Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

#dearRiver, Mengapa Sebaiknya Tak Selalu Mendengarkan Apa Kata Guru

Fauzan Mukrim   |   HaiBunda

Minggu, 17 Nov 2019 17:00 WIB

Guru juga manusia. Apa yang dikatakannya justru berbalik ketika si anak kelak menjadi orang yang sangat sukses.
#dearRiver, Mengapa Sebaiknya Tak Selalu Mendengarkan Apa Kata Guru/ Foto: iStock
Jakarta - #dearRiver,

Ada seorang anak kecil bernama Tommy. Umurnya tujuh tahun ketika ia dimasukkan ke sebuah sekolah. Tapi, ia punya rasa ingin tahu yang lebih besar dibanding anak seusianya. Kepada gurunya, ia sering menanyakan hal-hal di luar pelajaran. Di lain waktu, saat pelajaran berlangsung, ia malah sering melamun atau menatap keluar jendela.

Karena tingkah lakunya itu, ia sering dianggap aneh di sekolah. Tak hanya oleh teman sekelasnya, bahkan gurunya pun sering mempermalukannya di depan kelas. Karena sering dihukum, Tommy dicap sebagai anak bermasalah. Ia tak bertahan lama di sekolah. Gurunya menyebut dia bodoh dan tidak bisa mengikuti pelajaran.


Nancy, ibu Tommy, akhirnya menghadap kepada kepala sekolah meminta kemudahan, tapi ia ditolak dengan kasar. Tak punya pilihan lain, ia pun mengeluarkan Tommy dari sekolah dan bertekad mengajarinya sendiri.

Ada satu anak kecil lagi, namanya Albert. Ia sebenarnya pintar, tapi punya sedikit gangguan perkembangan. Ia kesulitan berbicara dan sering mengulang-ulang kata orang yang ia dengarkan. Suatu kali, seorang guru yang juga kepala sekolahnya menyebut dia tidak akan pernah jadi orang berguna.

River, mudah-mudahan kamu tidak perlu bertemu guru seperti itu. Saya mengajarimu untuk selalu hormat pada guru-gurumu, dan siapa pun yang memudahkan langkahmu menuju ke gerbang ilmu. Itu sebabnya, saya menyuruhmu menyalami tukang sapu sekolah sekalipun.

Sebenarnya tanpa perlu saya suruh pun kamu akan melakukannya. Di sekolahmu memang dibiasakan begitu. Tidak hanya murid, bahkan beberapa guru saya pernah lihat 'cium tangan' ke salah satu ibu petugas kebersihan sekolah ketika mereka datang di pagi hari.

Ada nilai lama yang dijaga agar tidak hilang, tapi ada juga nilai baru yang berkembang terkait pola interaksi. Dulu, di zamanku sekolah, rasanya agak jarang melihat murid berani menggelayuti guru. Sekarang, guru lebih seperti teman. Bebas dipeluk dan diajak bermain bahkan di luar ruang kelas. Dan gurunya senang-senang saja.

..

Ilustrasi anak belajar di sekolahIlustrasi anak belajar di sekolah/ Foto: iStock
Belakangan, lagi ramai postingan 'pembalasan dendam' kepada guru. Ada seseorang yang menge-tweet foto wisudanya dan menyebut nama guru yang dulu meremehkannya.

"Tweet ini saya dedikasikan kepada Bu XXX yang dulu bilang saya tidak bakal masuk PTN. Maaf saya cumlaude!" tulisnya.

Banyak yang kemudian mengikuti. Ada yang setuju, ada yang tidak. Katanya, guru harus dihormati, bagaimana pun kacrutnya dia. Menurutku, di luar caranya yang agak lebay, postingan 'balas dendam' itu bisa dimaklumi. Sekolah bukan kuil suci. Di dalamnya ada guru baik, tapi yang toksik juga ada. Jangankan cuma mempermalukan, di berita sering juga kita dengar atau baca ada guru yang melecehkan siswanya.

Di SMP, saya punya pengalaman dipermalukan oleh guru. Psikis dan fisik. Saya tidak tahu ada masalah apa dia di rumah, sampai kesalahan kecil yang saya lakukan harus diberi hukuman seperti itu. Saya dipajang di depan kelas. Pernah lihat mistar kayu ukuran 1 meter?

Nah, mistar kayu tebal itu yang dia hantamkan ke dadaku. Saking kerasnya hantaman itu, dua kancing bajuku pecah dan lepas. Bayangkan, anak 13 tahun dihajar oleh orang dewasa. Di dalam kelas, di dalam sekolah.

Tidak ada yang tahu peristiwa itu, kecuali teman sekelas. Bahkan orangtuaku. Saya menyimpannya rapat-rapat. Di rumah, saya mengganti dan menjahit sendiri kancing baju yang pecah. Saya tidak dendam kepadanya, atau kepada pelajarannya. Di pelajaran yang dia ajarkan, saya tetap berusaha dapat nilai baik. Saya sudah memaafkan, tapi tidak akan lupa.


Di SMA, ketika penjurusan di kelas 2, seorang guru menyebut saya tidak pantas masuk jurusan A1 (Fisika). Fisika hanya untuk anak-anak pintar dan bajunya selalu di dalam. Katanya, harusnya saya masuk jurusan Budaya. Waktu itu, jurusan Budaya (A4) memang di-stigma sebagai tempat buangan anak-anak nakal. Anak-anak yang tidak diterima di kelas Fisika, Biologi, dan Sosial.

Saya memang tadinya ingin masuk A4 karena ingin belajar bahasa, bukan karena ingin jadi nakal. Tapi ucapan guru itu menurutku tidak bijak diucapkan kepada seorang murid yang bahkan masih bingung mencari jati dirinya. Menjadi pendidik memang tidak mudah. Itu sebabnya saya menaruh hormat setinggi-tingginya kepada mereka yang menjalankan profesi itu. Baik dia disebut Guru maupun bukan.

Ada petuah lama yang diajarkan orang-orang tua kita. Sekali kita menerima ilmu dari seseorang, maka kita tidak akan pernah bisa membalasnya. Seorang guru adalah karamah, engkau berdosa ketika engkau lewat di depan rumahnya dan berbicara buruk tentang atap rumahnya. Bayangkan, Nak, menghina atap rumahnya saja pun sudah berdosa.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang berdiri di depan kelas tapi tidak berperilaku seperti guru? Orang-orang seperti itu pun sejatinya adalah 'guru', yang mengajari kita agar tidak menjadi seperti dirinya.

Oya, Tommy dan Albert yang saya ceritakan di awal itu bisa Bunda baca kisah hidupnya. Sudah banyak ditulis tentang mereka. Tommy di kemudian hari menemukan lampu pijar dan mempatenkan 1093 penemuan atas namanya. Nama lengkapnya Thomas Alva Edison. Sedangkan Albert, di kemudian hari lebih sering disebut nama belakangnya, Einstein. Salah satu orang tercerdas yang pernah hidup di kolong langit ini.

Fauzan Mukrim
Ayah River dan Rain. Menulis seri buku #DearRiver dan Berjalan Jauh, juga sebuah novel Mencari Tepi Langit. Jurnalis di CNN Indonesia TV, dan sedang belajar membuat kue. IG: @mukrimfauzan. Buku terbaru, #DearRain, sudah terbit pada September 2019. (muf/muf)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda