Jakarta -
Seperti ibu lain, Hilda (23) dan Calvin (27) menyambut kehadiran si calon buah hati dengan penuh sukacita. Sampai saat mereka berencana babymoon lalu minta surat izin dokter, Hilda dan Calvin mendapati kenyataan yang bikin shock: si kecil yang di dalam kandungan didiagnosis
down syndrome.
"Waktu itu, aku lagi hamil 14 minggu dan mau babymoon. Pas dicek ke dokter, di-USG gitu dibilang bayiku mengalami penebalan leher, sampai 4 mm. Dokter sempat nanya, di keluarga ada nggak keturunan down syndrome karena anakku dibilang 70 sampai 80 persen down syndrome," tutur Hilda saat ngobrol dengan HaiBunda.
Sepulang dari dokter, Hilda sedih bukan main dan terus menangis. Hiks. Babymoon ke Jepang tetap dilakukan Hilda dan Calvin. Tapi jangan tanya, selama di Jepang Hilda sering nangis di hotel. Kalau sudah begitu, Calvin berusaha menenangkan Hilda dan meyakinkan bahwa si kecil akan baik-baik aja.
Setelah babymoon dari Jepang, Hilda dan Calvin mencari second opinion. Si dokter belum bisa memastikan apakah janin di kandungn Hilda benar-benar mengalami
down syndrome. Maka dari itu, Hilda disarankan melakukan Noninvasive Prenatal Testing (NIPT).
"Sempat lega karena dokter kandungannya yang memang aku cari dengan spesialiasi fetomaternal bilang hasilnya cenderung aman, walaupun belum bisa dipastikan anakku benar-benar nggak down syndrome," tambah Hilda.
Selama menunggu kelahiran si kecil, Hilda tetap galau, Bun. Meskipun, sebagai ibu, Hilda bertekad apapun yang akan terjadi pada si kecil, dia akan menerimanya. Bahkan kalau si kecil benar-benar mengalami down syndrome, Hilda ikhlas kok. Makanya, nggak ada sedikit pun niat Hilda mengeliminasi (menggugurkan) janinnya kala itu.
Ilustrasi janin didiagnosis down syndrome /Foto: thinkstock |
Hingga pada 11 Agustus 2018, si kecil yang berjenis kelamin laki-laki dan diberi nama Arkatama Eimar lahir. Hilda bisa bernapas lega karena saat itu, si kecil Arka menangis sesaat setelah lahir. Dokter pun memastikan nggak ada masalah dengan fisik Arka.
"Lega banget saat itu. Kayak ngerasa, 'Wah gue dikerjain nih.' Memang sampai Arka belum lahir aku masih galau. Namanya takut ada apa-apa sama anak. Tapi jujur, di lubuk hati terdalam, aku yakin anakkku nggak apa-apa kok. Mungkin itu kali ya yang namanya naluri ibu," kata Hilda.
Hilda juga sempat penasaran kenapa leher si kecil Arka mengalami penebalan leher. Menurut informasi beberapa dokter, penyebabnya kemungkinan posisi janin atau kelebihan protein. "Tapi ternyata pas lahir emang lehernya Arka tebal sih karena banyak lemak, ha-ha-ha," kata Hilda.
Sejatinya, kekhawatiran sampai Arka lahir juga dialami Calvin, Bun. Selama beberapa hari Calvin sempat nggak nafsu makan karena kepikiran banget dengan kondisi si kecil. Berangkat dari pengalamannya, Hilda mengingatkan para ibu untuk melakukan skrining di trimester pertama kehamilan melalui Nuchal Translucency dan tes darah untuk melihat risiko kelainan kromosom bayi.
Calvin juga punya pesan buat para calon orang tua. "Percayalah feeling kita sebagai orang tua. Yakinlah walaupun dokter ngomong gimana, itu kan bisa aja berubah. Tetap semangat dan lakukan yang terbaik untuk anak kita," kata Calvin.
Dikutip dari
National Center for Biotechnology Information, penebalan leher janin disebut juga nuchal fold thickening, yakni bertambahnya ketebalan kulit di leher janin karena pengumpulan cairan. Makin besar cairan yang terkumpul, makin besar risiko terjadinya abnormalitas pada janin.
Sebanyak 90 persen janin dengan nuchal translucency setebal 3 mm di usia kandungan 12 minggu lahir dalam keadaan normal sedangkan 10 persennya mengalami abnormalitas. Lalu, hanya 10 persen bayi dengan ketebalan leher 6 mm yang lahir dengan kondisi normal. Umumnya, saat janin diketahui memiliki ketebalan leher yang tinggi, disarankan menjalani tes lanjutan untuk mengetahui risiko abnormalitas, salah satunya kelainan kromoson seperti
down syndrome.
(rdn/muf)