Jakarta -
Ada berbagai cara yang bida dilakukan anak untuk 'meminta' perhatian dari lingkungan sekitar. Nah, self sexualization, bisa jadi dilakukan anak untuk mendapatkan perhatian itu. Apa sebenarnya self sexualization?
Menurut Anastasia Satriyo M.Psi, Psikolog, self sexualization adalah perilaku yang secara intens ingin menunjukkan ekspresi seksualnya. "Walaupun kasusnya banyak terjadi di anak perempuan, tapi laki-laki juga bisa lho terkena perilaku ini," jelasnya saat mengobrol dengan Haibunda.
Kata dia, perilaku ini biasanya dimulai sejak berusia 6 tahun ke atas. Secara psikologis hal ini tentu tidak sehat karena dapat mempengaruhi gambaran anak akan dirinya untuk terlihat seksi dan akan lebih percaya diri jika mereka terlihat seksi.
Menurut Anastasia, anak-anak ini biasanya ingin menarik perhatian lingkungannya dengan berekspresi secara seksualitas. Misalnya saja memakai pakaian ketat atau terbuka supaya terlihat cantik atau diperhatikan orang lain.
Biasanya anak seperti ini mempunyai 'panutan' untuk dirinya, mereka akan berpikir 'ah aku mungkin akan cantik kalau pakai pakaian seperti ini' atau 'aku mau pakai ini supaya ayah lihat ah'.
Padahal sebenarnya jika ingin diperhatikan anak-anak bisa menonjolkan kemampuan lain selain perilaku self sexualization seperti, bagian akademisnya () atau secara
motorik seperti olahraga.
Baca juga:
Kenapa Sih Anak 2-3 Tahun 'Hobi' Teriak-teriak?Kata Anastasia ada dua faktor yang berpengaruh dalam menetapkan self sexualization sebagai cara untuk mencari perhatian. Kedua faktor itu adalah eksternal dan internal.
Faktor internal adalah jika anak yang dijadikan obsesi dari orang tuanya. Ini bisa terjadi karena adanya relasi kuota yang kurang seimbang antara keinginan orang tua dan perilaku anak yang aktif. Mungkin karena keinginan masa kecil dari orang tua yang kurang tercapai sehingga menuntut anaknya melakukan apa yang orang tua minta.
"Bisa juga karena lingkungan keluarga yang kurang memperhatikan si anak. Biasanya anak yang kurang perhatian akan banyak mencari cara untuk minta perhatian," imbuh Anas.
Baca juga:
Anak Mau Berbagi Sama Teman Tapi Pelit Sama Adiknya, Kenapa?Untuk faktor eksternal, ada berbagai macam hal. Misalnya menonton atau melihat media massa atau media sosial tanpa pengawasan orang dewasa. Padahal jika diarahkan, tontonan anak bisa bermanfaat untuk kepentingan belajar yang positif.
"Pujian fisik dari lingkungan juga berpengaruh. Jika si kecil mendengar atau melihat orang tuanya memuji fisik atau apa yang dipakai anak lain maka anak punya stigma dalam dirinya tentang 'lucu' dan 'cantik' versi mereka dan bisa saja anak ingin melakukan hal lebih demi terlihat lucu atau cantik," papar Anastasia.
(Nurvita Indarini)