parenting
#dearRiver, Kalau Kau Bercita-cita Jadi Korlap Demo
Kamis, 07 Nov 2019 16:22 WIB
Jakarta -
#dearRiver,
Di rumah kita punya gambar pajangan, repro dari graffiti mural Bansky yang terkenal, Flower Thrower. Flower Thrower (atau Flower Bomber) menggambarkan seorang demonstran yang melemparkan seikat bunga. Grafiti mural itu aslinya digambar Banksy di dinding sebuah garasi di jalan utama di Betlehem, Jerusalem.
Karena Bansky tak pernah diketahui siapa sosok aslinya, orang hanya bisa menduga-duga apa maksudnya. Konon, itu sikap Banksy yang pasifis dan anti-kekerasan. Dengan memasang gambar itu di ruang tengah rumah kita, sedikitnya kamu bisa tahu bagaimana pandanganku tentang demonstrasi.
Demonstrasi adalah hak warga negara yang dilindungi undang-undang. Ada di pasal 2 ayat 1 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Begitu bunyinya.
Namun sebagaimana layaknya hak yang lain, ia harus berhenti ketika berbenturan dengan hak orang lain. Tidak di semua tempat kita bebas berdemonstrasi. Rumah Sakit, stasiun kereta, terminal, bandara adalah termasuk yang terlarang sebagai area demonstrasi.
Intinya, berdemonstrasi tetap ada aturannya meskipun kita punya hak untuk itu. Semua orang di jalanan berhak atas lampu lintas, tapi ketika kamu memaksa melaju ketika lampumu masih merah, percayalah, ada orang yang akan kau rugikan di depan sana. Yaitu orang yang lebih berhak atas lampu hijau.
Beberapa hari belakangan, demonstrasi berlangsung di banyak tempat di negara kita. Sebagian besar dimotori oleh mahasiswa. Sebagai mantan peserta demo dan pengasong syal di zaman peralihan Orde Baru ke Orde Reformasi, saya senang melihat mereka bergerak. Setidaknya mereka tidak lagi hanya terkungkung di studio stasiun TV, tepuk tangan di acara Tukul.
Jalanan sudah memanggil, ruang kelas kedua mereka sebagai 'the happy selected few', menurut Soe Hok Gie. Seandainya tidak malu, saya pun sebenarnya ingin mengaku sebagai mantan demonstran. Minimal saya pernah merasakan disemprot gas air mata, dikejar dan kena pentung aparat. Salah satu pamanmu lebih parah lagi. Ia pernah menginap di kantor polisi, diseret dan ditendang sampai kacamatanya pecah. Besoknya beritanya ada di TV dan ditonton oleh Nenek yang cuma bisa menangis. He-he-he.
Mahasiswa seharusnya memang begitu, meski tidak semua. Ada juga kampus yang akan memecat mahasiswanya kalau ikut demo. Perjanjiannya sudah dibikin sejak awal masuk. Selama tidak vandal, saya mendukung demonstrasi mahasiswa. Terlepas dari apa isi tuntutannya, mahasiswa harus dijamin kebebasannya untuk bergerak. Merekalah corong pertama aspirasi rakyat, karena anggota dewan sudah susah untuk diharapkan.
Mahasiswa dan anak muda pada umumnya adalah sebuah posisi penting dalam milieu demokrasi. Tidak semua orang bisa dapat kesempatan ini. Muda dan berani adalah sebuah anugerah. Rachel Corrie berusia 23 tahun ketika ia berdiri menghadang sebuah buldozer Israel yang akan meratakan rumah penduduk di Jalur Gaza, Palestina.
Greta Thunberg berusia 16 tahun ketika ia mengingatkan para pemimpin dunia tentang bahaya perubahan iklim di Forum Ekonomi Dunia di Davos. Insya Allah, kalau nanti kamu ada rezeki bisa kuliah juga, jadilah Mahasiswa yang baik. Mahasiswa dengan M kapital di depannya. Itu salah satu masa terindah di mana kamu bisa membuktikan nubuat Subcomandante Marcos, bahwa seseorang hanya bisa bahagia ketika ia memperjuangkan apa yang ia yakini benar.
Bergeraklah sesuai tuntutan zamanmu. Ambil jeda khusus untuk belajar, dan siagakan matamu mengawasi para penunggang. Kemarahan dan perlawanan selalu unik di setiap generasi. Apa yang kamu perjuangkan, mungkin akan jadi bahan tertawaan generasi sebelum atau sesudahmu. Seperti halnya kau pun mungkin akan menganggap lucu apa yang diperjuangkan oleh generasi kami dulu.
