Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

7 Tanda Anak Terlalu Kompetitif & Cara Mengatasinya, Bunda Perlu Tahu

Nadhifa Fitrina   |   HaiBunda

Senin, 04 Aug 2025 15:02 WIB

ibu dan anak
Ilustrasi anak yang terlalu kompetitif/Foto: Getty Images/Krisada tepkulmanont
Daftar Isi
Jakarta -

Tak jarang persaingan dianggap sebagai bahan bakar semangat anak untuk berprestasi. Namun, ketika setiap permainan berubah menjadi ajang perebutan kemenangan atau kekalahan bisa terasa begitu menyakitkan.

Beberapa anak terlihat gigih ingin jadi yang terbaik, tapi terkadang itu bukan lagi soal kesenangan, melainkan tekanan untuk menang. Ketika rasa takut gagal mulai menguasai mereka, persaingan yang seharusnya menyenangkan justru terasa membebani.

Dampaknya, Si Kecil bisa kehilangan keberanian mencoba hal baru dan mulai mengaitkan harga dirinya hanya pada hasil yang diraih. Jika dibiarkan, sikap ini dapat memengaruhi cara mereka dalam belajar.

"Ketika harga diri seseorang mulai bergantung pada kemenangan, prestasi, atau keberhasilan mengalahkan orang lain, saat itulah kita perlu memperhatikannya dengan serius," kata psikiater di Kaiser Permanente, Maryland, Christina Lee, MD, mengutip dari Parents, Jumat (01/08/2025).

Mengenali dan mengarahkan sifat kompetitif anak

Sifat kompetitif pada anak sering muncul secara terang-terangan. Penting bagi orang tua untuk memahami perilaku ini agar bisa mengarahkannya menjadi dorongan positif, bukan tekanan yang merugikan.

Menurut profesor dan direktur CMHC/SC/TR Cert, Programs di Lebanon Valley College, Cynthia Vejar, PhD, LPC, LSC/PPS, NCC, sifat kompetitif pada anak umumnya terlihat jelas. Mereka belum memiliki kemampuan menyembunyikan persaingan seperti yang biasa dilakukan orang dewasa.

"Orang dewasa bisa sama atau bahkan lebih kompetitif, tetapi sering menyamarkannya dengan perilaku halus, komentar pasif, atau strategi sosial tertentu. Sebaliknya, anak-anak lebih sering menunjukkan persaingan secara terang-terangan, seperti menyombongkan diri, mengejek, atau bereaksi emosional berlebihan saat kalah," jelas Vejar.

Hal ini karena anak masih belajar mengendalikan emosinya, sehingga reaksi mereka terlihat jelas. Maka itu, Bunda perlu mengajarkan pada Si Kecil bagaimana cara menerima kemenangan dan kekalahan agar dapat tumbuh dengan sifat empati.

Dampak buruk persaingan berlebih pada perkembangan anak

Persaingan yang terlalu intens dapat merampas kebahagiaan anak dan memicu masalah serius pada kesehatan mentalnya. Persaingan dalam batas sehat bisa membantu anak berkembang dan berprestasi.

Namun, jika berlebihan, tekanan ini justru menimbulkan stres kronis, hingga kebohongan demi terlihat menang. Bahkan, menurut American Academy of Pediatrics, 70 persen anak berhenti mengikuti olahraga terorganisir pada usia 13 tahun karena tekanan performa yang berlebihan.

Kepala divisi psikologi di Phoenix Children's, Carla Allan, PhD mengatakan anak bisa kehilangan nilai diri di luar prestasi yang mereka raih. Ada yang menarik diri atau meluapkan kemarahan berlebih pada orang sekitar hingga mengganggu kualitas hidupnya.

Jika dibiarkan, perilaku ini dapat berkembang lebih buruk. Beberapa anak bahkan tergoda untuk berbuat curang atau menggunakan obat peningkat performa demi menjadi pemenang.

Tanda-tanda anak terlalu kompetitif

Anak dekorasi cupcakeIlustrasi/Foto: Getty Images/Pruksachat Lapvilai

Dikutip dari laman Parents, anak yang terlalu kompetitif cenderung enggan mencoba hal baru karena takut gagal. Mereka sering menarik diri, bereaksi berlebihan saat kalah, dan sulit bangkit dari kegagalan.

1. Sering membandingkan diri dengan teman sebaya

Anak kerap melihat pencapaian orang lain dan merasa dirinya tertinggal. Bunda, kebiasaan ini perlahan mengikis rasa percaya dirinya dan membuatnya sulit menghargai keberhasilan yang dimiliki.

Terkadang, anak jadi terjebak dalam perasaan iri atau tidak puas dengan dirinya sendiri. Jika dibiarkan, hal ini bisa memengaruhi cara mereka bersosialisasi dan membangun hubungan dengan teman sebaya.

2. Takut gagal atau merasa tidak cukup baik

Rasa takut gagal membuat anak ragu mengambil langkah baru dan memilih zona nyaman. Bunda, kondisi ini tentu bisa menghambat perkembangan dan pengalaman berharga Si Kecil yang seharusnya mereka dapatkan.

Anak mungkin lebih memilih mundur daripada menghadapi risiko kekalahan. Padahal, setiap kegagalan bisa menjadi pelajaran penting untuk membangun keberanian dan ketangguhan mentalnya.

3. Meluapkan emosi setelah kalah atau mendapat nilai buruk

Reaksi berlebihan seperti marah atau menangis kerap muncul saat hasil tak sesuai harapan. Bunda, hal ini menandakan adanya tekanan kuat yang dirasakan anak dari persaingan.

