Jakarta -
Menerima kenyataan bahwa si kecil dilahirkan dalam kondisi tak biasa atau 'spesial' memang nggak mudah buat orang tua. Maka dari itu, kadang orang tua yang anaknya menjalani kondisi spesial hanya perlu didengar.
Retno Dewanti Purba, psikolog dari SAUH Psychological Services, mengungkapkan kondisi memiliki anak-anak spesial tentunya tantangan tersendiri buat orang tua. Ya, mulai fisik hingga
psikologis rasanya seperti terkuras. Sehingga, sebelum bisa menerima kenyataan, ada fase yang dialami si orang tua.
"Dimulai dengan periode pertama, marah ketika mendengar diagnosis dari ahlinya kemudian denial, setelah itu baru bisa mikir jejek dan realistis. Baru habis itu periode 'ngupas bawang', mulai tahu ini sakit apa, gimana ngobatinnya, berapa kali operasi, siapin uang berapa dan sebagainya. Setelah itu masuk ke actionnya," papar psikolog yang akrab disapa Neno ini saat ngobrol dengan HaiBunda.
Lamanya tiap periode bagi masing-masing orang menurut Neno beda-beda, Bun. Nah, sering kali hambatannya adalah suatu periode yang dinamakan 'heroik'.
"Kita merasa bahwa cuma kita nih yang bisa menyelesaikan masalah ini. Itu wajar, tapi nggak akan lama kok ada di periode atau fase itu," tutur Neno.
Karena, ketika tidak berusaha mengenali batas kekuatan kita sampai mana atau 'kewarasan' kita ada di titik mana, misalnya kekuatan fisik dan psikis, bukan nggak mungkin kita akan tumbang. Jadi, jangan segan mengakui ketika kita udah merasa nggak sanggup lagi menanggung semuanya sendiri. Belum lagi ketika fase menarik diri dan baper alias bawa perasaan terhadap semua kata atau komentar orang ke kita.
"Jadi kita udah menarik diri, di kamar terus nggak mau keluar, nggak tidur bermalam-malam dan interaksi sama orang juga jadi nggak bagus misal jadi konflik," tutur Neno.
Misalnya, ada orang yang menanyakan kondisi anak kita. Setelah diceritakan panjang lebar mereka cuma respons merasa kasihan. Kadang, kondisi kayak gitu bikin kita merasa nggak dipahami dan akhirnya diri ini sedih atau baper.
Pada titik itu, jangan segan minta bantuan. Kalau bantuan dari lingkungan sekitar dirasa kurang memperbaiki keadaan, jangan segan minta bantuan profesional seperti
psikolog atau konselor. Neno menambahkan kadang bantuan dari strangers malah sangat membantu karena nggak ada judgement dari mereka.
"Kadang kan orang hanya menunjukkan simpati tanpa empati. Simpati seperti kata-kata duh kasihan, duh sabar ya dan sebagainya. Sedangkan empati, kita bisa kok nunjukkin bahwa kita mengerti apa yang mereka rasakan. Kadang orang cerita hanya butuh didengar aja, nggak butuh dikasih pendapat. Dipeluk juga cukup," tutur Neno.
(rdn)