuatan seorang ibu dalam hidupnya," terang Frank.
Frank mengatakan dari biografinya diketahui, ketika Trump berusia dua tahun, adik terakhirnya lahir. Ibunya pergi ke rumah sakit dan tidak segera pulang.
"Ibunya mengalami pendarahan, dia menjalani empat operasi dan hampir meninggal. Hampir tidak ada yang membicarakan hal ini di keluarga. Kakak laki-lakinya bersekolah seperti biasa, padahal mereka sangat khawatir tentang ibunya," ujar Frank.
Menurut Frank, sosok ibu yang sering absen menjadi penyebab Trump tidak memiliki empati. Salah satu hal yang dilakukan seseorang ketika diabaikan, adalah mengembangkan rasa tidak suka dalam dirinya sendiri.
"Kamu membenci dirimu sendiri. Lalu, menjadi pem-bully. Membuat orang lain merasa lemah atau mengejek orang lain, untuk menunjukkan bahwa kamu kuat dan tidak butuh apapun," jelasnya.
Berbeda dengan ibunya, ayah Trump dikenal otoriter. Ia memberikan pengaruh formatif pada masa kecil Trump di Jamaica Estates di Queens, New York.
"Ketika ayahnya di sana, dia mengelola rumah seperti tiran (penguasa), di mana ada begitu banyak aturan yang harus dilakukan sesuai perintahnya. Menurutku, Trump takut dengan ayahnya. Ayahnya akan berkata, 'Kamu harus kuat, tegar, jangan pernah minta maaf, mengeluh. Kamu harus belajar jadi penguasa atau pembunuh, kamu harus menjadi raja'. Ini terus berulang membantuk karakter Trump," kata Frank.
Frank memiliki lebih dari 40 tahun pengalaman dalam bidang psikoanalisis. Tapi, dia mengakui bahwa belum pernah menemukan subjek seperti Trump.
"Dia (Trump) kekanak-kanakan, Dia didominasi oleh impuls-impuls, kecurigaan, kebutuhan untuk selalu menang, didominasi oleh fantasi bahwa dia harus melakukan semuanya sendiri," paparnya.
Trump bersama keluarganya/ Foto: Spencer Platt/Getty Images |
Lalu, apakah Trump mampu merasakan cinta? Tidak. Menurut Frank, dia membutuhkan istri pertamanya, Ivana. Tapi begitu mereka bersama, dia hanya membutuhkannya untuk tunduk, seperti yang dilakukan banyak pria.
Frank tidak tahu tentang cinta dan rasa peduli menjadi hal yang penting dalam hidup Trump. Cinta melibatkan kemampuan untuk memiliki kejujuran, bukannya kejam. Selain itu memiliki rasa peduli.
"Saya juga tidak berpikir, dia pernah merasa dicintai dan itu juga alasan kenapa Trump sering nge-
tweet dan bilang, 'Saya mendapat nila A+ sebagai presiden'. Itu karena dia tidak mendapatkan cinta dari luar, dia akan mencintai dirinya sendiri. Seperti, 'Jika tidak mendapatkan cinta dari kalian, aku tahu, aku yang terbaik'," jelas Frank.
Pola asuh setiap orang tua pasti berbeda ya, Bun. Namun, hal ini berkaitan erat dengan perilaku anak saat dewasa, seperti yang dijelaskan Frank tentang Trump.
Menurut psikolog anak dari Tiga Generasi @ Brawijaya Clinic, Anastasia Satriyo M.Psi, tidak ada formula khususnya, Bun. Namun, kita memang perlu memasukkan unsur kehangatan dan kasih sayang.
"Tapi pola asuh yang ideal adalah yang sensitif dan responsif. Terutama soal kebutuhan anak," jelas Anas.
Salah satu pola asuh yang bisa diterapkan adalah demokratis. Terry Carson, M.Ed, profesional coach parenting mengatakan jika pola asuh demokratis merupakan jenis pengasuhan positif pada anak, di mana orang tua tidak lagi menjadi 'bos' yang membuat aturan untuk selalu anak turuti.
Tapi, bukan berarti anak diizinkan melakukan hal yang dilakukan orang dewasa ya, Bun. Apalagi memiliki hak untuk diperlakukan sama dan setara dengan orang tuanya.
Dalam pola asuh yang demokratis, anak diberi pilihan dan tanggung jawab atas pilihannya itu. Bahkan ketika konsekuensinya tidak menyenangkan untuk mereka," ujar Carson, dikutip dari
The Parenting Coach.
Simak jugacaraFairuz ARafiq ajarkan keberanian ke anaknya di video berikut:
(ank/rap)