Jakarta -
Memiliki anak
berkebutuhan khusus, menjadi tantangan bagi Jeffrey Ong. Anak semata wayangnya, Defrey Adipratama telah menjalani kehidupan spesial dengan perjuangan yang tidak mudah sebagai anak penyandang
down syndrome.
Defrey lahir pada 2 November 1989. Di usia 6 bulan, dia dinyatakan d
own syndrome. Cerita perjalanan Defrey pun dibagikan oleh sang ayah tercinta.
"Waktu Defrey lahir, dokter rupanya sudah tahu kondisinya tapi belum bicara langsung pada saya dan ibunya. Baru setelah kontrol beberapa kali, ketika usia Defrey 6 bulan, dia sarankan kami untuk cek Defrey lebih lanjut, kesannya Defrey itu seperti ada kelainan," kata Jeffey dalam wawancara eksklusif bersama
HaiBunda.
Atas saran dokter, Jeffrey dan mendiang sang istri Ade Rusdianti, membawa Defrey ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk melakukan pengecekan kromosom. Setelah menunggu hasilnya cukup lama, dokter menyatakan Defrey positif d
own syndrome.
 Defrey Adipratama/ Foto: dok.pribadi |
"Waktu itu perasaan saya bingung, sedih, kaget, dan campur aduklah. Apalagi waktu itu belum ada informasi apapun tentang
down syndrome, cuma tahunya itu adalah suatu kelainan. Jadi saya dan istri banyak kekhawatiran karena Defrey ini ternyata bukan seperti anak biasa," ujarnya.
Untunglah, baik Jeffrey maupun Ade tidak mau berlama-lama tenggelam dalam kesedihan. Saat itu, keduanya langsung bangkit dan menceritakan kondisi Defrey kepada keluarga besar. Setelah itu, keduanya terus berupaya mencari cara untuk bisa mengoptimalkan kehidupan sang anak.
Pasangan suami istri ini kemudian mulai mencari informasi dan belajar tentang
down syndrome sendiri, karena saat itu tidak banyak informasi dan masyarakat masih sangat tertutup tentang
down syndrome. Jeffrey bahkan meminta tolong teman-teman kantornya untuk mencarikan buku dari luar negeri yang bisa menjelaskan kelainan pada anaknya. Semuanya tidaklah sia-sia, Ia dan Ade akhirnya mengetahui penjelasan tentang
down syndrome yang dialami Defrey.
 Defrey Adipratama/ Foto: dok.pribadi |
"Setelah tahu informasinya, kita mulai cari informasi tentang tempat terapi untuk Defrey. Waktu itu sangat sulit mencari tempat terapi untuk down syndrome. Tapi akhirnya saya menemukan tempat terapi yang dikelola oleh dokter di daerah Pulo Mas. Kebetulan dokter ini anaknya juga mengidap
down syndrome," lanjutnya.
Defrey langsung menjalani terapi sampai dirinya masuk sekolah dasar. Beberapa terapi yang dijalani Defrey adalah terapi motorik dan terapi wicara.
"Karena rumah saya di Bintaro, jadi kita harus kejar ke Pulo Mas agar Defrey bisa terus terapi,"ungkapnya.
Jeffrey mengaku dirinya masih belajar banyak untuk mencari informasi saat itu, terutama untuk pendidikan Defrey setelah memasuki usia sekolah. Tidak mudah perjuangannya mencari sekolah yang cocok untuk kebutuhan Defrey, Bun. Untunglah, saat itu sang istri banyak menolong.
 Defrey Adipratama dan ayahnya/ Foto: dok.pribadi |
"Awalnya Defrey sekolah di taman kanak-kanak biasa di daerah Cikini. Tapi setelah dua tahun dia sekolah di sana, kita menyadari kalau Defrey ini tertinggal dari teman-temannya. Kebetulan di sekolah itu, hanya Defrey yang berkebutuhan khusus. Saat itulah almarhum ibunya banyak cari info soal sekolah luar biasa (SLB) setingkat SD yang cocok untuk Defrey," tutur Jeffrey.
Akhirnya, Defrey melanjutkan sekolah di SLB C Budi Waluyo (tingkatan Sekolah Dasar). Namun, berita sedih justru dialami Defrey saat menginjak kelas 2 SD. Sang ibu tercinta meninggalkan dia untuk selamanya karena sakit. Tapi, Jeffrey tidak berhenti mendorong Defrey untuk terus melanjutkan pendidikannya.
Setelah lulus SD, Jeffrey kembali mencari pendidikan lanjutan untuk Defrey karena di sekolah dasarnya tidak memiliki sekolah khusus yang setingkat Sekolah Menengah Pertama. Defrey pun melanjutkan pendidikan di SLB C Bimar Asih (setara Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas) di daerah Pejaten, Jakarta Selatan. Di sekolah ini, Defrey mulai menemukan jati dirinya.
"Defrey waktu di SLB Bimar Asih adalah anak yang aktif. Dia ikut kegiatan
ekskul gamelan. Berkat dukungan dari orang tua yang lain, Defrey dan teman-temannya sampai dua kali ikut festival gamelan di Yogyakarta. Di
ekskul ini, Defrey adalah pemain gong, jadi kalau main gong dia itu paling semangat, sampai menyita perhatian orang banyaklah," tutur Jeffrey sedikit tertawa mengenang semuanya.
Setelah lulus SMA di tahun 2009, beberapa orang tua murid SLB Bimar Asih kembali membentuk kelompok gamelan untuk melanjutkan kegiatan berekspresi anak-anaknya. Namun sayang, karena kesulitan mencari pengajar gamelan yang cocok, kelompok ini harus bubar.
"Sayang sekali kelompok gamelan ini harus bubar, karena enggak banyak kelompok gamelan dari anak-anak berkebutuhan khusus. Sebenarnya Defrey sendiri masih minat untuk melanjutkan, tapi karena enggak ada teman-temannya lagi, ya sudah jadinya diberhentikan," tuturnya.
Setelah itu, hari-hari Defrey diisi dengan berbagai kegiatan kursus. Sebab, pendidikan formal tidak tersedia bagi anak berkebutuhan khusus yang telah menyelesaikan pendidikan SMA. Beberapa kursus dan rutinitas yang dijalaninya adalah berenang, mengaji, belajar drum, kursus komputer, dan kursus bahasa Inggris. Setiap hari, Defrey bisa mengikuti 2 sampai 3 kursus.
 Defrey Adipratama/ Foto: dok.pribadi |
Namun, kecintaan Defrey terhadap musik sepertinya belum hilang, Bun. Dari kursus musik yang diikutinya, bakat baru Defrey kembali muncul.
"Karena dia dan beberapa temannya suka musik, akhirnya beberapa orang tua dari anak berkebutuhan khusus membentuk band musik bernama The Stars. Di sini, Defrey kadang bermain drum, namun lebih sering menjadi vokalis. Latihannya rutin seminggu sekali. Kadang mereka juga diundang untuk tampil di beberapa acara," jelas Jeffrey.
Hal yang paling membanggakan bagi Jeffrey adalah sang anak baru-baru ini telah menciptakan prestasi. Defrey bersama kelompok anak
down sydrome Insan Anugrah membuat album solo di bidang musik. Hal ini bisa terwujud karena guru kursus alat musik djimbe Defrey mengajaknya untuk menampilkan kemampuan dan bakatnya.
"Kami sebagai orang tua tujuannya membentuk band musik dan membuat album solo djimbe itu memang karena punya misi. Selain memberikan kesempatan anak untuk berekspresi, kita juga ingin menginspirasi
orang tua anak berkebutuhan khusus lain untuk mau berbuat sesuatu yang mendorong anak ke arah positif. Selain itu, kita mau membangun
awereness di masyarakat tentang
anak berkebutuhan khusus, agar lebih bisa menghargai dan menerima mereka karena anak-anak ini memiliki hak yang sama di masyarakat," tutup Jeffrey.
Kisah Perjuangan Ayah Jeffrey masih terus berlanjut, Bun. Tunggu artikel selanjutnya ya.
[Gambas:Video 20detik]
(ank/rdn)