Jakarta -
Bun, selama ini banyak orang yang hanya terfokus pada stres atau depresi yang dialami pasca persalinan seperti
baby blues. Ternyata saat hamil pun, Bunda bisa mengalami
pre-baby blues atau yang disebut dengan depresi antenatal, namun jarang atau bahkan tidak terdeteksi.
Depresi antenatal bisa tidak terdeteksi karena beberapa alasan, di antaranya kurang kesadaran, masalah layanan yang bertentangan dengan budaya, atau bahkan karena kurangnya sumber daya.
Dikutip dari
Irish Times, Professor Psikiatri di Trinity College Dublin, Veronica O'Keane bersama tim peneliti menunjukkan bahwa skrining untuk depresi pra-melahirkan ini tidak rutin dilakukan di rumah sakit bersalin.
"Temuan menunjukkan bahwa layanan kesehatan mental perinatal perlu diprioritaskan dalam Strategi Bersalin Nasional, dan diharapkan agar lebih banyak usaha untuk mengembangkan layanan ini di seluruh negeri. Wanita harus diskrining untuk mengetahui depresi sejak dini dalam rencana perawatan antenatal dan mendorong mereka untuk mencari bantuan," tuturnya.
Stres atau depresi di masa kehamilan biasanya banyak dialami wanita yang baru pertama kali hamil karena rasa cemas dan gugup akan melahirkan dan memiliki anak. Namun depresi yang terjadi saat masa kehamilan tentu memiliki dampak negatif. Bahkan terbukti dapat meningkatkan risiko yang lebih buruk dan bisa menyebabkan perkembangan saraf dan perilaku terganggu pada saat bayi dan peningkatan risiko gangguan kejiwaan di masa kanak-kanak dan setelahnya.
Prof O'Keane pun mengatakan bahwa wanita enggan mencari bantuan untuk mengatasi depresinya selama
kehamilan. Ini terjadi bisa karena mereka tidak dapat mengidentifikasi depresi tersebut, atau karena rasa malu yang dialami karena menderita penyakit mental dengan stigma sosial yang buruk.
Meski ibu hamil dapat mengonsumsi obat antidepresan standar seperti prozac yang tidak menimbulkan risiko pada janin, tetap saja itu menjadi masalah yang besar bagi banyak wanita.
"Ketakutan terhadap antidepresan perlu diimbangi dengan risiko depresi yang tidak diobati selama kehamilan. Depresi tidak hilang sesaat setelah melahirkan, umumnya malah memburuk karena ada lebih banyak tekanan pada ibu yang berusaha merawat bayi yang baru lahir," ujarnya.
 Foto: ilustrasi/thinkstock |
Karena itu, dia menekankan agar ibu yang mengalami depresi tidak perlu merasa bersalah dengan penyakit dan dampaknya pada bayi mereka. Masalah tersebut perlu disoroti sehingga ada perhatian yang lebih tinggi untuk mendeteksi depresi selama kehamilan.
Hormon tentunya berkontribusi pada perkembangan depresi selama kehamilan. Dalam kondisi hamil, tubuh meningkatkan sekresi hormon stres secara bertahap seiring dengan usia kehamilan.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa hormonÂ
stres yang tinggi terdapat pada orang yang mengalami depresi. Sementara untuk suasana hati dan kecemasan menjadi rendah karena peningkatan hormon stres tersebut.
Adapun cara untuk mengatasi
baby blues sebelum melahirkan, di antaranya berusaha untuk menenangkan diri dengan melakukan latihan pernapasan, istirahat cukup dan mengonsumsi makanan bergizi serta melakukan kegiatan fisik yang bisa meningkat suasana hati yang baik.
Selain itu, melakukan gaya hidup sehat dan cari tahu tentang persalinan demi mengurangi kecemasan ketika menghadapinya. Namun jika gejala tak mereda, biasanya dokter akan meresepkan obat antidepresan dalam dosis yang aman.
Sebagai contoh kasus, pernah terjadi pada ibu dari dua orang anak bernama Anna. Ia mengatakan yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah perasaan bersalah karena merasa sangat sedih. Padahal hal yang seharusnya ia rasakan adalah kebahagiaan.
"Selama menderita depresi klinis bertahun-tahun, saya menggunakan obat antidepresan yang saat itu dapat bekerja dengan baik, yang kemudian tidak lagi berfungsi. Saya rasa depresi ini berkaitan dengan hormon karena saya selalu merasa menderita dengan suasana hati yang sangat buruk saat menstruasi, dan sekarang hormon kehamilan saya tampaknya telah memicunya lagi," tutur dia.
Namun, dokter yang menangani Anna saat itu menyarankan untuk meningkatkan dosis pengobatan. Anne yang khawatir akan dampak negatif pada janinnya, memilih untuk menolak.
Ia sering bertanya-tanya, apakah menjadi ibu pertama kali memang merasakan keputusasaan seperti yang ia rasakan. Ia juga sering merasakan lelah, kewalahan, hingga menangis selama masa kehamilannya. Hingga akhirnya, ia kembali menemui dokter dan menyetujui untuk meningkatkan dosis pengobatannya. Lambat laun, akhirnya ia merasa membaik.
"Saya tidak pernah mendengar tentang depresi selama kehamilan. Saya hanya berpikir ini sesuatu yang salah jika saya merasa sangat sedih dan cemas. Padahal seharusnya saya merasakan kebahagiaan saat hamil," ujarnya.
Lihat juga yuk Bun bagaimana cara melepas stres dengan bermain game dalam video berikut:
[Gambas:Video Haibunda]
(AFN/jue)