Jika tidak diajarkan cara mengelola emosi, anak bisa tumbuh dengan rasa takut menghadapi kegagalan. Kondisi ini juga berpotensi menurunkan motivasinya untuk mencoba kembali, Bunda. 

4. Menghindari kompetisi atau acara olahraga

Beberapa anak memilih menjauh dari perlombaan karena takut kalah, Bunda. Hal ini bukan berarti mereka tidak berbakat, tetapi rasa takut gagal terlalu menguasai pikirannya.

Ketika rasa takut ini semakin besar, anak bisa kehilangan banyak kesempatan berharga. Mereka pun jadi sulit mengembangkan keterampilan baru dan rasa percaya diri.

5. Suka menyombongkan diri atau merendahkan orang lain

Anak yang ingin selalu terlihat unggul kadang menggunakan cara yang salah, seperti menyombongkan diri. Sikap ini bisa menimbulkan jarak dengan teman-temannya dan merusak hubungan sosial.

Terkadang, mereka merendahkan orang lain demi merasa lebih baik dari yang lain. Jika tidak diarahkan, kebiasaan ini dapat membentuk sifat egois dan sulit berempati pada orang lain.

6. Perfeksionis dan menetapkan ekspektasi tidak realistis

Keinginan untuk selalu sempurna membuat anak menekan dirinya berlebihan. Bunda, mereka bisa mudah kecewa saat hasil yang diraih tidak sesuai dengan standar tinggi yang dibuatnya sendiri.

Perfeksionisme ini juga bisa membuat anak takut mencoba hal baru karena khawatir tidak sempurna. Dan lambat laun, hal ini bisa menghambat perkembangan kreativitas dan rasa percaya diri mereka.

7. Selalu tertekan untuk tampil sempurna

Anak yang merasa harus selalu jadi yang terbaik sering hidup dalam kecemasan. Bunda, tekanan ini dapat membuat mereka sulit untuk menikmati proses belajar dan bermainnya.

Meski sudah berusaha keras, Si Kecil akan tetap merasa tidak cukup baik. Jika tidak mendapat dukungan dan bimbingan, kondisi ini bisa berdampak buruk pada kebahagiaan dan kesehatan mentalnya.

Cara orang tua mengatasi sikap terlalu kompetitif pada anak

Gaya Parenting Otoritatif vs Otoriter untuk Anak, Apa Perbedaannya?Ilustrasi/Foto: Getty Images/Jiyi

Berikut cara yang bisa Bunda dan Ayah lakukan untuk mengatasi sikap terlalu kompetitif pada anak seperti dilansir berbagai sumber:

1. Pujilah usaha anak, bukan hasil akhirnya

Fokuslah pada kerja keras anak, bukan hanya kemenangan yang mereka raih. Anak yang dipuji karena usaha akan lebih tangguh dan mampu bangkit dari kegagalan, serta belajar mengatasi kekecewaan.

Dengan begitu, anak merasa dihargai karena proses yang mereka jalani. Hal ini akan membentuk rasa percaya diri mereka dan keberanian untuk terus mencoba hal-hal baru.

2. Variasikan aktivitas anak

Memberikan berbagai pilihan kegiatan bisa membantu anak menemukan apa yang benar-benar disukai, Bunda. Langkah ini juga mengajarkan mereka kerja sama dan menekan dorongan untuk hanya fokus pada kemenangan.

Jika anak tidak dipaksa menekuni satu bidang terlalu dini, mereka bisa bereksplorasi tanpa tekanan berlebihan. Variasi aktivitas juga membantu anak belajar bahwa kesenangan dan pengalaman lebih berharga daripada menjadi juara semata.

3. Tunjukkan sikap sehat terhadap persaingan

Orang tua memiliki peran penting sebagai panutan. Bunda bisa merayakan prestasi anak, tetapi tetap mengingatkan, bahwa nilai diri mereka tidak ditentukan oleh kemenangan semata.

Tak hanya itu, Bunda juga bisa mengajarkan anak untuk beristirahat cukup agar terhindar dari kelelahan mental dan fisik. Sikap sehat terhadap persaingan ini membantu anak menikmati setiap proses tanpa beban berlebih.

4. Ubah makna sukses bagi anak

Sukses tidak selalu berarti menang atau mengalahkan orang lain. Bunda bisa mengajarkan anak bahwa sukses juga berarti berani mencoba meski bisa saja bepeluang untuk gagal.

Pengertian ini dapat membantu anak menilai dirinya secara positif tanpa harus selalu membandingkan diri dengan orang lain. Dengan begitu, anak dapat lebih percaya diri dan menikmati pengalaman belajarnya.

5. Ingatkan bahwa bersenang-senang adalah tujuan utama

Direktur Eksekutif Program Pendidikan Anak Usia Dini di Pacific Oaks College, Judy Krause, EdD, menyarankan agar orang tua fokus pada usaha anak dan mengajarkan cara menerima kekalahan. Si Kecil juga menekankan pentingnya kerja sama tim dan membuat persaingan terasa menyenangkan.

"Alih-alih menekankan kemenangan, fokuslah pada usaha dan penerimaan saat kalah. Arahkan perhatian pada kerja sama tim dan ajak anak berdiskusi tentang perasaan mereka. Anak mencari dukungan dari orang tua; tunjukkan bahwa bersaing bisa menyenangkan," ujarnya.

Pastikan anak tetap merasakan kesenangan dari aktivitas yang diikuti. Dengan menempatkan kebahagiaan sebagai prioritasnya, Si Kecil bisa menikmati proses tanpa terbebani tuntutan untuk menjadi juara ya, Bunda.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(ndf/fir)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda