Jakarta -
Suka gemas sendiri nggak sih, Bun, saat
anak ketahuan bohong. Memang, sebisa mungkin kita mengajari anak jujur alias nggak bohong. Tapi, seorang peneliti bilang saat anak berbohong ada dua keuntungan yang dia dapat.
Peneliti perkembangan Kang Lee mengatakan berbohong yang dilakukan anak bisa jadi tanda perkembangan mental si kecil sehat. Kang mempelajari apa yang terjadi secara fisiologis pada anak-anak ketika mereka berbohong. Menurut Kang, umumnya anak berbohong sejak usia dua tahun dan nyatanya anak memang jago banget berbohong.
"Selama ini, secara umum ada tiga hal yang orang pikirkan tentang anak berbohong. Pertama, anak-anak hanya berbohong setelah memasuki sekolah dasar. Kedua, anak-anak nggak jago berbohong dan orang dewasa bisa dengan mudah mendeteksi kebohongan mereka. Ketiga, jika anak-anak berbohong di usia yang sangat muda, mereka bisa menjadi pembohong patologis seumur hidup," tutur Kan.
Nyatanya, ketiga hal itu belum tentu benar. Jadi, Kang pernah melakukan eksperimen saat dia dan tim main tebak-tebakan dengan anak. Jika anak berhasil melakukannya, mereka akan diberi hadiah. Tapi di tengah permainan, si orang dewasa meninggalkan anak-anak ini dengan alasan tertentu. Sebelum pergi, si orang dewasa mengingatkan anak-anak untuk nggak mengintip kartu.
"Tapi dari kamera tersembunyi terlihat karena ingin memenangkan permainan, lebih dari 90 persen anak-anak akan mengintip begitu kita meninggalkan ruangan. Saat kami kembali dan bertanya pada anak, tanpa memandang jenis kelamin, negara, agama, untuk anak usia dua tahun, sebanyak 30 persen
berbohong, 70 persen mengakui kesalahannya," papar Kang seperti dikutip dari
Indian Express.
Ilustrasi anak berbohong/ Foto: iStock |
Sementara itu, pada anak usia tiga tahun, 50 persen berbohong dan 50 persen mengatakan yang sebenarnya. Bagi anak usia empat tahun, lebih dari 80 persen berbohong. Dan pada anak usia empat tahun, kebanyakan
anak berbohong. Menurut Lee, berbohong jadi bagian perkembangan anak yang khas dan makin kuat seiring bertambahnya usia, Bun.
Saat berbohong, lanjut Kang, dibutuhkan kemampuan membaca pikiran untuk memastikan orang yang dibohongi nggak tahu kebohongan kita. Kemudian, dibutuhkan pengendalian diri untuk mengontrol kemampuan berbicara, ekspresi, dan bahasa tubuh saat berbohong.
"Ketika anak sukses berbohong berarti dia bisa menjaga ekspresi wajahnya tetap netral. Di balik itu semua, perasaan anak-anak sebenarnya bercampur antara rasa bersalah, malu, takut. Namun, ia bisa menyembunyikannya sehingga orang tua tidak bisa mengatakan anak itu berbohong atau berkata sebenarnya," tambah Lee.
Meski begitu, tetap saja penting bagi orang tua untuk mengajari anak jujur. Ini nggak bisa dilakukan jika orang tua tak jadi contoh bagi anak. Terkait kebohongan yang dilakukan seseorang termasuk anak, pakar deteksi kebohongan, Handoko Gani, MBA, BAII, mengatakan untuk menilai kebenaran yang diungkapkan anak, orang dewasa perlu masuk ke dunia mereka, pahami bahasa yang digunakan, dan pahami konteksnya.
"Menilai anak berbohong atau tidak, kurang tepat jika hanya melihat mimiknya. Anak kecil nggak bisa
bohong, itu juga nggak tepat. Menurut riset, manusia belajar bohong sejak usia 2 tahun. Contoh kecilnya, anak diajari terima kasih kalo dikasih makanan, tapi dia ngeles saat nggak bilang terima kasih katanya karena dia nggak suka makanannya. Terus anak nangis, padahal nggak kenapa-kenapa, cuma ingin mengundang perhatian orang tua saja," tutur Handoko seperti dikutip dari
detikcom.
(rdn/rdn)