Los Angeles -
Pernah menasihati anak karena kebanyakan
main game tapi malah diajak dan diajari mereka, Bun? Hal ini dialami oleh aktris, penulis dan neurosaintis, Mayim Bialik. Ia malah diajari dan mencoba main game yang sedang diminati oleh anak-anaknya.
Awalnya, Mayim penasaran karena anak-anaknya, Miles (12) dan Frederick (9) sulit untuk berhenti main game 'Fortnite'. Anak-anaknya menghabiskan berjam-jam di depan TV dan game console-nya. Akhirnya, Mayim mencoba bermain game dengan meminta anaknya untuk diajari.
Saat mencoba main game, Mayim juga merekam video dan diposting ke kanal YouTube-nya. Ia juga melibatkan kedua putranya di video. Dalam video, tampak Miles dan Frederick dengan sabar mengajari ibunya hal-hal dasar.
"Putraku yang lebih tua hanya memberitahuku bahwa tombol-tombol pada pengontrol nggak berhubungan dengan benda di layar. Saya diajari untuk bermain menyelesaikan misi solo yang saya tidak begitu mengerti bagaimana cara menggunakan game console-nya," kata Mayim dikutip dari Cafe Mom.
[Gambas:Youtube]
Dalam game, tokoh utama terjatuh dan kocaknya, Mayim sampai bertanya apakah hal tersebut dapat membuatnya mual atau nggak. Karena permainan itu berbayar, jadi untuk menambah tokoh dalam permainan harus membayar dengan kartu kredit. Seperti permainan di handphone, Bun.
"Ya ampun, apakah ini bercanda? Saya harus membayar untuk menjadi tokoh wanita di dalam game," tutur Mayim di video.
Anak-anak Mayim senang menunjukkan kepada ibu mereka bagaimana melakukan sesuatu yang disukai. Meskipun pada akhirnya, Mayim mengatakan bahwa dia mungkin nggak melanjutkan game tersebut.
"Ini membuat saya stres," kata Mayim.
Hi-hi-hi, ada-ada saja ya ibu yang satu ini. Mau berusaha paham permainan dan bisa dekat dengan anak karena game malah gagal. Nggak apa, masih ada cara lain kok.
Bicara soal main game, waspadai yang namanya gaming disorder (gangguan kesehatan mental). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kecanduan
main game ditengarai terkena gaming disorder.
Hal ini tercantum dalam International Classification of Diseases edisi ke-11. Menurut WHO, ada tiga kriteria utama untuk diagnosis gaming disorder yakni mengutamakan main game di atas segalanya. Seringkali contoh kasusnya kalau di Indonesia yakni beberapa siswa bolos sekolah dan memilih untuk bermain game di warnet, Bun.
Kriteria kedua, anak-anak yang main game merasa nggak bisa berhenti bermain. Kriteria ketiga anak-anak memiliki masalah sosial dengan lingkungan sekitar.
Namun, menurut WHO jika beberapa kali mereka berhenti bermain game dan beraktivitas normal, maka belum bisa dinyatakan terkena gaming disorder. Demikian dikutip dari Huffington Post.
(aci/nwy)