PARENTING
11 Contoh Cerpen Pengalaman Pribadi Menarik Beragam Tema dari Kisah Sekolah sampai Liburan
Nazla Syafira Muharram | HaiBunda
Rabu, 03 Jan 2024 21:35 WIBCerpen menjadi sebuah wadah unik yang seringkali dijadikan sebagai media penyampaian rasa dan emosional yang ada di dalam diri. Salah satu tema menarik yang mengundang rasa keingintahuan para pembaca adalah cerpen tentang pengalaman pribadi. Nah, dalam artikel ini, Bunda bisa membaca contoh cerpen pengalaman pribadi bersama Si Kecil di rumah.
Pada dasarnya, cerpen pengalaman pribadi memiliki karakteristik yang cukup menonjol, di mana pada cerpen jenis ini biasanya sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama. Sudut pandang orang pertama tersebut dapat diperankan oleh tokoh utama ataupun orang kedua atau ketiga, Bunda.
Adapun beberapa contoh cerpen pengalaman pribadi yang menarik biasanya mencakup, cerpen tentang pengalaman pribadi di sekolah, cerpen pengalaman pribadi saat liburan, bahkan contoh cerpen pengalaman pribadi yang panjang pun cukup diminati oleh anak-anak, lho Bunda.
Dengan demikian, contoh-contoh kisah yang terdapat dalam cerpen pengalaman pribadi ini dapat berguna sebagai bahan hiburan, ataupun memberikan pengajaran berharga bagi para pembacanya.
Nah, lantas Bunda dan Si Kecil ingin tahu seperti apa contoh cerpen pengalaman pribadi, bukan? Berikut ini beberapa contoh cerpen pengalaman pribadi dikutip dari buku Cinta 47 Detik, penerbit Muklis Puna (2019) dan berbagai sumber lainnya. Simak yuk, Bunda.
Kumpulan contoh cerita pendek atau cerpen pengalaman pribadi menarik
Berikut ini kumpulan contoh cerita pendek tentang pengalaman pribadi yang menarik untuk dibaca. Simak ya, Bunda.
1. Contoh cerpen pengalaman pribadi: Pembuli
Namaku Brillian. Aku sering dipanggil Brill oleh teman-temanku. Ketika aku masih SD, aku selalu diikuti oleh teman-teman cowok sekelasku, itu karena aku adalah cowok terkeren dan terkuat di sekolah. Bahkan aku pernah mengalahkan orang-orang terkuat di SD lainnya, sehingga aku terkenal di antara anak-anak SD lainnya.
Semua ini berawal ketika aku dan teman sebangkuku, Chandra jajan di kantin sekolah. Ketika aku mau masuk ke kantin, kami dihalangi oleh kakak kelas 6, mereka berjumlah 4 orang. Mereka lalu menyeret kami ke belakang kantin lalu mendorong kami jatuh.
Chandra hampir menangis, karena ketakutan. Lalu mereka meminta semua uang kami. Chandra langsung memberikannya dengan menaruhnya di lantai. Ketika kakak kelas itu mau mengambil uang itu, aku langsung mengambilnya dan menaruh di kantungku.
Lalu dengan menahan rasa sakit, aku pun mencoba bangkit dan membalas kakak kelas yang menyerangku. Setelah aku menyerangnya, mereka berempat lalu mengeroyokku. Aku pun kalah, dan mereka memaksa mengambil uang yang ada di kantongku, termasuk uangku. Setelah itu mereka meninggalkan aku dan Chandra yang terdiam di situ.
Chandra lalu membantuku bangun dan membawaku ke kelas. Ketika di kelas, seisi ruangan heboh karena melihat aku kesakitan dan terluka. Tiba-tiba ibu guru masuk ke kelas, ketika melihatku, ibu guru langsung tanya apa yang telah terjadi.Lalu Chandra menjelaskan semuanya.
Setelah itu Ibu guru membawa kami memasuki satu persatu kelas untuk mencari kakak kelas yang menyerangku. Ketika dapat, mereka berempat disuruh ke kantor BP. Sesampainya di kantor BP, ibu guru meminta penjelasan apa saja yang sudah terjadi. Kakak kelas yang kami tunjuk hanya terdiam dan tidak berani menjawab. Lalu aku pun membuka suara dan menjelaskan semuanya.
Ketika ditanya guru "Apakah yang dikatakan itu benar?,"
Mereka hanya terdiam saja, tidak berani menjawab. Lalu aku meminta Ibu guru memanggil Candra karena dia bisa menjadi saksi bagiku kalau kakak kelas itu menyerangku. Sebelum ibu guru bangun, kakak kelas itu mengakui apa yang telah diperbuatnya.
Lalu, Ibu guru membuat surat untuk memanggil orang tua kakak kelas 6 dan aku, untuk menyelesaikan masalah yang sudah terjadi.
Ketika masalah ini sudah selesai dan orang tua pun sudah bertemu. kakak kelas yang menyerangku itu tidak puas, terutama si Amar, ketua dari mereka berempat. seminggu Setelah orang tua kami bertemu, dia mengajakku untuk bertatap muka, aku pun menerimanya, karena menurutku ini bisa menjadi kesempatan untuk menjalin hubungan yang baik antar kakak kelas dan adik kelas.
Ketika sudah sampai di tempat pertemuan mereka berempat ada dan aku sendirian. Lalu, aku menanyakan untuk apa kita bertemu di sini. "Pengecut kau, beraninya panggil guru," ucap Amar.
Aku terkejut, kenapa dia mengatakan itu, aku sempat berpikir selama berapa detik. Lalu aku menyadarinya bahwa kakak kelas itu belum puas. Lalu aku menjawabnya "Kau pengecut, berani nya 4 lawan 1 coba 1 lawan 1 berani enggak kamu?"
Seketika itu dia marah, dan langsung mengajakku berantem. Setelah selesai beradu, dia kalah dan teman-temannya langsung meninggalkannya di tempat itu karena takut dengan kemampuan bela diri yang aku kuasai.
"Kau membuat kesalahan yang besar," Lalu aku pergi dari situ dan meninggalkannya.
Setelah dua minggu kemudian, aku bertemu dengan Amar di luar sekolah. Ternyata Amar membawa temannya dari SD yang lain untuk membalas kekalahannya ketika mengajakku berantem. Choki, temannya si Amar ini, langsung memukulku. Menandai bahwa dia ingin mengajakku berantem.
Aku pun langsung menerimanya, dengan ditandai tendangan yang aku daratkan ke kepalanya. Tiba-tiba dia tidak terbangun lagi, Amar mencoba membangunkannya ternyata dia pingsan. Aku pun terkejut, padahal aku baru sekali menyerangnya.
Aku membantu Amar memapahnya ke taman. Setelah sampai di taman aku dan Amar menaruhnya di bawah pohon. Lalu aku pergi meninggalkan mereka berdua. Keesokan harinya, aku mencoba mencari tahu informasi mengenai mereka berdua. Aku mencoba menemui si Andra, salah satu teman si Amar.
Aku sudah mengetahui bahwa Amar dan Choki adalah teman masa kecil. Mereka sering mem-bully anak-anak yang ada di sekolah mereka. Mereka melakukannya untuk menunjukkan bahwa mereka yang terkuat dengan mengganggu orang-orang yang lemah.
Setelah mengetahui itu aku mencoba mencari mereka berdua, lalu aku mendapati mereka sedang memalak anak-anak untuk dimintai uangnya. Lalu, kuberteriak "Woi!! Ngapain kalian hah?"
Ketika mendengar suaraku mereka langsung lari, aku pun mengejarnya sampai mereka memasuki jalan buntu. Ketika aku mendapati mereka, mereka tidak bisa lari lagi ke mana-mana. Lalu mereka panik dan mencoba menyerangku, aku langsung menangkisnya dan mengalahkan mereka berdua di situ. Setelah itu aku menanyai mereka, kenapa mereka suka sekali membuli anak yang lain.
"Aku ingin anak-anak yang lain merasakan apa yang aku rasakan ketika aku di bully dulu" teriak Amar kepadaku,"
"Lalu kenapa temanmu mengatakan kalau kau ingin membuktikan kalau kau yang terkuat?," tanyaku.
"Aku tidak ingin orang tau kalau aku pernah dibuli dulu," jawabnya.
"Pembulian ini tidak akan berakhir jika kau ingin anak-anak yang lain merasakan apa yang kau rasakan," kataku kepada Amar.
Lalu Amar menangis, dan aku meninggalkan nya bersama Choki.
Beberapa hari kemudian aku melihat Amar dan Choki berkeliling sekolah, setelah aku teliti ternyata mereka meminta maaf kepada semua orang yang mereka buli mereka juga berjanji akan mengembalikan uang yang mereka minta ketika mereka membuli dulu. Setelah itu Amar dan Coki menemuiku dan berterima kasih karena telah menyadarkan mereka dari perbuatan yang buruk. Mereka berjanji tidak akan mengulangi lagi dan akan membantu orang yang dibuli.
2. Sportif
"Olga main bola yuk!" Ajak Toni dari depan rumah Olga. Olga yang barusan selesai mengerjakan salat Asar itu pun segera melipat sajadah serta sarungnya, bergegas kemudian menemui sumber suara.
"Sama siapa aja main bolanya, Ton?"
"Robi, Boni, dan Iskak sudah menunggu di lapangan. Ini aku mau ngajak kamu dan Anto. Jejen tadi bersepeda ke luar kampung, untuk ngajak tanding anak kampung sebelah," jelas Toni.
"Lets, go!" ujar Olga bersemangat.
Toni dan Olga mengambil arah memutar untuk menuju lapangan sambil menghampiri Anto, sang kiper andalan bagi tim sepak bola Olga dan kawan-kawan. Olga, Toni, dan Anto telah tiba di lapangan rumput dekat sungai yang membatasi kampung Karet dengan Kampung Kopi, dua kampung yang selalu hidup damai di bawah kaki Gunung Singsong. Di sana, Robi, Boni, dan Iskak sudah menunggu sembari melakukan pemanasan.
"Jejen belum tiba?" tanya Toni.
"Belum, mungkin sebentar lagi," jawab Robi.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dari arah jembatan, tampak Jejen beserta teman-teman dari Kampung Kopi berjejer menaiki sepeda masing- masing. Upaya Jejen untuk mengajak pertandingan persahabatan dengan anak kampung sebelah itu membuahkan hasil. Teman-teman dari Kampung Kopi bersedia untuk hadir memenuhi undangan dari tim sepak bola anak Kampung Karet.
Ada tujuh anak dari Kampung Kopi yang hadir. Sama halnya dengan jumlah personil di timnya Olga dan kawan-kawan. Walaupun seharusnya dalam sebuah pertandingan sepak bola terdiri dari 11 pemain di tiap tim, namun pertandingan sore itu yang terjadi hanya menampilkan total 14 orang saja di lapangan. Lapangan yang digunakan pun hanya setengahnya saja dari ukuran lapangan sepak bola yang semestinya.
Tak ada wasit, tak ada peluit. Namun, pertandingan persahabatan anak-anak usia SD itu tetap berlangsung seru dan menarik. Kedua tim saling menyerang. Tampaknya, kedua tim kesulitan dalam hal bertahan. Akibatnya, banyak terjadi gol di antara keduanya. Dan justru di situlah sisi menariknya. Semakin banyak gol yang tercipta, semakin banyak kebahagiaan yang terukir.
Hari hampir petang, rasa lelah akhirnya menghentikan pertandingan itu dengan skor 15-12 untuk keunggulan tim sepak bola teman-teman dari Kampung Kopi, Pertandingan persahabatan antara kedua tim ini bukan hanya untuk persoalan kalah ataupun menang saja, tetapi juga untuk menjunjung tinggi sportivitas, kejujuran, kebersamaan, dan menciptakan hiburan yang menyehatkan bagi anak- anak kedua kampung yang hidup berdampingan.
3. Ujian Hari Pertama
Malam ini bulan terlihat bulat penuh, bersinar hingga bumi ini terang. Orang menyebutnya bulan purnama, rasanya damai saat melihat bulan di atas sana. Kubuka jendela rumah, angin sepoi- sepoi menyapaku. Kusiapkan buku Bahasa Indonesiaku, kusiap belajar ditemani bulan purnama dan angin yang menghampiriku dengan ramah.
Aku mulai membaca materi sesuai urutan kisi-kisi yang sudah dijelaskan guruku di sekolah, sudah hafal sebenarnya karena setiap hari dipelajari namun aku tetap membacanya. Tiba-tiba mama muncul dari pintu kamarku.
"Ada yang ditanyakan?" tanya mama
"Tidak Ma," Jawabku singkat.
Mama tetap masuk kamarku, dengan membawa lembaran soal. Pasti suruh mengerjakan batinku. Maklumlah ibuku juga seorang guru SD, Jadi paham betul jika anak sulungnya akan ujian. "Ini Mama bawakan soal, Bagaimana jika kita latihan soal Bahasa Indonesia?" tanya Mama.
"Baiklah."
Sudah tiap hari aku disuruh ibuku berlatih soal dengan soal-soal yang beragam, untuk memperkaya pengetahuanku. Soal aku kerjakan satu demi satu yang langsung dibahas bersama ibuku. Jadi sebelum beralih soal, aku menjadi paham.
Suasana belajar yang sangat mendukung untuk ujianku besok pagi. Hingga tak terasa jam menunjukkan pukul 20.30. Tiba- tiba Adikku masuk kamar.
"Ma, Nen ngantuk." Adikku mulai mengantuk.
"Oya,mama menemani Dik Danen tidur dulu ya, Mas. Mas Diven sekarang persiapkan yang perlu dibawa untuk ujian besok, masukkan ke tas dan teliti kembali agar tidak ada yang tertinggal,"panjang lebar penjelasan mama.
Mama mencium keningku dan meninggalkanku untuk menemani adik kutidur. Aku bebenah dan memasukan alat tulisku ke dalam tas andalan kupilihanku seperti milik papa.
Aku berdiri untuk menggerakkan tubuh, tangan kueratkan, badanku angkat setinggi-tingginya, sambil bernafas panjang. Lega rasanya, kututup kembali Jendelaku sambil mengucapkan salam perpisahan dengan sang bulan penerang malam ini.
"Selamat malam bulan," kataku.
Aku beranjak kekamar mandi untuk sikat gigi sebelum tidur malam. Kegiatan ini sudah dibiasakan oleh mamaku sejak kecil. Aku mengambil air wudhu untuk salat Isya. Aku menunaikan salat Isya sebagai hamba Allah. Saat selesai sholat, tak lupa kuucapkan rasa syukur atas segala pemberian-Nya dan kutitip doa untuk ujianku besok.
Selesai salat, aku bergegas tidur karena jam telah menunjukkan pukul 21.00.
"Kring...kring...kring..." Bunyi jam Bekerku berdering.
Aku terbangun dan kuucapkan doa bangun tidur, lalu duduk. Pintu kamar terketuk dari luar, itu pasti ibuku.
"Masuk," jawabku singkat.
"Sudah beranjak Mas?" Tanya mamaku.
"Sudah Ma, ini baru akan ambil air wudhu untuk salat
jelasku
"Good," jawab Mamaku singkat
Mamaku keluar dari kamarku dan aku pun segera beranjak.
Adik kutiba-tiba ikut mama ke dapur, merengek minta dibuatkan susu, melihat mama sedang sibuk menyiapkan sarapan, adikku tetap tidak peduli dan terus merengek.
"Ma...mik susu, Ma... cepat buatkan susu." rengek Danen, adikku.
"Sebentar Nak, ini belum selesai. Selesai menggoreng nasi, pasti Danen dibuatkan susu oleh Mama." Jelas Mama
"Ayo dong Ma, Nen haus," rengek Danen lagi.
Setelah aku selesai salat, Danen tetap merengek minta susu dan ibuku tetap akan menyelesaikan memasak nasi goreng.
"Dik, Mas Diven buatkan susu mau?" tawaranku buat Danen.
"Mau." Jawab Danen sumingrah.
"Tapi hati-hati lho." Ucap mama.
"Iya." Jawab kusantai
Aku membuatkan susu dan adikku tetap disampingku, sambil menggoyangkan kakiku.
"Ayo Mas, Nen mik susu." rengek Danen lagi.
"Iya," jawabku
Sewaktu aku mengambil air termos yang penuh, untuk dimasukkan gelas kakiku digoyangkan Danen, dan air panas itu melesat dari gelas, yang digeser Danen. Tanpa hitungan menit, justru air panas mengenai tangan Danen.
Danen langsung nangis kencang sekali, untung aku bisa mengontrol diri. Botol tremos yang masih ditanganku langsung aku berdirikan dan kututup kembali.
Ibuku yang sedang menaruh nasi goreng di meja langsung membalikkan badan menghampiri Danen yang menangis keras sekali.
"Adik kenapa?" Tanya ibuku panik
"Kena air panas," jawab Danen sambil menangis.
"Kakak sekarang mandi lanjut sarapan. Mama akan bawa Danen ke klinik. Kalau sudah pukul 06.30 mama belum pulang. Kakak berangkat ke sekolah sendiri,"jelas Mama sambil menggendong Danen pergi.
Aku mendengar penjelasan Mama. Raut wajah ibuku seperti marah, tapi tak ada waktu untuk memarahiku. Konsentrasinya tertuju pada Adikku yang tetap menangis.
Mama menghidupkan mobil dan melesat pergi ke klinik memeriksakan Adikku. Aku masih tetap berdiri di tempat, rasanya semua badan lemas sekali. Aku seperti tak bisa apa-apa. Tapi kumulai melirikkan mataku ke jam yang berada di dinding. 05.45.
Aku lalu bergerak pelan menuju kamar mandiku, tak lagi peduli jika hari ini ujian. Aku hanya lemas mengingat kejadian tadi. Selesai mandi, aku berbenah diri dan sarapan pagi, nasi goreng telur kesukaanku terasa hambar di pagi ini. Tiba-tiba terdengar mobil kami, mamaku pulang. Tak sabar ingin melihat keadaan adikku, aku langsung meninggalkan piring kosongku, keluar menuju halaman rumah.
"Mas Diven, tanganku dibungkus," kata adikku keluar mobil.
"Adik sakit?" tanyaku.
"Sakit, tanganku panas," jelasnya.
"Sekarang Danen masuk ditemani Mas Diven dulu ya. Mama akan siap-siap ke sekolah juga," kata mama.
"Ya Ma, terus Danen sekolah tidak Ma?" tanya Danen
"Danen kuat untuk sekolah?" tanyaku
"Bagaimana ya?" tanya Danen
"Jika tidak kuat, tidak usah sekolah dulu, dari pada nanti merengek kesakitan di sekolah," jelas Mama.
"Ya," jawab adikku singkat
Mama mempersiapkan diri untuk sekolah. Danen duduk didepan TV sambil mainan. Dan mbak Dah, orang yang membantu pekerjaan rumah kami sudah tiba. Aku mulai membuka percakapan.
"Dik Nen, maafkan mas ya. Tangan adik jadi sakit dan panas." Kataku
"Gak apa mas." Jawab adikku sambil ingin berkata panjang namun hanya itu yang bisa terucap.
Aku sayang dengan adik semata wayangku, dia menderita down sindrom yang membuat perkembanganya terlambat di banding anak seusianya. Karena adikku tunagrahita, menjadikan sering tantrum, rewel, dan hanya mau mengucap sedikit kosa kata. Namun aku dan seluruh keluargaku tetap menyayanginya.
"Adik, dirumah dulu ya. Mas dan mama pergi ke sekolah," jelas mamaku pelan.
"Ya Ma." Jawaban adikku sambil senyum.
"Assalammualikum," pamit mama tehadap adikku sambil cium pipinya.
"Salam," jawab adikku singkat.
Aku dan Ibuku beranjak pergi. Dalam perjalanan ibuku pasti akan memberikan nasehat pikirku. Dan tak lama... Ibuku mulai mengeluarkan suara.
"Mas, besok lagi lebih hati-hati ya kalau membuatkan susu adik," kata ibuku dengan pelan.
"Ya Ma, besok tidak akan kuulang lagi," jawabku perlahan.
"Iya, tunggu mama saja yang membuatkan jika bahaya.
Ujian nanti?" tanya mamaku
"Iya Ma," jawabku singkat.
Pertanyaan mamaku mengingatkan kembali, bahwa hari ini dalah hari pertamaku ujian. Iya, ujian Bahasa Indonesia. Tak terasa aku sampai di gerbang sekolah, aku harus sudah siap melaksanakan ujian hari pertamaku.
4. Anak Korban Bully Menjadi Prestasi
Siang begitu cerah, langit pun terlihat biru. Terlihat anak kecil menangis dengan suara yang sudah mulai melemah.
Namanya Hasan, dia hidup di desa yang terpencil jauh dari keramaian dan jauh dari sanak saudara. Ayahnya adalah orang yang sangat ditakuti di desanya. Sifatnya yang angkuh dan keras kepala.
Pada saat Hasan masuk sekolah dasar, ibunya merasa takut dia sulit mendapatkan teman baru di sekolahnya karena terbawa sifat buruk ayahnya. Semua orang yang tinggal di sekitarnya sudah paham tingkah laku Ayah Hasan yang bersifat buruk dan angkuh, Hasan selalu dijauhi teman-temanya.
Setahun telah berlalu, kini dia menduduki bangku kelas 2 SD. Hasan bukan hanya dijauhi, tapi sekarang menjadi korban bully teman sebayanya di sekolahnya.
Setiap pulang sekolah, dia selalu mengadu di pangkuan ibunya sambil menangis terisak-isak karena selalu di-bully di sekolahnya. Ibunya selalu tersenyum seraya mengatakan, "Sudahlah nak, jadikan saja hinaan temanmu sebagai motivasi untukmu untuk membuktikan bahwa kamu lebih baik dari mereka yang menghinamu," kata ibu Hasan.
Besoknya Hasan kembali bersekolah seperti biasanya. Tidak ada teman yang memberi tahu kalau hari ini ada ulangan, Hasan jadi tidak belajar hingga akhirnya mendapat nilai yang jelek setelah ulangan. Gara-gara hal itu, Hasan semakin diejek teman-temannya dan menangis.
Sejak saat itu Hasan memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah karena sudah tidak tahan dengan ejekan teman-temanya. Sudah tiga hari Hasan tidak sekolah, hingga ada guru yang baik hati dan perhatian menyempatkan untuk menjenguknya.
Guru itu bernama Bu Devi. Hasan yang tadinya hanya mengurung diri di kamar, mau keluar karena ada Bu Devi yang baik hati. Hasan pun bercerita kalau di sekolah selalu menjadi bahan ejekan teman-temanya.
Dengan kata-kata halus dan bijaksana, Bu Devi berhasil meluluhkan hati Hasan yang sudah berbulat hati untuk tidak sekolah lagi. Hasan luluh, dan dia membulatkan hati lebih rajin belajar. Ia memilih tidak memperdulikan ejekan teman-temannya.
Usahanya ternyata tidak sia-sia dia berhasil menjadi rangking satu di kelas saat penilaian kenaikan kelas. Hasan merasa sangat bangga dengan prestasi yang diraihnya tetapi itu masih belum cukup, masih ada saja ada yang mengejeknya. Seakan sudah terbiasa, Hasan tidak memperdulikan ejekan siapapun dia hanya fokus untuk belajar.
5. Contoh cerita pendek menarik: Awal dari Perpisahan
Hari ini telah tiba, hari perpisahan. Sebuah perpisahan yang begitu menyedihkan. Hari itu aku hanya tersenyum sambil mengucapkan salam perpisahan kepada keluargaku, hari di mana aku pergi menuntut ilmu di tempat yang sangat jauh dari keluargaku.
Ku tatap jendela pesawat melihat pemandangan laut yang begitu indah sambil mengingat hari terakhir bersama keluargaku. Ku ingin hari ini dapat terlewat begitu saja, sehingga tidak ada lagi rasa penyesalan. Sebuah hari baru di sebuah rumah kecil sendirian terpaksa harus hidup mandiri, ku buka koperku untuk mempersiapkan esok hari untuk masuk ke sekolah baruku.
Tepat pukul 06.00 alarm ku berbunyi, mataku berkantung seperti panda karena tidak dapat tidur nyeyak karena tidak terbiasa. Aku bersiap-siap untuk berangkat menuju sekolah dan dibekali sarapan sebuah roti dengan selai coklat dan secangkir susu, yang merupakan sarapan favoritku dari dulu. Aku bergegas keluar mengunci rumah agar tidak telak di hari pertamaku, ku ambil sepedaku yang ku rantai dekat dengan pagar rumah.
Roda sepeda berputar melalui semen yang hitam pekat diiringi dengan lagu yang ku dengar menggunakan airpod ku. Pagar sekolah sudah hampir ditutup, seorang penjaga gerbang dengan kepala yang botak menggerakkan tangannya mengisyaratkanku untuk cepat. Ku letakkan sepeda di samping pos penjaga gerbang, ku intip nama yang tertera di bajunya bertuliskan Ayub nasution.
"Selamat pagi Pak Ayub,"ucapku sok kenal. Pak Ayub hanya membalasnya anggukan pelan.
"Kring...kring...kring.." Suara bel sekolah menandakan sudah waktunya masuk. Bergegas aku menuju kantor kepala sekolah untuk memverifikasi hari pertama sekolahku. Kepala sekolah tersenyum kepadaku dan berbicara panjang lebar dengan suara yang lembut dan baik, suaranya sangat lembut seperti wanita walaupun aku tahu kalau kepala sekolah sekolahku ini adalah seorang laki-laki.
"Bu Putri antarkan Faris ke kelasnya,"ujar kepala sekolahku kepada seorang wanita paruh baya yang baru saja masuk ke dalam kantor kepala sekolah.
"Ayo, ikuti ibu," Bu Putri mengajakku untuk mengikutinya. Bu putri melangkah dengan cepat menaiki anak tangga yang amat banyak dan aku mengikutinya dari belakang hingga sampai ke lorong menuju satu kelas yang bertulis kan kelas 8E. Pintu dibuka dan suasana kelas sangat ribut mengurus kesenangannya sendiri walaupun ada seorang guru yang masuk.
"Hari ini kita kedatangan murid baru, Faris silahkan perkenalkan dirimu,"ujar Bu Putri kepadaku. Aku pun mulai memperkenalkan diriku mulai nama tempat lahir dan juga alamatku.
"Aku ingin cepat duduk,"ujarku dalam hati. Bu Putri tersenyum kembali dan kembali bertanya "Apakah ada yang ingin kau ceritakan Faris." Aku hanya membalas dengan sebuah gelengan dan menuju tempat duduk. Tempat dudukku ada di bagian paling belakang kelas karena hanya itu satu-satunya tempat duduk yang kosong.
"Hei, namaku Aji,"bisikan seseorang di bangku sebelahku.
Kring...kring...kring.. Bel kembali berbunyi waktunya istirahat telah tiba, Aji seketika menoleh ke arahku sambil berkata, "Ris, ke Kantin yuk," ujarnya sambil mendorongku keluar kelas. Kami berjalan keluar kelas sambil Aji memberitahuku tentang bagian bagian dari sekolah.
"Kau sangat pendiam ya Ris,"celetuk Aji tiba tiba, aku hanya membalasnya dengan tatapan biasa. Aji pun melanjutkan jalannya sampai berhenti di sebuah kantin yang sangat besar.
"Mungkin besarnya sama seperti rumahku,"pikirku dalam hati. Aji duduk di bangku dan memesan satu porsi bakso. Aji sungguh orang yang banyak bicara dia tidak pernah berhenti bercerita kepadaku dari awal dia menyapaku hingga sampai di kantin.
"Aku sudah banyak cerita bagaimana jika kali ini giliran kau yang bercerita tentangmu, Ris,"ucap Aji sambil mengigit baksonya. Aku tersenyum dan merasa aman bersamanya. Aku pun menceritakan semua tentang ku, tentang aku dari kota lain, perpisahan dengan keluargaku dan banyak hal.
Akhirnya sudah waktunya pulang aku sebelumnya berpikir bahwa mungkin pilihan yang buruk untuk menuntut ilmu dengan pergi jauh dari keluarga tetapi kenyataanya tidak terlalu buruk. Aku mengambil sepedaku di posnya Pak Ayub.
"Sampai jumpa Pak Ayub," Aku melambaikan tangan ke Pak Ayub yang sedang berjaga di pos dan mengayuh sepedaku dengan cepat untuk pulang ke rumah. Sampai di rumah aku mulai bersih-bersih dan menyiapkan makan malamku. Sejenak aku berpikir betapa tidak enaknya makan sendiri di rumah yang sepi hanya di temani lantunan musik yang berasal dari radio.
Handphoneku seketika bergetar ku lihat notifikasi dari Aji yang ternyata diam-diam sudah mendapatkan kontakku.
"Dipikir-pikir dapat darimana dia tahu nomorku," Gumamku. Ternyata Aji mengajakku untuk bermain PS 4 di rumahnya saat hari Sabtu nanti.
Hari Sabtu yang ku tunggu akhirnya telah tiba, untung saja sekolahku libur pada hari Sabtu jadi bisa refreshing dari tugas-tugas sekolah yang sangat menumpuk. Aku mengeluarkan sepedaku dan bergegas pergi kerumah Aji, kebetulannya rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku. Aku mengayuh sepeda hingga sampai ke rumah yang begitu besar yang serba putih aku sempat berpikir apakah mungkin aku salah alamat.
"Ahmad Faris Wijaya," terdengar suara teriakan dari dalam rumah besar. Seseorang dengan rambut cepak menggunakan kaos hitam dan celana pendek itu memanggilku namaku dengan lengkap, siapa lagi kalau bukan Aji yang selalu ceria di manapun itu. Aku pun berakhir menginap di rumahnya untuk bermain dengannya.
Hari pun sudah berganti, tak di sangka sudah hampir satu semester aku bersekolah jauh dari keluargaku. Aku dan Aji sudah sangat dekat bahkan hampir setiap minggu aku bermain bersamanya hingga larut malam. Aku berangkat ke sekolah seperti biasa, menyapa Pak Ayub yang selalu tegang tanpa ekspresi. Aku lihat Aji sedang berjalan memasuki kelas juga aku pun bergegas mengejar Aji.
"Oi, Ji pulang nongkrong yuk," Ujar ku kepada Aji.
"Maaf, Ris, hari ini enggak bisa," Jawab Aji dengan pelan. Seketika aku merasa bingung Aji yang selalu ceria dan tidak pernah diam tiba-tiba berubah jadi diam, aku pikir mungkin hanya lelah setelah minggu kemarin kami habis main sampai tidak tidur sama sekali. Keesokan harinya, Aji masih sama saja diam seperti orang yang berbeda. Aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya tentang apa yang sebenarnya terjadi kepadanya sehingga ia berubah sederastis itu.
"Besok aku akan pindah ke Jakarta, Ris, ayahku mendapat pekerjaan di sana," Seketika aku terkejut.
Aku menyadari bahwa aku tidak akan bertemu dengan temanku itu lagi untuk jangka waktu yang begitu panjang. Keesokan harinya, aku mengucapkan selamat tinggal kepada temanku itu walaupun kami jauh kami tetaplah teman.
Selama Aji pergi aku merasa sendiri lagi, sama seperti pertama kali aku datang ke sekolah, tapi aku pernah teringat pesan Aji bahwa temanku bukan hanya Aji ada banyak orang yang ingin berteman dengan ku.
6. Belajar Menjadi Jujur
Hari ini menjadi penghujung minggu terakhir sebelum menghadapi pekan ujian semester yang menjadi momok bagi kalangan pelajar seperti aku. Semua temanku tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat. Yang biasanya suka keluyuran, sekarang mengurung diri di rumah; biasanya sering nongkrong di mal, sekarang rajin pergi ke tempat les; biasanya sore-sore udah duduk depan layar di warnet, sekarang duduk depan meja sambil membaca buku.
"Males ah, dekat-dekat ujian malah jadi enggak asik, enggak ada yang mau diajak main,"aku menggerutu sambil asyik memainkan gim di ponsel. Buku-buku pelajaran baru sudah disiapkan Ibu. Seperangkat alat tulis yang harganya lumayan mahal tertata rapi di atas meja belajarku.
Aku melirik ke arah tumpukan kertas soal di lantai dan bersikap acuh tak acuh. Seiring jari-jariku lincah menggerakkan karakter di gim yang kumainkan, kudengar langkah kaki Ibu menuju ke kamarku. Dengan sigap kumatikan ponsel dan kusembunyikan di bawah bantal, kemudian bergegas mengambil buku catatan seolah-olah sedang belajar.
Ibu membuka pintu seraya berkata, "Nak, Ibu ada acara di luar kota. Belajar yang benar ya," kulanjutkan permainan di ponselku setelah pintu depan tertutup. Aku benar-benar tidak ada keinginan sama sekali untuk membuka buku pelajaran yang hanya membuatku pusing. Waktu menunjukkan jam 11 malam. Kantuk menyerang kedua kantung mataku.
"Ibu belum pulang ya? Udah gelap gini ku pandang jendela kamar sembari mengeluh. Ku matikan ponsel dan segera mengambil posisi ternyaman di atas kasur untuk tidur, "Ah, belajarnya nanti sajalah. Besok mah tinggal buka hape,"
Keesokan harinya, ujian semester hari pertama pun dimulai. Di dalam kantung celanaku terselip ponsel. Setelah lembar soal dan jawaban dibagikan, aku segera meletakkan ponselku di laci meja. Ku pastikan keadaan aman, kemudian aku mulai menjawab soal.
Pengawas ujian tidak menaruh perhatian ke arah di mana aku berada, sehingga aku bisa leluasa mencari jawaban di ponsel. Semuanya berjalan aman-aman saja sampai bunyi dering panggilan masuk menggaungi seisi kelas. Spontan, seluruh temanku dan pengawas ujian melihatku dengan kaget.
"Arill Enak banget kamu nyontek. Serahkan hape-mu!" Pengawas ujian memarahiku dengan suara yang lantang dan keras untuk telingaku. Aku dikeluarkan dari kelas dan ponselku disita selama seminggu. Teman-temanku menertawaiku dan memandangku dengan wajah yang sinis.
Waktu ujian telah selesai, dan aku pulang ke rumah dengan perasaan tidak enak. "Ah sial, pake disita pula hape," Aku mengeluh, geram. Setibanya di rumah, rupanya Ibu sudah berdiri di depanku persis setelah ku buka pintu depan rumah.
"Eh Bu, kok berdiri depan pintu? Nungguin Aril ya?" Aku ngeles seakan-akan tidak terjadi apa-apa hari ini. "Enggak usah sembunyi-sembunyi sama Ibu. Sini, ikut Ibu ke kamar," Ibu menarik tanganku dan membawaku ke kamar beliau.
"Ibu tadi dapat kabar dari sekolah kalo kamu nyontek di kelas, dan katanya juga hape-mu disita pengawas, bener ya?" Ibu menanyaiku dengan tatapan tidak percaya.
"I-iya, Bu. Aril ketahuan buka hape di laci meja,"kujawab pertanyaan ibuku dengan terbata-bata. Kata-kata yang terlontar dari mulutku membuat raut wajah ibuku berubah total.
"Aduh, gawat nih... Baru hari pertama Ibu udah kek gini,"aku mengeluh cemas.
"Ril... Ibu sebenarnya udah tau kalo kamu diam-diam main hape pas Ibu lagi pergi. Buku-buku yang Ibu beli juga kamu biarin. Tumpukan kertas soal itu enggak ada satu pun yang kamu kerjakan. Tadi pagi Ibu nelpon ke hape kamu soalnya Ibu mau ngecek apa aja yang kamu lakuin selama Ibu lagi nggak ada, eh sekarang hape-nya diambil sekolah,"ibu menceramahiku dengan nada agak sedih dan miris.
"Mulai besok, Ibu akan di rumah setiap kamu pulang sekolah. Kita nanti bahas-bahas materi sama soal buat mata ujian besoknya. Karena hape kamu sekarang nggak ada, jadi lebih enak buat kamu untuk fokus belajar,"aku kaget, dalam hati tidak percaya.
"I-iya, Bu. Mulai besok Aril belajar kok... Aril mau ke kamar dulu ya Bu,"aku keluar dari kamar ibuku setelah menjawab pernyataan beliau.
"Hah... Kayaknya sudah enggak ada harapan lagi untuk bergantung sama orang nanti. Enggak ada hape, diomelin guru, diledek temen...Enggak ada pilihan lain, mungkin aku emang harus belajar," Aku membenahkan diri dan berusaha untuk menguatkan niat untuk melupakan kesalahan yang telah ku buat dan bersiap-siap untuk ujian besok.
7. Generasi Rapuh
Mitha berjalan bolak-balik di dalam kamar kecilnya. Raut wajahnya mengekspresikan perasaan takut dan gelisah. Peluhnya bercucuran. Sesekali ia mengepalkan tangannya.