Demonstrasi 15 Januari atau Malari 1974, agendanya menolak investasi asing. Mobil-mobil Jepang dibakar-bakarin di jalan. Sebuah demonstrasi yang mungkin tampak aneh di zaman sekarang. Menolak investasi adalah sebuah upaya degradatif, untuk tidak menyebut konyol.
Beberapa waktu lalu, sekelompok mahasiswa merangsek ke bioskop. Berdemonstrasi di situ. Apa yang mereka lawan? Film Dilan. Mundur ke belakang sedikit. Di sebuah kota di awal tahun 80-an, ada demonstrasi mahasiswa. Rusuh besar-besaran. Mahasiswa ketika itu menolak peraturan pemerintah yang mewajibkan pengendara motor memakai helm.
Iya, betul, Nak. Mereka menganggap peraturan memakai helm itu melanggar hak asasi. Sementara sekarang, orang bahkan sukarela beli helm Ink atau AGV yang nyaris seharga motor. Tanpa perlu dipaksa. Dan kalau ada anak kecil yang membonceng ayahnya tanpa memakai helm, maka kita justru menganggapnya tidak tercerahkan.
Begitulah setiap generasi membawa kemarahannya sendiri-sendiri. Saya tak akan melarangmu menjadi demonstran atau bahkan sekiranya engkau yang akan menjadi kordinator lapangan atau korlapnya. Itu sebuah prestasi tersendiri. Nama-nama yang banyak disebut sekarang seperti Fahri Hamzah, Rama Pratama, atau Adian Napitupulu adalah contoh pemimpin demonstrasi legendaris di zamannya.
Tapi yang namanya pemimpin itu pasti lebih berat tanggungjawabnya. Makanya tidak semua orang bisa mengambil peran itu. Jalan pemimpin adalah jalan penuh penderitaan. Begitu kata Mohammad Roem mengutip pepatah kuno Belanda: leiden is lijden. Memimpin adalah menderita.
Jadi tidak elok kau menyebut dirimu pemimpin atau korlap demonstrasi, tapi ketika ada yang merusak pagar, mencoret-coret stasiun MRT, menjungkirkan mobil, atau menahan laju ambulans, lalu kamu berkilah, "Oh itu oknum. Namanya demonstrasi, rentan disusupi."
Kalau kau membawa sekumpulan orang turun ke jalan, maka kau akan ikut dimintai pertanggungjawabannya kelak di hari akhir atas apa yang mereka lakukan, sekalipun itu hanya satu orang di antaranya yang menginjak rumput atau merontokkan kelopak bunga.
Fauzan Mukrim
Ayah River dan Rain. Menulis seri buku #DearRiver dan Berjalan Jauh, juga sebuah novel Mencari Tepi Langit. Jurnalis di CNN Indonesia TV, dan sedang belajar membuat kue. IG: @mukrimfauzan. Buku terbarunya, #DearRain, sudah terbit pada September 2019. (rdn/rdn)
Di rumah kita punya gambar pajangan, repro dari graffiti mural Bansky yang terkenal, Flower Thrower. Flower Thrower (atau Flower Bomber) menggambarkan seorang demonstran yang melemparkan seikat bunga. Grafiti mural itu aslinya digambar Banksy di dinding sebuah garasi di jalan utama di Betlehem, Jerusalem.
Karena Bansky tak pernah diketahui siapa sosok aslinya, orang hanya bisa menduga-duga apa maksudnya. Konon, itu sikap Banksy yang pasifis dan anti-kekerasan. Dengan memasang gambar itu di ruang tengah rumah kita, sedikitnya kamu bisa tahu bagaimana pandanganku tentang demonstrasi.
Namun sebagaimana layaknya hak yang lain, ia harus berhenti ketika berbenturan dengan hak orang lain. Tidak di semua tempat kita bebas berdemonstrasi. Rumah Sakit, stasiun kereta, terminal, bandara adalah termasuk yang terlarang sebagai area demonstrasi.
Intinya, berdemonstrasi tetap ada aturannya meskipun kita punya hak untuk itu. Semua orang di jalanan berhak atas lampu lintas, tapi ketika kamu memaksa melaju ketika lampumu masih merah, percayalah, ada orang yang akan kau rugikan di depan sana. Yaitu orang yang lebih berhak atas lampu hijau.
Beberapa hari belakangan, demonstrasi berlangsung di banyak tempat di negara kita. Sebagian besar dimotori oleh mahasiswa. Sebagai mantan peserta demo dan pengasong syal di zaman peralihan Orde Baru ke Orde Reformasi, saya senang melihat mereka bergerak. Setidaknya mereka tidak lagi hanya terkungkung di studio stasiun TV, tepuk tangan di acara Tukul.
Jalanan sudah memanggil, ruang kelas kedua mereka sebagai 'the happy selected few', menurut Soe Hok Gie. Seandainya tidak malu, saya pun sebenarnya ingin mengaku sebagai mantan demonstran. Minimal saya pernah merasakan disemprot gas air mata, dikejar dan kena pentung aparat. Salah satu pamanmu lebih parah lagi. Ia pernah menginap di kantor polisi, diseret dan ditendang sampai kacamatanya pecah. Besoknya beritanya ada di TV dan ditonton oleh Nenek yang cuma bisa menangis. He-he-he.
![]() |
Mahasiswa dan anak muda pada umumnya adalah sebuah posisi penting dalam milieu demokrasi. Tidak semua orang bisa dapat kesempatan ini. Muda dan berani adalah sebuah anugerah. Rachel Corrie berusia 23 tahun ketika ia berdiri menghadang sebuah buldozer Israel yang akan meratakan rumah penduduk di Jalur Gaza, Palestina.
Greta Thunberg berusia 16 tahun ketika ia mengingatkan para pemimpin dunia tentang bahaya perubahan iklim di Forum Ekonomi Dunia di Davos. Insya Allah, kalau nanti kamu ada rezeki bisa kuliah juga, jadilah Mahasiswa yang baik. Mahasiswa dengan M kapital di depannya. Itu salah satu masa terindah di mana kamu bisa membuktikan nubuat Subcomandante Marcos, bahwa seseorang hanya bisa bahagia ketika ia memperjuangkan apa yang ia yakini benar.
Bergeraklah sesuai tuntutan zamanmu. Ambil jeda khusus untuk belajar, dan siagakan matamu mengawasi para penunggang. Kemarahan dan perlawanan selalu unik di setiap generasi. Apa yang kamu perjuangkan, mungkin akan jadi bahan tertawaan generasi sebelum atau sesudahmu. Seperti halnya kau pun mungkin akan menganggap lucu apa yang diperjuangkan oleh generasi kami dulu.
Demonstrasi 15 Januari atau Malari 1974, agendanya menolak investasi asing. Mobil-mobil Jepang dibakar-bakarin di jalan. Sebuah demonstrasi yang mungkin tampak aneh di zaman sekarang. Menolak investasi adalah sebuah upaya degradatif, untuk tidak menyebut konyol.
Beberapa waktu lalu, sekelompok mahasiswa merangsek ke bioskop. Berdemonstrasi di situ. Apa yang mereka lawan? Film Dilan. Mundur ke belakang sedikit. Di sebuah kota di awal tahun 80-an, ada demonstrasi mahasiswa. Rusuh besar-besaran. Mahasiswa ketika itu menolak peraturan pemerintah yang mewajibkan pengendara motor memakai helm.
![]() |
Begitulah setiap generasi membawa kemarahannya sendiri-sendiri. Saya tak akan melarangmu menjadi demonstran atau bahkan sekiranya engkau yang akan menjadi kordinator lapangan atau korlapnya. Itu sebuah prestasi tersendiri. Nama-nama yang banyak disebut sekarang seperti Fahri Hamzah, Rama Pratama, atau Adian Napitupulu adalah contoh pemimpin demonstrasi legendaris di zamannya.
Tapi yang namanya pemimpin itu pasti lebih berat tanggungjawabnya. Makanya tidak semua orang bisa mengambil peran itu. Jalan pemimpin adalah jalan penuh penderitaan. Begitu kata Mohammad Roem mengutip pepatah kuno Belanda: leiden is lijden. Memimpin adalah menderita.
![]() |
Kalau kau membawa sekumpulan orang turun ke jalan, maka kau akan ikut dimintai pertanggungjawabannya kelak di hari akhir atas apa yang mereka lakukan, sekalipun itu hanya satu orang di antaranya yang menginjak rumput atau merontokkan kelopak bunga.
Fauzan Mukrim
Ayah River dan Rain. Menulis seri buku #DearRiver dan Berjalan Jauh, juga sebuah novel Mencari Tepi Langit. Jurnalis di CNN Indonesia TV, dan sedang belajar membuat kue. IG: @mukrimfauzan. Buku terbarunya, #DearRain, sudah terbit pada September 2019. (rdn/rdn)