Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

Pesan Psikolog Jika Mau Buat Konten tentang Anak, Jangan Cuma Ingin Eksis Bun

Asri Ediyati   |   HaiBunda

Kamis, 18 Nov 2021 10:12 WIB

Portrait Happy Daughter playing smartphone with her mother
ilustrasi/ Foto: Getty Images/iStockphoto/pondsaksit

Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube kini digunakan oleh berbagai kalangan. Tak terkecuali para orang tua. Apakah Bunda salah satunya?

Saking banyaknya pengguna, terutama di Indonesia, sebagian orang mungkin punya intensi ingin eksis atau viral lewat konten-konten yang sebaiknya tidak menjadi konsumsi publik. Salah satunya konten tentang anak mereka.

Mungkin Bunda pernah lihat konten prank anak yang kemudian jadi viral, atau yang baru-baru ini ada balita 2,5 tahun di Aceh yang diajari makan cabai oleh bundanya, lalu ada juga bayi dengan kulit sensitif tapi dipakaikan skincare layaknya orang dewasa.

Menyoal ini, Bubun berkesempatan untuk berdiskusi dengan psikolog anak Ratih Zulhaqqi. Menurut Ratih, para orang tua bikin konten tentang anak kemudian berharap jadi eksis itu sebenarnya disebabkan banyak faktor.

Ratih mengatakan, artinya setiap orang tua itu pasti punya intensi kenapa mereka mau eksis atau viral lewat konten anak. Pertama, mungkin ingin mengedukasi ya. Ingin memberikan edukasi atau informasi kepada orang tua yang lain tentang gaya pengasuhannya mereka, tentang bagaimana mereka berinteraksi dengan anak dan sebagainya.

"Berharapnya bisa jadi inspirasi, jadi menambah variasi kalau misalnya oh ternyata bisa ya begini sama anak, 'Oh ternyata bisa ya jadi alternatif kegiatan dan lain sebagainya'. Itu kemungkinan yang pertama," kata Ratih kepada HaiBunda, Rabu (17/11/2021).

Banner Rekomendasi 3 Tanaman Hias Indoor

Kemungkinan yang kedua, menurut Ratih, adalah orang tua mungkin ingin menunjukkan bahwa dia adalah seseorang yang berguna. Jadi kayak bentuk eksistensi mereka, bentuk dari aktualisasi diri mereka.

"Selama itu hal yang positif, menurutku sih enggak apa-apa juga. Asal jangan yang diekspos bukan wajah anak, bukan anak as the person-nya, tapi lebih kepada oh indahnya interaksinya atau makna nilai apa sih dari kegiatan bersama anaknya. Mudah-mudahan sih tetap itu yang diekspos ya," ucapnya.

Ratih juga menegaskan, jangan sampai konten anak hanya buat lucu-lucuan, Bunda. "Karena anak kita bukan konten lucu-lucuan soalnya biarkanlah kegembiraan atau kelucuan anak kita yang kira-kira pure lucu doang jadi kita aja yang punya."

"Jangan seeking for likes akhirnya kita posting itu. Karena bukan berarti itu akan membawa manfaat saja, tapi juga akan membawa kondisi yang enggak oke," ujarnya.

Ratih juga mengingatkan agar membuat konten dengan penuh kesadaran supaya tidak menumbuhkan kompetisi dan menimbulkan iri hati.

"Karena mungkin pepatah yang mengatakan think before you act, itu sebenarnya benar-benar harus dipikirkan, harus dimaknai, diserapi, dan dilakukan bahwa kita mau bertindak sesuatu memang harus mikir dulu kira-kira tindakan kita bermanfaat atau enggak," ungkapnya.

"Jadi bijak lah dalam menggunakan media sosial karena anak kita juga nanti akan menjadi kaum yang menggunakan media sosial. Jangan sampai image dia sudah terbentuk, dari sebelum dia menggunakan media sosial. Kasihan juga buat anaknya."

Satu hal yang perlu diperhatikan orang tua adalah rekam jejak digital yang terus akan ada, Bunda. Baca kelanjutannya di halaman berikut.

Simak juga cara mengendalikan emosi anak melalui video berikut:

[Gambas:Video Haibunda]




HATI-HATI DENGAN REKAM JEJAK DIGITAL ANAK

Ilustrasi anak dan gadget

ilustrasi/ Foto: Getty Images/Rifka Hayati

Ratih pun mewanti-wanti, yang perlu diperhatikan orang tua adalah rekam jejak digital yang terus akan ada, Bunda.

"Kalau yang diekspos adalah anaknya, pasti nanti akan ada rekam jejak digital. Kayak misalnya begini, aku pun posting sesuatu tentang anakku. Tapi bukan tentang anakku as a person, tapi biasanya aku akan kaitkan dengan aspek apa sih yang dilatih ketika aku melakukan itu, dan bukan anaknya yang akan menjadi obyeknya," tuturnya.

Ratih kemudian mencontohkan pengalamannya sendiri. Anaknya ikut kelas berkuda dan itu dilakukan rutin seminggu sekali. Yang ia fokuskan ketika posting tentang hal tersebut adalah bukan anaknya, tapi kegiatan sang anak.

"Yang aku fokusin tuh bukan anak ikut berkuda tapi kegiatan berkuda itu sebenarnya apa sih kaitannya dengan si tumbuh kembangnya si anak, pemenuhan kebutuhan sensori dan lain," ujar Ratih.

"Jadi supaya orang tua tuh juga paham bahwa oh kalau mau saya ikutin anak saya berkuda tuh manfaatnya apa, jadinya sharing manfaat."

Ratih berpesan, kadang-kadang orang tua mesti peka tentang apa-apa yang boleh di-share ke orang lain, apa yang menjadi konsumsi pribadi saja, Bunda. Karena anak bisa saja berisiko di-bully, dan berdampak pada anak secara psikis.

Bicara posting soal anak di media sosial, anak juga punya hak privasi mereka, lho. Baca kelanjutannya di halaman berikut.

BIASAKAN IZIN ANAK

Ilustrasi kedekatan anak dan ibu tirinya

ilustrasi/ Foto: iStock

Ratih mengaku, ia sering memberi pesan orang tua terkait posting tentang anak di media sosial. Sebagian dari mereka masih ragu apakah boleh atau tidak mengunggah foto/video anak mereka di media sosial.

"Kita boleh enggak sih posting tentang anak di medsos? Sebenarnya bukan boleh atau tidak, tapi bermanfaat atau tidak. Misalnya dirasa postingan kita adalah bermanfaat dan memberikan hal positif, kenapa enggak diposting. Tapi yang diekspos bukan anaknya, tapi lebih kepada manfaatnya," ungkapnya.

Ratih mengatakan, kalaupun misalnya si anak harus diposting, wajahnya diposting karena dia harus melakukan aktivitas itu. Enggak apa-apa, tapi Bunda harus izin dahulu sama anaknya.

"Jadi menurutku, selama anak belum bisa memberikan izinnya, artinya dia belum begitu aware, ya ditahan aja dulu. Karena aku pun juga begitu, aku juga seorang ibu gitu ya. Bukan enggak mungkin aku pernah posting tentang anak aku, atau aku pernah posting foto anakku dan itu aku izin," tutur Ratih.

"Jadi untuk aku posting anakku itu aku nanya, boleh enggak fotonya dilihat sama teman-teman bunda, yang mungkin kamu belum ketemu atau orang-orang yang kamu enggak kenal. If she says no, aku enggak akan posting."

Kata Ratih, ketika anak sudah bisa menunjukkan preferensinya mau, boleh diposting atau enggak, atau foto mana yang boleh diposting itu adalah bagian kompromi dari anak. Cuma yang terpenting adalah manfaatnya. Manfaat apa sih yang kita sebar?

Untuk itu, sebaiknya pertimbangkan dengan matang dan jangan lupa minta izin Si Kecil dulu ya sebelum posting konten tentang mereka, Bunda.


(aci/som)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda