Jakarta -
#DearRiver,Beberapa hari kemarin kita backpacking ramai-ramai ke Solo naik bus. Ayah, Mama, kamu dan adik Rain, masing-masing cuma bawa satu ransel
backpack. (Ya
iyalah, namanya juga backpacking. Kalau mau syuting, baru bawa
genset. Sebenarnya ini kita lakukan karena kamu penasaran pada bus
double decker Scania Trans Jawa yang sering kamu lihat di
Youtube.
Sebagai
busmania amatiran, kamu ingin menjajalnya. Pada awalnya, yang terbayang adalah lamanya perjalanan. Berangkatnya sekitar 11 jam, dan pulangnya bisa 15 jam. Nyaris dua kali lipat dibanding pakai kendaraan pribadi. Sudah pasti akan sangat membosankan dan melelahkan, baik di bokong maupun pikiran.
Namun, karena ini penting sebagai bahan untuk membuat kenangan, jadi kita jajal. Lagipula, Ayah pikir ini juga bagus untuk mengajarimu bersabar. Mencapai tujuan apa pun, ada proses yang harus dijalani. Dan kadang itu membosankan. Seperti naik bus, tidak selalu tempat yang kita tuju itu tinggal lurus-lurus saja.
Mau ke Solo, harus singgah di Gringsing atau Boyolali dulu. Pulangnya pun begitu. Kadang bus harus keluar tol, masuk ke Bekasi, Pulo Gebang, Pasar Rebo, baru ke Poris Plawad.
Sambil jalan kemarin itu, Ayah sempat membaca sebuah postingan Tante Jayaning Hartami di Facebook. Tante Ami, begitu beliau akrab dipanggil, menulis bahwa sesekali anak memang perlu dipertemukan dengan rasa bosan.
 Ilustrasi anak bosan Foto: iStock |
"Bosan itu bukan variabel yang akan menyakiti mereka," tulis Tante Ami. Sehingga, menurut Tante Ami, orang tua tidak perlu rusuh menyediakan segala rupa hal untuk mencegah anak dari rasa bosan. Misalnya, ketika menunggu antrean atau ketika di dalam bus.
"Lebih ultimate-nya lagi, ketika 'dibiarkan' menghadapi kebosanan, perlahan anak belajar dan mencari cara untuk meng-entertain, menghibur dirinya sendiri," tambah Tante Ami yang juga seorang aktivis perbukuan anak. Sebuah perspektif yang sungguh baik. Betul-betul calon mertua idaman ini.
Apa yang ditulis Tante Ami itu mengingatkan Ayah pada sebuah
eksperimen klasik. Di awal tahun 1970-an, seorang ilmuwan sekaligus psikolog bernama Walter Mischel menempatkan anak-anak berusia 4 hingga 6 tahun di dalam ruangan seorang diri. Di depan anak-anak itu diletakkan beberapa potong kue seperti biskuit coklat, marshmallow, dan pretzel.
 Ilustrasi anak isap jempol karena bosak/ Foto: iStock |
Walter kemudian meninggalkan mereka selama 15 menit. Namun, sebelumnya sang ilmuwan berpesan kepada anak-anak itu, jika bisa menahan diri untuk tidak memakan kue yang disediakan, mereka akan mendapat hadiah kue kedua saat sang ilmuwan kembali.
Saat ditinggal, sejumlah anak bertahan dengan segala cara agar tidak tergoda.
Misalnya, dengan menutup mata atau berbalik menghadap ke tembok. Ada juga anak yang tidak tahan lalu memutuskan memakan kue tanpa peduli pada hadiah yang dijanjikan.
Beberapa belas atau puluh tahun setelahnya, Walter kembali bertemu anak-anak yang menjadi subjek eksperimennya. Ia mendapatkan, anak-anak yang bisa menunggu, tumbuh menjadi orang dewasa yang berprestasi, memiliki karier yang lebih memuaskan, dan kehidupan sosial yang lebih bahagia.
Hal yang berkebalikan terjadi pada anak-anak yang langsung melahap kue tanpa bisa menunggu. Eksperimen yang melibatkan 600 orang anak itu diadakan di Stanford University, dan kemudian lebih dikenal dengan nama 'Stanford Marshmallow Experiment'.
Tujuan eksperimen ini adalah mengetahui kapan seorang anak mulai mengembangkan kontrol terhadap kepuasan yang tertunda (delayed gratification), yaitu kemampuan untuk menahan sesuatu yang sangat diinginkan. Di bukunya Raising Your Child, dokter tersohor Amerika, dr.Mehmet Oz, memasukkan variabel kepuasan yang tertunda ini sebagai salah satu dari apa yang ia sebut tujuh kekuatan.
Tujuh Kekuatan itu, menurut Oz, perlu diperhatikan dalam pengasuhan demi memelihara kesehatan jiwa anak. Enam lainnya nanti lain kali kita bahas, tapi soal menunda keinginan ini memang hal penting. Salah satu turunannya adalah mendidik anak untuk mengatur tujuan jangka panjang, misalnya menabung uang jajan untuk membeli mainan.
Begitu, Boi. Dengan menunda kepuasan, kamu misalnya bisa belajar bahwa tidak semua yang kamu inginkan itu bisa langsung didapatkan. Ingat enggak, saat turun di terminal Poris, kamu ingin berfoto di kursi sopir bus
double decker Putera Mulya, tapi tidak diizinkan oleh kernetnya? Ayah lihat kamu sedikit kecewa. Ayah juga sedih melihat kamu menggotong ransel dengan lunglai, karena keinginanmu tidak tercapai.
 Ilustrasi anak bosan/ Foto: iStock |
Tapi, kamu perlu mengalami hal itu. Tidak semua yang kamu inginkan bisa kamu dapatkan saat itu juga. Seperti halnya ketika menghadapi kebosanan, kamu perlu belajar bagaimana tetap nyaman ketika menghadapi kekecewaan.
Menurut ilmu medis, Nak, janin manusia konon sudah bisa mendengar suara orang tuanya di minggu ke-20 masa
kehamilan. Dan konon lagi, suara ayahnya yang berat lebih gampang didengar oleh janin ketimbang suara ibunya yang lebih tinggi pitch-nya. Itu sebabnya para ayah dianjurkan sering ngobrol dengan calon bayinya, bukan hanya 'ditengoki' secara berkala.
Tidak seperti kucing atau kelinci yang masa hamilnya hanya beberapa puluh hari, manusia butuh berada sembilan bulan lebih di dalam rahim. Kadang Ayah berpikir, jangan-jangan itu hikmahnya sehingga kita harus berada selama itu dalam perut ibu.
Selain mendengarkan suara orang tua, satu-satunya hiburan kita di dalam rahim adalah mengisap jempol. Itupun baru bisa dilakukan di minggu ke-21 kehamilan. Bisa jadi, itu cara Tuhan untuk melatih kita agar kelak tabah menghadapi
rasa bosan di kehidupan yang sebenarnya.
Fauzan MukrimAyah River dan Rain. Menulis seri buku #DearRiver
dan Berjalan Jauh,
juga sebuah novel Mencari Tepi Langit.
Jurnalis di CNN Indonesia TV
, dan sedang belajar membuat kue. IG: @mukrimfauzan (rdn/rdn)