Jakarta -
Orang tua mana sih yang nggak ingin anaknya tumbuh jadi anak yang baik seperti yang diharapkan. Untuk itu, kita pun melakukan berbagai cara untuk mendisiplinkan anak. Sayangnya, kita sering melakukan kesalahan yang tidak kita sadari.
Ya, kita mungkin pernah melakukan kesalahan dalam pengasuhan anak. Ini bisa jadi imbas dari pola asuh yang kita terima di masa lalu, tapi bisa juga karena kita terbawa emosi atau terbawa lingkungan, sehingga melakukan kesalahan dalam mendisiplinkan anak.
Nah, berikut ini berbagai kesalahan yang tanpa kita sadari sering kita lakukan dalam mendisiplinkan anak, seperti dikutip dari berbagai sumber.
 Kesalahaan mendisiplinkan anak/ Foto: Thinkstock |
1. Memperlakukan Anak Seperti Orang DewasaSering kali kita memperlakukan anak seperti orang dewasa. Kita berbicara dengan mereka seperti berbicara dengan orang dewasa, apalagi saat anak melakukan kesalahan.
Orang dewasa tentu tahu bagaimana harus berperilaku dengan tepat dan menghafal peraturan, bahkan peraturan yang tak terucapkan. Dengan kita memperlakukan anak seperti orang dewasa saat mereka melakukan kesalahan, kita berarti tidak berusaha memahami anak mengapa mereka melakukan kesalahannya.
Cara terbaik adalah menjawab rasa frustrasi anak dengan memberikan penjelasan yang masuk akal. Demikian saran dari Margaret Puckette, seorang coach untuk orang tua, remaja, dan anak yang memiliki perilaku bermasalah dan kecanduan, dikutip dari Hitchedmag.
2. MenyindirDalam beberapa kasus, kita mungkin sering menyindir anak saat mereka melakukan kesalahan. Sindiran ini kita sampaikan berulang-ulang dengan maksud mereka memahami bahwa mereka telah melakukan kesalahan. Sindiran ini juga bertujuan agar mereka ingat bahwa kesalahan itu jangan sampai dilakukan di masa mendatang.
Menyindir bukanlah cara yang baik untuk mendisiplinkan anak. Kalau anak memang melakukan kesalahan, kita bisa menunjukkan perasaan kita seperti frustasi, marah atau stres melalui nada suara. Selanjutnya sampaikan pada anak bahwa perilaku anak tidak baik, sampaikan juga kemungkinan konsekuensinya ya, Bun.
3. Menganggap Anak Tidak Memiliki Alasan dalam BerperilakuSetiap orang punya alasan saat melakukan perilaku tertentu, tak terkecuali anak-anak. Jadi ketika mereka melakukan kesalahan, kita jangan tergoda untuk langsung memarahi dan menyalahkan mereka habis-habisan ya, Bun.
Atas perbuatan mereka yang kita anggap salah, kita bisa saja menyampaikan ekspresi tidak suka, tapi jangan sampai membuat kita marah membabi buta. Yuk, coba kita tanyakan baik-baik kepada anak, apa alasan mereka melakukan perilaku tersebut. Kita bisa sampaikan bahwa apa yang dilakukan anak tidak baik, lantas bisa kita tanyakan pada mereka alternatif apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal yang membuat mereka tidak nyaman tersebut.
Kita bisa bantu anak-anak untuk mencari jalan keluarnya apabila mereka bingung harus berbuat apa. Kadang anak butuh bantuan saat berperilaku buruk, jadi jangan sampai kita 'meninggalkan' mereka dalam kebingungan dan tanpa dukungan.
4. Tidak Konsisten Menerapkan AturanHari ini kita bilang anak nggak boleh nonton televisi di malam hari, tapi nyatanya kita sendiri malah menonton TV di malam hari. Atau nih, hari ini anak boleh nonton TV di malam hari, padahal itu jam belajar mereka, sementara keesokan malamnya anak nggak boleh melakukan hal yang sama.
Tidak konsisten dalam menegakkan peraturan ini bikin anak bingung. Mereka akan bertanya-tanya sebenarnya aturan sebenarnya seperti apa. Selain itu akan tertanam dalam benak mereka bahwa aturan itu longgar, sehingga bisa kok tidak ditaati. Alhasil gagal deh dalam mendisiplinkan anak.
Margaret Puckette menyarankan jangan membuat peraturan dengan hanya menegakkannya sesekali saja, atau konsekuensinya datang lebih lambat dari perilaku menyimpangnya.
5. Berharap Anak Selalu Bisa Berbuat Tepat"Ya ampun kamu nih, masa kaya gini aja harus bunda kasih tahu melulu sih." Pernah mendengar atau mengucapkan kalimat seperti ini kepada anak dengan nada sinis?
Ya, kadang kita berharap terlalu banyak pada anak. Kadang kita berharap anak sudah tahu apa yang harus dilakukan tanpa kita kasih tahu. Sehingga ketika kita tahu mereka melakukan kesalahan, kita tuh nggak terima.
Menurut kita, anak tiga tahun seharusnya bisa menaruh piring kotornya di tempat cuci piring. Tapi ketika mereka lupa melakukannya, lalu piring yang masih ada kuahnya itu tertendang sehingga mengotori lantai, kita jadi marah. Padahal ini bukan pendisiplinan yang tepat juga.
Kita memang perlu mengingatkan anak berulang kali. Kita perlu kasih tahu juga ke anak kenapa kita menetapkan suatu peraturan. Biasanya anak usia tiga tahun sudah bisa kita beri tahu soal ini.
6. Berharap Anak Menggunakan Logika yang Sama dengan Orang TuaGelas berisi air hendaknya tidak ditaruh sembarangan di lantai, karena rentan tertendang sehingga airnya tumpah ke mana-mana. Idealnya demikian. Begitulah logika kita berkata. Tapi anak terkadang memiliki pendekatan yang berbeda.
Misal nih, mereka sengaja menaruh gelasnya di lantai, agar mereka lebih mudah minum kembali di sela-sela waktu mainnya. Atau untuk anak yang lebih kecil, kadang mereka memang lupa kalau gelas harus ditaruh di meja.
Untuk mendisiplinkan mereka, sebenarnya cukup ingatkan saja Bun, untuk meletakkan gelasnya di meja.
7. Melabeli atau Mempermalukan AnakKadang ada orang tua yang sengaja mempermalukan anak di depan teman-temannya atau di depan orang lain untuk menimbulkan efek jera atau untuk mendisiplinkan anak. Misalnya agar anak rajin belajar, kita malah bilang, "Si A ini memang malas anaknya. Kemarin saja nilainya tiga semua,".
Waduh, dengan melabeli si kecil dengan hal negatif, tanpa disadari dia akan belajar membentuk dirinya dengan label tersebut. "Label sering kali susah dibuang atau susah diganti. Kebanyakan merupakan pengalaman dari masa kecil, di mana mulai saat kecil, label itu diberikan. Karena hidup dengan label, tanpa disadari sesuatu itu melekat dengan diri kita sampai dewasa," kata psikolog klinis dewasa dari Personal Growth, Veronica Adesla, M.Psi. Psikolog, dikutip dari detikHealth.
Kadang kita juga tergoda nih untuk menghakimi anak dan membuat mereka jadi down. Meskipun niat kita baik, untuk membuat mereka disiplin, tapi ini malah nggak efektif. Contohnya dengan mengambil kalimat kesimpulan sebagai berikut: "Kamu akan melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginanmu," atau "Kamu bohong," atau "Kamu sengaja tidak mendengarkan," "Mama sudah bosan dengan keegoisanmu...".
8. Membuat Anak Bertanggung Jawab Atas Perasaan Orang TuaTanpa disadari orang tua sering meminta anaknya mengerti perasaan orang tuanya, tapi kita justru lupa memperhatikan perasaan anak. Alhasil tanpa disadari kita membuat anak bertanggung jawab atas perasaan kita.
Misalnya nih, jika kita kehilangan ketenangan karena stres sehingga marah karena sesuatu yang anak lakukan, jangan bersikeras agar anak meminta maaf telah membuat kita marah hanya karena kesalahannya.
Contoh lainnya nih, kita malu saat anak mengompol di depan keluarga besar, lalu kita malah memarahi si kecil. Padahal kalau anak masih belajar pipis di toilet, terkadang masih lupa juga. Dengan memarahinya di depan orang lain, anak akan makin malu, sehingga bisa meruntuhkan rasa percaya dirinya.
Sebaliknya, kalau kita kelepasan melakukan kesalahan, tunjukkan pada anak anak kita bertanggung jawab atas kesalahan itu. Tunjukkan kita berjiwa besar mengakui kesalahan dan minta maaf serta berjanji tidak mengulanginya lagi. Hal ini bisa menjadi teladan yang baik untuk anak. Kita harus ingat Bun 'children see, children do'.
Seorang anak yang keras kepala dan temperamental mungkin dibentuk lingkungan tempatnya dibesarkan. Tetapi ternyata sifat orang tua juga dapat mempengaruhi kepribadian anak.
Arthur Robin, Direktur Pelatihan Psikologi di Children's Hospital of Michigan di Detroit menjelaskan kadang-kadang masalah berakar pada sikap temperamental orang tua, bukan anak. Jika orang tua sangat moody, anak akan cenderung mudah marah, ketakutan dan mengembangkan sikap yang tertutup karena pengaruh sikap ekstrem orang tuanya.
Orangtua yang sedang penat, kesal, dan marah terkadang melampiaskannya ke anak. Psikolog anak dan keluarga dari Poin Clinician, Astrid W.E.N, MPsi, Psikolog menjelaskan pada dasarnya kekerasan merupakan penyalahgunaan kekuasaan. Seharusnya pihak yang 'kuat' melindungi pihak yang 'lemah'. Namun, pihak yang kuat menindas, melakukan kekerasan, atau memanfaatkan pihak yang lemah.
"Jadi dia (si ibu) menganggap anak sebagai pihak yang lemah, dan dia berkuasa atas anak ini, kemudian mungkin ada satu peristiwa yang mencetuskan akhirnya dia melakukan kekerasan terhadap anak," terang Astrid, seperti dikutip dari detikHealth.
(Nurvita Indarini)