Jakarta -
Kalau sedang memperhatikan si sulung yang berusia 7 tahun, saya sering tiba-tiba berpikir, "Kakak punya cukup teman atau nggak ya?". Kadang saya juga khawatir gimana kalau si kakak nggak punya teman...
Tapi saya yakin, bukan cuma saya saja orang tua yang khawatir dengan pertemanan anaknya. Kata penulis buku dan psikolog pemenang penghargaan, Michael G. Thompson, orang tua 'jaman now' memang sangat memperhatikan hubungan sosial anak-anak, Bun. Penyebabnya ada beberapa macam nih.
Pertama, Michael mengatakan ini karena media menyajikan secara ekstrem pengaruh bullying dan efek trauma yang bisa dialami anak-anak. Soalnya ini bisa mempengaruhi kehidupan anak-anak kelak.
Michael mencontohkan siswa SMA yang nekat mengakhiri hidupnya setelah diejek di halaman Facebook-nya. Inilah yang membuat orang tua hidup dalam ketakutan.
Kedua, orang tua juga nggak bisa melacak kehidupan sosial anak-anaknya secara online sehingga hal itu membuat mereka ketakutan. Di Amerika Serikat, orang tua melakukan pengasuhan dengan 'teori trauma' di dalam pikiran. Mereka takut adanya konsekuensi seumur hidup dari bubarnya persahabatan anaknya atau ucapan yang kasar yang diterima anaknya.
Orang tua 'jaman now' memahami perannya sebagai pendukung untuk anak-anak mereka. "Orang tua dapat melakukan advokasi kepada guru dan sekolah, namun mereka tidak dapat melakukan advokasi secara efektif dengan teman-teman anaknya. Itu membuat orang tua merasa tidak berdaya. Ketidakberdayaan berubah menjadi kekhawatiran," tulis Michael seperti dilansir WRAL.
Lantas bagaimana dengan adanya media sosial, apakah memengaruhi persahabatan anak-anak? Menurut Michael, persahabatan pada anak-anak tak ada yang berubah. Hanya saja, saat ini banyak informasi dan gosip yang beredar secara online ketimbang bergosip di pojokan sekolah saat istirahat.
Oh iya Bun, sebagai orang tua kita juga suka memperhatikan berapa banyak sih teman dekat anak kita atau seberapa dekat pertemanan di antara sahabatnya. Sebenarnya jumlah teman atau kedekatan anak dengan temannya itu bisa menunjukkan kualitas pertemanan anak-anak, Bun. Tapi jangan cuma sekadar melihat berapa jumlah teman anak sih, kalau kata Michael.
"Kita seharusnya melihat apakah anak kita memiliki hubungan timbal balik yang solid, perhatian, saling timbal balik," sambungnya.
Anak-anak itu juga punya gaya persahabatan yang berbeda-beda. Michael mencontohkan, beberapa anak ada yang lebih senang memiliki teman, tapi ada juga yang senang sendiri. Michael menambahkan orang tua perlu khawatir kalau anak merasa kesepian atau nggak bahagia Bun.
"Ini ketika mereka tidak ingin pergi ke sekolah atau mereka merasa terbebani oleh situasi sosial," tulis Michael.
Untuk itu, sebagai orang tua, lanjut Michael, kita perlu banget memberikan contoh tentang persahabatan. Misalnya saja orang tua mengajak teman-temannya ke rumah. Tapi, teman yang diajak ke rumah sebaiknya bisa membaur dengan anak-anak juga. Kalau nggak, anak -anak malah jadi nggak akan betah di ruang yang penuh orang dewasa .
"Jadilah model persahabatan bagi anak. Kemudian buatlah ruang yang aman di rumah Anda agar anak Anda bisa menjamu teman, bermain. Sediakan makanan ringan, katakan hal-hal yang mendukung tapi cobalah membiarkan mereka sendiri untuk menjalin persahabatan," saran Michael.
Sebenarnya pertemanan yang sehat itu seperti apa? Kata psikolog Karina Priliani, M.Psi. Psikolog, ciri pertemanan sehat itu ada trust, respect, dan grow together, Bun.
Trust artinya bisa menjaga kepercayaan yang diberikan dan memiliki integritas. Respect berarti tidak hanya menghormati orang lain tetapi juga menghormati diri sendiri. Grow together berarti tumbuh bersama dalam kebaikan, sehingga semua pihak akan saling mendukung dan saling menjaga.
"Kalau mengajak bolos, mengajak absen, mengajak malas-malasan, melanggar aturan, itu berarti bukan pertemanan sehat. Mengajaknya bukan dalam kebaikan, sehingga malah bikin menghancurkan. Bisa menghancurkan masa depan," kata Karina seperti dikutip dari detikHealth.
(Nurvita Indarini)