Jakarta -
Anak-anak 'jaman now' memang warga asli dunia digital. Nggak heran mereka gampang akrab banget dengan gadget maupun dunia maya. Sama sekali nggak kagok ketika bergaul menggunakan
media sosial alias medsos.
Sebagian orang tua memang memperbolehkan anaknya memiliki akun di
media sosial dengan alasan mengasah kreativitas. Ya, mungkin sah-sah saja, tapi kemudian nggak sedikit nih anak yang mengukur 'status' di publik dengan melihat banyaknya 'likes' di postingan medsos-nya.
Menurut sebuah studi baru tentang anak-anak berusia 8-12 tahun oleh Komisaris Anak Anne Longfield, sekarang memang banyak anak yang mengukur status mereka di mata publik lewat online, melalui jumlah likes yang didapat di postingan mereka.
"Anak-anak berusia delapan sampai sepuluh mengatakan mereka merasa bahagia saat orang lain menyukai status mereka. Pada saat mereka mencapai usia 10 sampai 12 tahun, mereka khawatir dengan jumlah orang yang menyukai status mereka," ujar Anne, dikutip dari The Sun.
Anak-anak juga merasa persahabatannya bisa terancam kalau mereka nggak menanggapi postingan media sosial dengan cepat. Dengan kata lain, anak-anak ini bergantung pada orang asing yang tidak dikenal untuk meningkatkan harga diri mereka, Bun.
"Masalah lain untuk generasi anak-anak ini adalah mereka terus-menerus membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang seringkali tidak realistis. Jadi mereka jauh lebih mengkhawatirkan penampilan dan citra mereka. Tentunya ini bisa merusak kepercayaan dan perkembangan mereka sebagai individu," kata Anne.
Fakta dari penelitian ini agak menyedihkan ya, Bun. Walaupun kita nggak bisa memungkiri media sosial telah menjadi bagian dari struktur kehidupan kita, entah suka atau nggak. Sebagai gantinya, kita harus belajar menerimanya dan memahaminya.
Anne bilang ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk membatasi dampak negatif ketergantungan likes postingan di medsos terhadap harga diri dan mencoba mencairkan obsesi likes ini. Menurut Anne, yang paling penting adalah coba beri kepercayaan pada anak tentang siapa mereka sebagai pribadi, bukan karena orang yang menyukai foto atau postingan mereka.
"Bantu mereka untuk memelihara talenta dan keterampilan mereka dalam kehidupan nyata, apakah itu olahraga, memasak atau matematika. Hal ini bisa membantu mereka menjadi orang yang berpengetahuan luas," tutur Anne.
Penting juga untuk membuat anak-anak tetap terbuka dengan masalahnya. Dorong mereka untuk berbicara tentang apa yang mereka lakukan dan lihat secara online dan bagaimana perasaan mereka tentang hal itu.
Kata Anne, jangan lupa ajari anak dengan prinsip 'terus kenapa?'. Ya, jadi kita perlu ajari anak berpikir 'terus kenapa kalau orang asing nggak suka sama kamu? Terus kenapa kalau seseorang memiliki 10.000 follower dan kamu cuma memiliki 100?'
"Ajarkan anak untuk bersikap lebih baik, kita perlu mendorong anak-anak kita untuk tidak rapuh. Terlepas dari hal lain, ketika generasi ini menjalankan negara, hal itu sama sekali tidak akan berhasil jika mereka lumpuh hanya karena tidak memiliki cukup banyak orang," tutur Anne dikutip dari BBC.
Jangan takut untuk terlibat dan benar-benar meneliti apa yang
anak kita lakukan secara online ya, Bun. Apalagi, banyak cyber-bullying terselubung. Memang, masalah ini nggak akan hilang. Jadi kita perlu menemukan cara untuk mengubahnya menjadi positif.
(aci)