Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Cerita Bunda yang Kehilangan Anaknya karena Ensefalitis

Nurvita Indarini   |   HaiBunda

Senin, 01 Jan 2018 19:04 WIB

Nggak disangka kejang yang dialami si kecil itu karena ensefalitis. Nggak terbayangkan juga dia bakal pergi secepat ini.
Maria Surani, ibunda Thor yang meninggal karena Ensefalitis/ Foto: dok.HaiBunda
Jakarta - Terkadang hidup memang sulit ditebak. Ya, sering kali hujan datang meski beberapa saat lalu matahari bersinar dengan teriknya. Dan ini pula yang dihadapi ibu yang kehilangan anaknya karena ensefalitis.

Bunda itu bernama Maria Surani. Dituturkannya, Agustus 2014 silam, anak ketiganya, Khaleef Atthoriq, lahir dengan sehat dan nggak kurang suatu apapun. Padahal di hari persalinannya Maria masih mengurusi launching bisnisnya.

Thor, demikian bayi ini biasa disapa memang lucu dan menggemaskan. Sang bunda pun rajin mendokumentasikan Thor dalam berbagai kesempatan dan pose. Hingga suatu kali, di usia 2,5 bulan fotonya diikutkan kontes foto ntuk pertama kalinya dan mendapat juara utama. Akhirnya Thor pun sering ikut kontes foto dan memenangkan banyak di antaranya.

Lalu setelah berusia satu tahun, Thor berkesempatan menjadi model iklan diaper. Thor tumbuh sebagai balita yang menggemaskan, Bun. Dia juga jarang sekali sakit. Bahkan pilek pertamanya baru didapat saat usianya 6-7 bulan.

"Lalu kalaupun batuk pilek juga cuma sebentar," kata Maria.

Hingga suatu kali, Thor memang sedang batuk, tapi sudah mulai baikan, sehingga Maria pun mengajak Thor dan kedua anaknya jalan-jalan ke tempat wisata di kawasan Jakarta Timur. Meski nggak lama, Thor senang sekali bisa lari-larian dan melihat aneka ikan.

"Keesokan paginya masih bangun seperti biasa, masih lari-larian, bercanda. Lalu saya belanja ke supermarket dan pulang jam 12 siang, Thor masih menyambut saya di pintu. Saya pegang kepalanya kok panas," tutur Maria.

Baby sitter yang menjaga Thor mengatakan Thor demam sejak pukul 11 namun sudah diberi penurun panas. Bergegas Maria pun membawa Thor ke dokter. Tapi sampai ruang praktik. ternyata panasnya sudah turun. Namun di rumah, panas itu kembali datang.

si Kecil Thorsi Kecil Thor /Foto: dok.HaiBunda


Thor tampak tidak bersemangat. Obat penurun panas dan kompres pun sepertinya nggak berpengaruh. Saat ditidurkan, nggak sampai 15 menit, bola hitam mata Thor ke atas. Thor kejang dan tampak seperti kesurupan, sehingga langsung dibawa ke rumah sakit Hermina. Maria ingat benar, hari itu Rabu, 15 Juni 2016. Saat itu usia Thor 22 bulan.

Badan Thor membiru. Kejang itu nggak juga hilang meski sudah lebih dari satu jam. Saat itu Maria masih belum berpikir ada kondisi serius yang dialami Thor. Ventilator pun dipasang dan Thor diberi obat antikejang, dan baru mereda setelah diberikan obat tahap ketiga.

"Thor lalu katanya ditidurkan dan baru bangun 4-5 hari kemudian," lanjut Maria.

Berharap Keajaiban

Hingga akhirnya Thor didiagnosis dengan ensefalitis. Maria pun berharap ada keajaiban bagi putranya. Sehingga Thor bisa kembali berlari-larian seperti dulu, bisa berteriak-teriak, bernyanyi, berceloteh, dan berjalan-jalan di sekitar kompleks rumahnya.

Tapi hampir sebulan berlalu, Thor belum juga membaik. Pada 13 Juli 2016, Thor lalu dipindahkan di RSCM. Selama lima bulan, Thor dirawat di PICU RSCM. Di ruangan tersebut, ada tiga pasien lainnya. Di RSCM Thor sempat diajari duduk karena kondisinya cukup stabil, tapi semua itu belum bisa mengembalikan kestabilan kondisi Thor. Dokter tidak bisa berbuat banyak.