"Alasan apa lagi yang harus aku katakan pada ibu?" ujarnya sambil menepuk-nepuk kecil kepalanya.
Kemudian la berjalan menuju tempat tidur dan menghempaskan tubuh mungilnya yang masih berbalut seragam SMA. Ia menarik selimut dan menghentak-hentakkan kakinya ke udara. Kacau sekali. Pemandangan ini sudah biasa terjadi. Terkadang, benda-benda di kamarnya ingin protes terhadap drama rutin ini. Syukurlah, mereka hanya benda mati yang bisu.
"Mithaa... Mitha... ayo turun untuk makan siang,"terdengar sebuah suara yang berasal dari lantai dasar rumah.
Wajah Mitha seketika berubah pucat. Bibirnya tertutup rapat, tak lagi mengeluarkan keluh kesah. Dirinya seakan tahu akan ada suatu masalah yang menghampirinya, lagi. Ia bergegas mengganti seragam sekolahnya dengan baju terusan berwarna biru muda. Kemudian langsung menuju tangga dan menyantap hidangan siang bersama ibunya.
Di meja makan, ia melihat sepiring ayam bakar yang beraroma sedap dengan kulitnya yang matang dengan sempurna. "Bagaimana nilai ulangan harianmu tadi?"
Ibu memulai pembicaraan sambil menuangkan segelas air putih untuk Mitha.
"Dua puluh," Jawab Mitha dengan singkat, padat dan suara yang lesu.
"Apa?! Dua puluh lagi?! Apa kamu tidak malu mendapat nilai rendah selalu, Mitha?"
"Ibu merasa sangat kecewa denganmu,"ujar ibu dengan nada tinggi dan langsung kembali ke kamar.
Mitha menelan ludah. Rasanya sedih sekali. Suasana makan siang yang seharusnya nyaman, berubah menjadi mencekam dan menakutkan. Hanya jika ia mendapat nilai yang jelek.
Mitha langsung naik ke lantai atas dan menuju ke kamarnya selepas makan siang yang mengerikan itu. la merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil memandangi langit-langit kamar, merenungi dosa dan kesalahannya selama ini. la sungguh merasa menyesal karena tidak pernah membahagiakan kedua orang tuanya.
Padahal, merekalah yang telah membiayai hidupnya hingga ia sebesar ini. Ia melihat ke seluruh sisi kamar dan memandangi rak-rak yang penuh dengan berbagai macam buku. Orang tuanyalah yang membelikan semua buku-buku itu. Tapi...tunggu. Lirikan matanya berhenti dan tertuju pada sebuah buku yang sangat mencolok dibandingkan yang lainnya. Mitha meraih buku itu. Buku yang using dan kusam.
"Buku ini penuh debu,"ujar Mitha sembari menyapu debu pada buku itu dengan tangannya.
Tertulis "RAPUH" di sampulnya yang merupakan judul buku tersebut. Mitha segera duduk di meja belajarnya. Penasaran akan isi buku tersebut, ia pun mulai membuka lembaran buku itu yang telah menguning karena termakan oleh usia. Mitha mulai membacanya, halaman demi halaman... lembar demi lembar...
***
Aah... Sejuknya udara desa. Mitha menarik napas panjang dan menikmati aroma udara di pedesaan. Ia berjalan. menyusuri jalan setapak yang berbatu-batu, khas pedesaan. Sesekali ia menyapa penduduk desa yang berjalan di sampingnya. Mata Mitha merasa puas melihat pemandangan sawah yang hijau dan langit yang cerah. Sesaat kemudian terdengar suara suling yang indah nan merdu. Mitha mencari-cari sumber suara itu sembari berjalan di pinggir sawah. Ternyata suara suling itu bersumber dari sebuah pondok yang berada di tengah sawah.
Bagai terhipnotis, Mitha berjalan mengikuti arah suara. la berjalan di jalanan sawah yang sempit dan licin. Kemudian, ia duduk disamping seorang Kakek yang tengah memainkan suling di atas sebuah pondok.
"Suaranya merdu sekali,"puji Mitha Sang Kakek tersenyum.
"Nada apa yang aku mainkan tadi?"tanya Kakek pada Mitha.
Mitha dengan sigap menjawab "Mi..... Sol... Fa...... Re,"sambil meniru gerakan meniup suling.
"Anak yang cerdas,"puji Kakek itu lalu kembali memainkan alat musik yang digenggamnya.
Deg... Mitha sungguh-sungguh merasa bahwa ia bukan anak yang cerdas, "Tapi saya bukan seorang yang cerdas," Mitha menyanggah pujian Kakek. Kakek berhenti, kemudian menatap Mitha dan kembali tersenyum.
"Tapi kau bisa menjawab pertanyaanku,"kakek menghela napas, Yah... setidaknya kau tidak termasuk jajaran anak-anak generasi rapuh.
"Generasi rapuh?" Tanya Mitha tak mengerti.
"Ya Rapuh akan budi pekerti dan ilmu pengetahuan,"kemudian sang Kakek banyak bercerita tentang kesehariannya di masa lampau. Kakek adalah mantan anggota veteran yang juga hobi membaca buku.
"Nak, ingatlah. Semua manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa memiliki akal dan pikiran yang harus diasah, salah satu caranya dengan membaca buku."
Kakek menepuk pundakku, kemudian melanjutkan nasihatnya, "Tidak ada namanya manusia yang tak cerdas. Kau hanya harus melawan egomu. Hiduplah dengan penuh semangat dan jangan mau menjadi generasi rapuh," Kakek memandang langit dan melihat kearahku.
"Aku tak tahu kapan masa itu akan tiba. Jadi, kutitipkan negeri ini padamu. Jagalah dengan sebaik-baiknya,"
Mitha perlahan membuka matanya. Ia melirik jam kecil yang terletak di atas meja belajarnya. Sudah pukul 6 tepat. Kepalanya masih terasa pusing sekali. Tangannya masih menggenggam buku itu, tepat di halaman terakhir. Ia membaca secarik tulisan yang tertulis di halaman paling terakhir. "Kalahkan malasmu,"
"Kreeet.." pintu kamarnya terbuka. Ibu datang dengan membawa setangkup roti bakar berlapis selai coklat dan segelas susu beraroma vanilla, kesukaannya.
"Makanlah," Ucap Ibu seraya mengelus rambutnya. Mata Mitha berkaca-kaca. la segera memeluk Ibunya dan meminta maaf. "Sudahlah," Ibu membalas pelukan Mitha dengan sebuah kecupan di keningnya. Kemudian Ibu tersenyum pada Mitha dan keluar dari kamar. Senyuman yang hangat, sehangat mentari pagi..
Otak Mitha masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti nyata. Seorang Kakek pemain suling tadi benar-benar telah menamparnya lewat kata-kata yang ia ucapkan. Mendongkrak semangatnya untuk senantiasa tak lepas dari buku dan terus belajar. Karena suatu saat, ia ingin menjadi orang yang berguna bagi negeri ini.
Ia tak ingin menjadi pencetus utama atau menjadi salah satu anggota dari Generasi Rapuh. Generasi yang rapuh akan budi pekerti, rapuh akan ilmu pengetahuan. Sehingga menjadi generasi yang mudah dihancurkan. Terima kasih Tuhan, telah menegurku lewat mimpi. "Terima kasih, Kakek."
Contoh cerita pendek menarik: Kejutan Akhir Tahun
"Kaka, Dede ayo mandi ini udah siang," Kataku sambil sedikit teriak karena memang kedua anak ini terlalu aktif dan sulit untuk mandi, ada saja alasannya. Akhirnya dengan berbagai bujuk rayuan aku berhasil memandikan mereka. Rutinitas memakai baju pun tak kalah serunya. Mereka saling berebut untuk jadi yang pertama untuk pakai baju. Dan benar saja adu tangis dimulai, dengan cekatan aku memakaikan baju kepada mereka hingga selesai dengan cepat. Lalu kusuapi mereka. Sore hari terlihat Wawa pulang dari rutinitasnya bekerja. Namun ada yang lain dari tubuhnya. Dan terdengar dia mulai batuk-batuk. Saya udah was-was. Duuh semoga bukan yang didugakan oleh ku.
"Kamu sakit, Wa? Periksa sana ke dokter, terus pakai sih maskernya, ada anak-anak," Kataku khawatir.
"Engga apa-apa," Jawab Wawa.
Malamnya pun Wawa demam, aku yang sudah punya feeling ga enak, langsung berkonsulatsi dengan suami dan mertua untuk menitipkan anak-anak. Keesokan harinya anak-anak sudah mengungsi di rumah mertua. Hari berikutnya, tubuh saya mengigil kedinginan. Ibu, Bapak, Adik dan Wawa pun mengalami gejala sama. Kami memutuskan isolasi mandiri dan meminum vitamin yang dibeli secara individu. Karena gejalanya semakin parah. Setelah seharian mengigil, esoknya hidung dan lidah kami secara mendadak tak bisa merasakan apa-apa. Benar-benar tak bisa mencium bau apa-apa, aku yang parno mengambil minyak kayuputih dan menghirupnya kuat-kuat. Astaghfirullah, tidak tercium apa-apa. Akhirnya aku ambil minyak gandapura yang kutahu itu minyak panas dan baunya menyengat. Ku oles di hidungku. Astagfirullah, tidak tercium apa-apa. Deg, hatiku seperti terhantam palu yang sangat besar. Karena lemas aku masuk kamar dan memutuskan untuk istirahat.
Malam harinya kupikir penyakit ini hanya sampai disitu ternyata tidak fulgoso. Malam harinya kepalaku sakit antara perih dan nyeri di seluruh bagian kepala. Aku tak bisa tidur hanya bisa zikir dan istighfar hingga aku tertidur menjelang subuh, selalu begitu selama 5 hari berturut-turut. Kami sekeluarga memutuskan untuk swab, meskipun sudah yakin bakal positif namun hanya utuk lebih pasti. Bapak, Ibu, dan adik swab mandiri di Rumah Sakit khusus pensiun tempat Bapak bekerja dulu. Aku dan Wawa memtuskan untuk swab di Puskesmas aja karena biayanya spektakuler, saya pikir daftar aja difasilitas pemerintah. Akhirnya hasil keluar dan kami sekeluarga dinyatakan positif, Hebohlah sejagat raya, padahal kami yang penderita santai-santai saja dan tetap melakukan protokol kesehatan di rumah.
Namun, banyaknya ocehan miring yang membuat info yang tidak benar membuat pikiran kami sedikit terganggu. Padahal itu tidak boleh akan mempengaruhi imunitas tubuh. Kami tetap sabar dan istighfar saja. Kami rutin mengonsumsi vitamin yang dianjurkan. Sebenarnya bukan obat tetapi vitamin. Vitamin C, vitamin D , dan zinc. Bila ada penyakit bawaan itu yang patut diwaspadai.
Tanda-tanda sembuh sudah terlihat, Alhamdulilah. Aku dan keluarga juga sudah tidak ada gejala-gejala penyakit itu lagi. Akhirnya minggu terkahir bulan ini aku dan keluarga dijadwalkan untuk tes swab. Jantungku serasa berdegub tak tenang, banyak pikiran terlintas. Kalau tetap positif bagaimana, ya Allah lindungi keluarga hamba. Tiba harinya aku dan keluarga swab. Dengan protokol kesehatan yang ketat aku melakukan tes tersebut. Setelah selesai pun langsung pulang tidak ada niatan sedikit pun mampir-mampir. Esok hari handphone ibu dan pihak rumah sakit memberitahukan bahwa hasil swab sudah keluar. Akhirnya ibu dan adiku pergi ke rumah sakit untuk mengambil hasil. Sekembalinya ibu dari rumah sakit memberitahukan hasilnya. Alhamdulilah, Allahuma sholi 'ala Muhammad. Hasilnya negatif. Aku dan keluarga sudah bebas sekarang dan tetap harus menjalankan protokol kesehatan bila diluar rumah. Musibah ini merupakan kejutan akhir tahun yang tak terduga.
8. Aku Pergi ke Penjara Suci
Cahaya berubah jadi gelap..... Hangat berubah jadi dingin......
Sama hal nya dengan kehidupan, manusia juga bisa berubah dengan mengikuti alurnya. Jika ditentang akan terasa sakit, dan apabila kau mengikuti rasanya tak akan rela. Begitulah kehidupan, sama seperti Hasna, yang selalu mendapatkan kejutan dari Allah tentang buku kisahnya.
Hasna adalah seorang gadis sulung dari keluarga yang sederhana. Kehidupan keluarganya tidak hanya tentang kebahagiaan, terutama dia sebagai anak perempuan dalam keluarga.
Pagi itu Hasna terbangun dengan kaget, "Hasna.... Hasna.... bangun!!" ibunya memanggil dengan lantang.
Hasna terkaget dan langsung membangunkan diri,"Iya bu, aku sudah bangun" sahutnya sambil terburu-buru menuju kamar mandi.
Pagi itu Hasna akan meninggalkan rumah yang selama ini dia tempati bersama keluarganya. Dia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya di sebuah pondok pesantren salaf. Di mana sebelumnya dia harus bertentangan dengan kedua orang tua nya dalam menentukan sekolah yang akan dia tempuh.
"Kamu harus lanjutkan sekolahmu di pesantren ya nak,"ujar ayah Hasna kepadanya.
"Aku enggak mau yah, aku mau sekolah bersama teman-temanku di sini,"jawab Hasna kepada ayahnya.
"Kalau kamu tidak mau di pesantren, tidak usah lanjutkan sekolah lagi,"tambah ibunya memaksa hasna.
"Kamu mau jadi apa jika belajar disini? Mau bergaul bebas?"ucap ayahnya meyakinkan Hasna.
"Tapi kan yah, kalau di pesantren aku terasa dikurung dan pendidikannya masih terlalu kolot. Aku enggak bisa mengembangkan bakatku, yah," Jawab Hasna semakin menolak.
"Siapa bilang di pesantren kolot? Kamu bisa ngembangin bakatmu selagi kamu bisa mengatur waktu dan manfaatin sebaik mungkin," Ayah Hasna semakin meyakinkan.
"Ibu yakin jika kamu di pesantren, kamu bisa jadi orang yang sukses dan paham agama," Ibu Hasna ikut meyakinkan Hasna.
"Tuh, ibu aja dukung sekali kalau kamu lanjut ke pesantren, kami ingin yang terbaik untukmu Hasna. Jika kamu beranggapan kalau pesantren itu monoton, ubah pandangan itu dibenak kamu. Kamu harus jadi apa yang kamu ingin di tempat yang kami harapkan," Nasehat ayah untuk Hasna.
Akhirnya Hasna meminta kepada ayahnya untuk diberikan waktu untuk memikirkannya. Selang beberapa hari dari kejadian malam itu, Hasna akhirnya memberikan keputusannya untuk melanjutkan sekolah kemana.
Dan dia memilih untuk menuruti keinginan kedua orang tua nya agar melanjutkan di pesantren. Ayah Hasna pun sudah menetapkan tanggal untuk kepergiannya di minggu depan. Hasna pun diminta untuk menyiapkan segala hal yang diperlukan di pesantrennya nanti bersama ibu nya.
"Hasna... Ayo mandinya jangan lama-lama,"tegur ibu nya ke Hasna.
"iya bu, bentar lagi selesai,"jawab Hasna Setelah bersiap-siap, Hasna keluar dari kamarnya, "Gimana bu penampilanku?"tanya hasna.
"Kamu cantik sekali memakai jilbab itu, seperti para santriwati,"jawab ibunya sambil tersenyum.
"Aku malu bu, sepertinya salah cara pakaiannya deh,"keluh Hasna ke ibunya.
Ibu Hasna tersenyum-senyum sambil merayu Hasna, "Engga kok, sudah bener dan cantik lagi, nanti kalau sudah di pesantren makin cantik dalam memakai jilbab nya na, karena terbiasa,"
Hasna menjawab penyataan ibunya dengan senyum tersipu malu.
Hasna dan keluarganya berangkat menuju pesantren untuk mendaftar sebagai siswa di sekolah Madrasah Aliyah dan santri di pesantren. Selain Hasna menjadi santri, ia pun harus bisa menjadi siswa yang baik di sekolah nanti.
Setibanya di pesantren, Hasna merasa belum bisa berpisah dengan keluarganya, saat keluarga akan pulang setelah mengatarnya. Tapi dia yakinkan lagi hatinya, Hasna harus belajar ikhlas dan rela untuk berada jauh dari keluarga demi kebahagian orang tuanya.
Contoh cerita pendek pengalaman pribadi: Libur Sekolah di Rumah Saja
Liburan akhir semester kali ini, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saja bersama keluarga tersayang.
Meski hanya di rumah dan tidak bepergian jauh, ada banyak sekali kegiatan seru yang dilakukan bersama ayah, ibu, kakak, dan adik kecilku.
Di pagi hari, aku selalu semangat bangun pagi untuk rutinitas olahraga bersama keluarga. Selesai olahraga, ibu mengajak aku, kakak dan adik ke pasar bersama dan suasana di sana sangat seru.
Aku senang bisa membantu ibu ke pasar dan ikut memilih bahan-bahan makanan untuk menu masakan di rumah.
Setibanya di rumah aku melanjutkan kegiatan lain seperti mandi, makan, memberi makan ikan-ikan dan burung peliharaan, menonton serial tv kesukaan, sampai bermain dengan adik kecilku.
Di akhir pekan saat ayah libur kerja, kami sekeluarga menghabiskan waktu dengan barbekyu bersama di halaman belakang rumah. Itulah kegiatanku selama mengisi liburan sekolah. Meski biasa-biasa saja karena tidak pergi ke mana-mana, tapi semua kegiatan itu tidak membuat aku bosan.
9. Libur Semester di Rumah Nenek
Liburan akhir semester sekolahku berlangsung selama dua pekan. Selama liburan itu, aku bersama ayah dan ibu memutuskan untuk berkunjung ke rumah nenek di Bandung.
Hari pertama setelah tiba di Bandung, aku dan keluarga menghabiskan waktu untuk berkumpul bersama keluarga besar di rumah nenek.
Nenek senang sekali karena rumahnya jadi ramai kedatangan cucu-cucunya yang libur sekolah. Aku dan saudara-saudara lain pun bisa menginap dan bermain bersama.
Besok harinya, aku dan sepupu-sepupu lain mulai bermain bersama di halaman belakang rumah nenek. Di sana kami bisa mancing ikan ditemani paman serta menanam bunga bersama bibi.
Kegiatan aku dan para sepupu di rumah nenek juga cukup banyak. Kami bisa pergi ke ladang kakek, lalu bermain di sawah, sampai makan bersama di saung.
Dua minggu liburan di rumah kakek nenek selalu berkesan untuk aku. Selain bertemu kakek nenek, aku juga bisa bertemu sepupu lain dan menghabiskan waktu bersama-sama.
Bunda, itulah beberapa contoh cerpen pengalaman pribadi yang bisa Bunda baca bersama Si Kecil. Semoga cerpen tersebut dapat memberikan hiburan dan pelajaran berharga untuk Si Kecil ya, Bunda.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(rap/rap)Simak video di bawah ini, Bun:
5 Lomba yang Bisa Diikuti Anak Sejak Kecil Serta Manfaatnya
TOPIK TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT
5 Cerpen Bahasa Madura Beragam Tema Penuh Makna, Mengenal Budaya dengan Cara Seru!
15 Contoh Cerpen Pendidikan Berbagai Tema Menarik Penuh Motivasi dan Pesan Moral
14 Cerita Pendek Tentang Kehidupan, Pendidikan & Keluarga Menyentuh Hati
Yuk Belajar Menulis Sendiri Cerpen untuk Si Kecil, Mudah kok Bun
TERPOPULER
Rini Yulianti & Suami Boyong Anak Pindah ke Australia, Intip 5 Potret Pamit ke Keluarga
3 Posisi Bayi 9 Bulan untuk Menentukan Persalinan yang Aman
Transmart Full Day Sale Hadir lagi! Besok Ada Diskon Besar 50%+20%
Sunat untuk Anak Perempuan: Anjuran Larangan & Bahaya Medisnya
120 Nama Bayi Terinspirasi dari Gunung di Dunia, Rinjani Jadi Favorit
REKOMENDASI PRODUK
10 Rekomendasi Sikat Gigi Anak, Bulu Aman dan Lembut
ZAHARA ARRAHMAREKOMENDASI PRODUK
7 Pilihan Kotak Bekal Anak, Temukan yang Pas untuk Si Kecil
PritadanesREKOMENDASI PRODUK
10 Rekomendasi Face Mist Terbaik untuk Lembapkan Kulit Wajah
Amira SalsabilaREKOMENDASI PRODUK
5 Pilihan Tas Sekolah Anak TK-SD yang Bagus hingga Awet, Bisa Buat Perempuan & Laki-laki
Firli NabilaREKOMENDASI PRODUK
10 Rekomendasi Cleansing Oil untuk Semua Jenis Kulit dari Berminyak dan Berjerawat
Amira SalsabilaTERBARU DARI HAIBUNDA
Bukan Singkatan, Ternyata Ini Kepanjangan Lambang 'S' di Baju Superman Bun!
Komik Bunda: Sunat Itu Apa Sih, Bun?
3 Posisi Bayi 9 Bulan untuk Menentukan Persalinan yang Aman
Naura Ayu Ulang Tahun Ke-20, Nola B3 Ungkap Haru & Kenang Lagu Duet 7 Tahun Lalu
Hobi Minum Manis, Perempuan Ini Jalani Operasi 300 Batu Ginjal
FOTO
VIDEO
DETIK NETWORK
-
Insertlive
Sering Dibilang Cowok Gemoy, Verrell Bramasta: Apa Iya?
-
Beautynesia
Pecinta Film Merapat! Deretan Film Blockbuster Juli 2025 Siap Guncang Layar Lebar
-
CXO
GOT7 Rilis Album Baru, Persiapan Harus Lewat Video Call Karena Hal Ini
-
Wolipop
Ramalan Zodiak 5 Juli: Gemini Peluang Masih Terbuka, Aries Tetap Tenang
-
Mommies Daily
Rekomendasi Penginapan Harga Bersahabat di Jawa Tengah. Cocok Buat Keluarga Besar.