parenting
Dear Ortu, Ini Pesan Menteri PPPA terkait Pernikahan Usia Dini
Senin, 06 Aug 2018 17:53 WIB
Jakarta -
Peringatan Hari Anak Nasional 2018, menjadi momentum untuk mengingatkan semua pihak agar menghormati hak-hak anak di Indonesia. Salah satunya terkait perkawinan anak. Kita tahu di Indonesia nggak sedikit pernikahan dilakukan di usia yang masih belia atau ketika anak-anak menjalani pernikahan usia dini.
Terkait hal ini Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Prof Dr Yohana Susana Yembise berpesan kepada orang tua dan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, agar lebih concern dengan perkawinan anak yang terjadi di Indonesia.
"Kita semua pasti nggak menginginkan anak kita untuk menikah di usia dini. Karena mayoritas pernikahan anak dilakukan secara paksa. Mereka adalah masa depan negara. Jangan biarkan mereka jadi korban harus mengalami seperti ini," kata Yohana di acara Diskusi Media tentang 'Perkawinan Anak' di Millenium Hotel Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (6/8/2018).
Yohana menyebutkan latar belakang ekonomi yang kurang dan tradisi adalah penyebab utama pernikahan usia dini di Indonesia. Untuk itu butuh banyak tangan dalam melindungi anak-anak di Indonesia, termasuk kita, orang tua.
Kementerian PPPA bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 telah mengumpulkan informasi mengenai jenjang pendidikan yang ditempuh oleh perempuan usia 20 hingga 24 tahun berstatus pernah kawin dan yang pernah melakukan perkawinan di usia di bawah atau di atas 18 tahun. Hasilnya cukup memprihatinkan, Bun. Sebanyak 94,72 persen perempuan usia 20-24 tahun berstatus pernah kawin sudah nggak bersekolah lagi sedangkan sisanya 4,38 persen masih bersekolah.
"Tingkat pendidikan orang tua juga memicu pernikahan dini, orang tua menjadi kurang edukasi untuk mencegah pernikahan. Selain itu, sayangnya tradisi juga nggak bisa terhalang. Contoh kasus di suku Asmat, sudah ada tradisi perkawinan anak padahal membuat gizi keluarganya buruk," kata Yohana.
Apa yang akan mereka alami? Menurut Yohana, angka kematian cukup tinggi di mana 4,5 kali anak akan berisiko mati karena melahirkan. Hal ini dikarenakan ukuran pinggul anak masih kecil da berat badannya rendah. Kondisi ini bisa berlanjut pada stunting hingga bayi lahir prematur.
"Dengan mencegah perkawinan anak, berarti kita juga mempersiapkan calon ibu yang sehat, secara mental siap untuk menikah," tutur Yohana.
Yohana menambahkan setiap anak Indonesia berhak sekolah dan harus bermain karena memang tugas mereka di usia anak-anak adalah bermain. Psikomotorik mereka harus tetap aktif dan harus berkumpul bersama orang tua sehingga hak-hak anak bisa diwujudkan.
"Zaman ke depan zaman yang kompetitif, karena mereka harus bersekolah untuk bisa bersaing dengan negara lain kelak," tutup Prof Yohana.
(rdn)
Terkait hal ini Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Prof Dr Yohana Susana Yembise berpesan kepada orang tua dan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, agar lebih concern dengan perkawinan anak yang terjadi di Indonesia.
"Kita semua pasti nggak menginginkan anak kita untuk menikah di usia dini. Karena mayoritas pernikahan anak dilakukan secara paksa. Mereka adalah masa depan negara. Jangan biarkan mereka jadi korban harus mengalami seperti ini," kata Yohana di acara Diskusi Media tentang 'Perkawinan Anak' di Millenium Hotel Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (6/8/2018).
Yohana menyebutkan latar belakang ekonomi yang kurang dan tradisi adalah penyebab utama pernikahan usia dini di Indonesia. Untuk itu butuh banyak tangan dalam melindungi anak-anak di Indonesia, termasuk kita, orang tua.
Kementerian PPPA bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 telah mengumpulkan informasi mengenai jenjang pendidikan yang ditempuh oleh perempuan usia 20 hingga 24 tahun berstatus pernah kawin dan yang pernah melakukan perkawinan di usia di bawah atau di atas 18 tahun. Hasilnya cukup memprihatinkan, Bun. Sebanyak 94,72 persen perempuan usia 20-24 tahun berstatus pernah kawin sudah nggak bersekolah lagi sedangkan sisanya 4,38 persen masih bersekolah.
"Tingkat pendidikan orang tua juga memicu pernikahan dini, orang tua menjadi kurang edukasi untuk mencegah pernikahan. Selain itu, sayangnya tradisi juga nggak bisa terhalang. Contoh kasus di suku Asmat, sudah ada tradisi perkawinan anak padahal membuat gizi keluarganya buruk," kata Yohana.
Apa yang akan mereka alami? Menurut Yohana, angka kematian cukup tinggi di mana 4,5 kali anak akan berisiko mati karena melahirkan. Hal ini dikarenakan ukuran pinggul anak masih kecil da berat badannya rendah. Kondisi ini bisa berlanjut pada stunting hingga bayi lahir prematur.
"Dengan mencegah perkawinan anak, berarti kita juga mempersiapkan calon ibu yang sehat, secara mental siap untuk menikah," tutur Yohana.
Yohana menambahkan setiap anak Indonesia berhak sekolah dan harus bermain karena memang tugas mereka di usia anak-anak adalah bermain. Psikomotorik mereka harus tetap aktif dan harus berkumpul bersama orang tua sehingga hak-hak anak bisa diwujudkan.
"Zaman ke depan zaman yang kompetitif, karena mereka harus bersekolah untuk bisa bersaing dengan negara lain kelak," tutup Prof Yohana.