"Saya sering mendapat saran untuk ya udah dirawat saja di rumah, home care sampai Thor nggak ada. Tapi selagi anak saya masih hidup, gimana pun dia, saya akan berusaha mencari kesembuhan buat dia. Mau gimana pun keadaan dia, meskipun dia kondisinya nggak lagi seperti sebelumnya," ucap Maria menahan air matanya.

Pada 26 Desember 2016, Thor kemudian dipindahkan perawatannya ke RS Sumber Waras. Kala itu keluarga ditawari untuk pengobatan menggunakan stem cell. Memang belum pasti akan sembuh seperti sedia kala karena harus melalui sejumlah penelitian. Tapi mengingat ada peluang kesembuhan Thor di situ, keluarga pun mengamini. Terlebih ada pihak yang bersedia menanggung biaya uji stem cell tersebut.

"Ada yang bilang kok anaknya jadi kelinci percobaan atau apalah. Tapi kalau di posisi saya gimana? Pasti mau kan ambil peluang itu, meskipun keberhasilannya masih kecil karena belum pasti," lanjut Maria.

Tapi Thor belum juga membaik. Beberapa kali, kata Maria, putranya nyaris 'nggak ada'. Tapi saat Thor drop, dia akan selalu menyemangati dengan memanggil nama anaknya dan kalimat-kalimat penyemangat.

"Saya merasakan keajaiban. Thor beberapa kali 'ada lagi' setelah hampir lewat," sambung Maria.

Cerita Bunda yang Kehilangan Anaknya karena EnsefalitisCerita Bunda yang Kehilangan Anaknya karena Ensefalitis/ Foto: Thinkstock


Ketika Waktu Berpisah Tiba

Kemudian pada 26 Juni 2017, Maria rasanya nggak ingin meninggalkan anaknya meski sesaat. Saat itu kondisi Thor masih belum membaik, bahkan perutnya membesar karena livernya bengkak akibat infeksi. Maria lantas mengelus perut putra bungsunya.

"Saya bilang, 'pup aja dulu'. Lalu saya urut-urut perutnya dan keluar pup banyak, warnanya kuning gold," tutur ibu tiga anak ini.

Maria nggak membiarkan perawat yang membersihkan kotoran anaknya. Dengan tangannya sendiri dia ingin mengurusnya. Setelah Thor buang air besar, Maria mengamati monitor di ruang perawatan anaknya. Saturasi masih bagus, tapi jantungnya drop. Bahkan dengan pijat jantung pun kinerja jantungnya nggak membaik.

Dokter juga telah memberikan obat perangsang tekanan darah. Tapi sampai dikasih empat, nggak perubahan pada jantungnya, sehingga dokter memutuskan untuk tidak memberikannya lagi karena merasa 'sudah waktunya'.

Ya, akhirnya Thor dinyatakan meninggal setelah sekitar setahun berjuang melawan ensefalitis. Virus itu membuat Thor kemudian kehilangan bernapas spontannya. Dari perawatan akibat ensefalitis itu juga kemudian Thor mengalami infeksi dan organ tubuhnya pun kehilangan fungsi optimalnya.

Sebelum meninggal sebenarnya Thor sempat mengalami henti napas dan jantung sampai 10 menit, namun kondisinya kembali stabil. Sedangkan di hari meninggalnya itu, Thor justru relatif lebih stabil.

"Semua orang bilang ikhlasin. Tapi aku terpukul banget. Dari bayi dia sehat banget. Aku susah menerima, karena sehari-hari Thor kan memang sama aku. Waktu dia sakit juga aku selalu nemani dia," papar Maria.

Anak-anak yang didiagnosis ensefalitis umumnya tidak bertahan hidup lama. Ada yang hanya bertahan hidup dalam hitungan jam saja. Ada yang bertahan sampai dua bulan. Ada juga yang masih ada napas spontan, tapi nggak kuat.

Seorang dokter, kata Maria, pernah mengatakan padanya kenapa Thor bisa bertahan cukup lama adalah karena secara medis semua tindakan penyelamatan dilakukan sesuai dan tepat. Meskipun memang pada akhirnya Thor ketergantungan pada ventilator.

"Dikasih tahu juga kalau ketergantungan pada mesin, maka tidak berkualitas, sehingga cepat atau lambat terjadi penurunan," jelas Maria mengulang apa yang disampaikan dokter padanya.

Kini Thor sudah tidur dengan damai, tidak lagi ada rasa sakit. Semoga Thor bahagia di sisi Tuhan, serta keluarga selalu diberi ketabahan dan semangat. Aamiin. (Nurvita Indarini/rdn)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda