Jakarta -
Mengejar ilmu sampai ke ujung dunia adalah sesuatu yang mulia. Namun, di sisi lain, ada keluarga yang harus ikhlas ditinggal sementara. Hal ini dialami Pelita Octorina, ibu empat anak asal Sukabumi, Jawa Barat, yang harus ikhlas tinggalkan anaknya di pesantren.
Pelita bercerita kepada
Deutsche Welle, butuh waktu panjang untuk akhirnya memutuskan riset doktoral di Jerman. Ia mendapat beasiswa dengan fokus studi zooplankton di Universitas Konstanz, Jerman. Pelita merasa berat, karena ia masih memiliki tanggungan sebagai ibu dan istri.
Di sisi lain, Pelita ingin jadi contoh di keluarganya supaya semua anggota keluarga memiliki pendidikan yang lebih baik. Keputusannya bulat ketika sang suami mendukung 100 persen untuk melanjutkan studi. Pasalnya mendapat beasiswa S3 bukan perkara gampang.
Sebelumnya, Pelita harus pontang-panting cari beasiswa kursus Bahasa Jerman, baru lah dia cari pembimbing riset doktoralnya dan beasiswa kuliah di sana.
"Proses persiapan mulai saya jalani sejak 2010, saat itu saya masih studi pada jenjang S2 di Institut Pertanian Bogor (IPB)," ujar wanita yang berkuliah S1 di Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung, itu.
Ilustrasi anak pergi ke sekolah/ Foto: iStock |
Niatnya sempat diurungkan karena melahirkan anak ketiga dan keempat. Ia mengaku bahkan sempat putus asa, namun suami terus memberi semangat untuk mengejar mimpinya. Ia kembali memantapkan hati untuk berusaha mendapat beasiswa luar negeri setelah anak keempat lahir.
"Dengan bersusah-payah mulai dari tes bahasa, mencari calon pembimbing dan berburu beasiswa sambil mengasuh anak, akhirnya saya bisa melanjutkan studi di Jerman melalui beasiswa yang saya dapatkan tahun 2016, enam tahun sejak pertama kali saya memulai perjuangan untuk bisa studi lanjut," ujar Pelita.
Pelita pun memahami salah satu benefit dari beasiswa yaitu tunjangan keluarga. Rupanya untuk menghidupi enam orang tinggal di Jerman itu tidak cukup. Ia pun sempat berpikir harus memilih maju atau mundur.
"Namun suami saya tetap mendukung dan mengingatkan bahwa perjuangan untuk mendapatkan beasiswa tersebut sangat panjang, lama dan berat, mundur bukan merupakan sebuah pilihan terutama niat kami adalah untuk mencari ilmu, suatu kewajiban dalam agama kami, pasti ada jalan keluar," katanya.
Alasan anak dimasukkan ke pesantrenSetelah keputusan untuk maju sudah bulat, Pelita pindah ke Jerman dimulai pada 2017. Kepindahannya selama setahun itu untuk mencari peluang bagaimana membawa keluarganya ke Jerman.
"Meskipun uang beasiswa tidak mencukupi namun saya tetap berusaha, karena saya dari dulu selalu berpendapat bahwa keluarga itu harus besar bersama, tidak boleh bercerai-berai," ujarnya.
Sayangnya nasib berkata lain, uang yang Pelita miliki hanya cukup menghidupi dua anaknya saja. Ia memutuskan untuk membawa anak-anak yang masih kecil (kelas 1 SD dan TK) bersama suami. Sementara dua anaknya yang duduk di kelas 4 dan 6 SD dimasukkan ke pesantren dan dititipkan ke orang tua Pelita.
"Saya dan suami memberikan pengertian bahwa jika mereka ingin bersekolah di Jerman, mereka harus mempersiapkan mental mereka. Di samping itu, mereka juga harus dibekali dengan ilmu agama yang kuat untuk keimanan mereka di masa depan dalam menghadapi tantangan hidup," kata Pelita.
"Mereka harus mempersiapkan diri dengan benar, baik dari sisi keilmuan maupun keimanan, sehingga akhirnya mereka masuk boarding school atau pesantren di Sukabumi," lanjutnya.
Baginya, ini adalah keputusan yang dianggap terbaik meski sangat berat. Bahkan koleganya di kampus menganggap Pelita tidak waras karena meninggalkan kedua anaknya di Indonesia. Lagi-lagi, ia tak punya pilihan lain. Ia meyakini inilah jalan terbaik dari Allah SWT.
"Berulang kali saya mengatakan pada diri saya sendiri. Saat ini, mereka sedang mempersiapkan diri untuk datang ke
Jerman baik dari sisi akademik dan religi. Dan itu sangat penting bagi masa depan mereka, dan mereka baik-baik saja di pesantren. Dengan begitu saya seolah menghibur diri sendiri atas situasi saat ini dan tidak menyalahkan diri atas keputusan yang saya ambil," kata Pelita.
Ilustrasi orang tua dan anak/ Foto: iStock |
Memasukkan anak ke boarding school atau pesantren memang perlu pertimbangan. Orang tua perlu menyadari bahwa tak semua anak siap hidup mandiri tanpa ada orang tua di dekatnya.
Berbicara kepada
The Swaddle, psikiater Dr.Sagar Mundada menjelaskan, tidak semua anak tumbuh menjadi lebih mandiri, disiplin dan berpengetahuan luas setelah pergi ke boarding school, karena ini juga tergantung pada kepribadian mereka.
Dokter yang berbasis di Mumbai itu mengatakan, sekolah asrama bisa menjadi pengalaman yang baik bagi anak-anak yang fleksibel dan tidak terlalu sensitif. Akan tetapi, bisa jadi pengalaman kurang baik bagi mereka yang memiliki kepribadian sensitif, dalam hal ini, pengalaman itu bisa menjadi racun.
"Pada anak yang sensitif, terisolasi, terluka secara emosional, kemungkinan mengembangkan depresi masa kecil, gangguan kecemasan, dan fobia sosial sangat tinggi," kata Mundada.
Idealnya, proses pengambilan keputusan anak masuk boarding school setidaknya harus melibatkan seorang profesional seperti psikolog atau tenaga kesehatan medis, Bunda.
Simak juga alasan gadget tak jadi sarana belajar yang tepat:
(aci/muf)