Jakarta -
Sebagai orang tua, tentu kita berharap si kecil tumbuh sebagai anak dengan segala sifat dan sikap yang baik. Salah satu hal positif yang diharapkan dari si kecil adalah
disiplin. Lalu gimana ya cara terbaik mendisiplinkan anak?
Beberapa orang tua memilih menerapkan time out untuk menumbuhkan
disiplin pada anak. Tapi Sarah Ockwell Smith, penulis 'Gentle Discipline: Using Emotional Connection—Not Punishment—to Raise Confident, Capable Kids (TarcherPerigee)' berpendapat metode tersebut sebenarnya tidak efektif, Bun. Alasannya, time out mengabaikan perasaan anak di balik tingkah lakunya.
Sarah mengumpamakan ketika kita sedang mengalami hari yang sulit di kantor lalu ditambah ada berbagai masalah lain, rasanya ketika di rumah ingin menumpahkan perasaan kita ke suami. Lalu saat baru sampai rumah, suami bertanya, "Bagaimana harimu?"
Mendengar pertanyaan itu, kita melempar tas dan mengeluarkan jeritan frustasi sebagai respons. Tapi, apa tanggapan suami? Alih-alih bertanya kenapa dan memberikan pelukan yang kita harapkan, suami malah berteriak, "Berani-beraninya kamu melempar tas dan berteriak ke saya! Sini kamu, dan duduk di sini selama lima menit. Kalau sudah waktunya, kamu bisa bicara lagi ke saya,".
Bagaimana perasaan kita Bun? Pastinya putus asa ya. Bukannya mendapat dukungan malah disuruh pergi dan diam sejenak. Menurut Sarah, sikap suami tersebut tidak akan membuat istrinya merasa baik atau memotivasi berperilaku lebih baik.
"Sekarang bayangkan bagaimana perasaan anak saat mereka diberikan time out untuk menghilangkan emosi mereka?" imbuh Sarah.
Itulah yang membuat Sarah mengatakan metode disiplin dengan time out tidak mengajarkan anak bagaimana melakukan hal menjadi lebih baik, melainkan mengajarkan anak bahwa orang tuanya hanya ingin bersama mereka saat mereka sudah merasa baik.
Selain itu, Bun, time out mengirimkan pesan bawah sadar bahwa anak harus menahan perasaan sebenarnya dari orang tuanya. Dalam jangka panjang, metode tersebut dikhawatirkan bisa menyebabkan hubungan orang tua dan anak jadi retak.
Ketimbang menerapkan time out, Sarah menawarkan alternatif lain untuk mendisiplinkan anak, seperti dilansir mindbodygreen:
1. Kenali Emosi Anak dan Bikin Harapan yang RealistisMenurut Sarah, kebanyakan orang tua mendisiplinkan anak karena mereka tak memiliki harapan yang realistis akan perilaku anak. Seorang balita bisa mengamuk ketika bundanya sedang mengendarai mobil. Tapi, karena konektivitas otak balita belum matang, mereka belum bisa menenangkan diri seperti orang dewasa.
Sering kali anak bersikap kurang baik karena sedang berjuang dengan perasaannya yang tidak nyaman, entah itu sedih, marah, atau takut. Anak kecil belum memiliki kemampuan verbal untuk menyampaikan perasannya dalam kata-kata. Jadilah mereka menunjukkannya dalam perilaku.
Kata Sarah, anak-anak bukan orang dewasa mini. Mereka tidak bisa dan tidak bertindak seperti kita. Pahamilah bahwa anak-anak tidak memiliki kendali penuh atas otak mereka. Sehingga ada baiknya kita membuat harapan yang realistis untuk anak saja, Bun.
Misalnya ketika anak mengamuk karena menginginkan sesuatu saat kita sedang menyetir, kita nggak bisa berharap mereka akan tenang sendiri. Baiknya kita tepikan mobil sejenak, lalu beri pemahaman dan bernegosiasi dengan anak. Kita perlu bantu mereka mengenali emosi dan menyalurkannya dengan tepat.
2. Time-inPerilaku yang paling buruk sering kali disebabkan anak merasa kurang berhubungan dengan orang tua mereka. Seorang anak yang merasa tidak dicintai ingin menunjukkan bahwa dia penting, sehingga mereka berulah.
Ketika ini terjadi, kita perlu membangun harga diri mereka untuk membuat mereka merasa lebih baik. Nah, time-in bisa diterapkan.
Time-in maksudnya menenangkan dan berbagi ketenangan dengan anak, Bun. Itu bukan berarti kita harus memberi pujian yang tidak semestinya ya. Kita cukup mengatakan, "Bunda nggak suka yang kamu lakukan, tapi bunda sayang sama kamu dan bunda ingin kamu tenang,".
Time-in berarti menunggu 'badai emosi' berlalu dengan tetap menemani anak melewatinya agar tetap aman, setelah anak agak membaik diajak berbicara dan memeluknya.
3. Role ModellingChildren see children do. Kalau anak sering berteriak, yuk kita tanyakan pada diri kita sendiri, Bun, dari mana anak mencontohnya. Mungkin kitalah yang jadi panutannya untuk berteriak.
Seorang anak yang keras kepala dan temperamental mungkin dibentuk lingkungan tempatnya dibesarkan. Sifat orang tua juga dapat mempengaruhi kepribadian anak.
Arthur Robin, Direktur Pelatihan Psikologi di Children's Hospital of Michigan di Detroit menjelaskan kadang-kadang masalah berakar pada sikap temperamental orang tua, bukan anak. Jika orang tua sangat moody, anak akan cenderung mudah marah, ketakutan, dan mengembangkan sikap yang tertutup karena pengaruh sikap ekstrem orang tuanya.
Cara mendisiplinkan terbaik dari semuanya adalah kita menjadi orang yang kita inginkan sama seperti yang kita inginkan dari anak. Kalau kita ingin si kecil menjadi individu yang lebih tenang, baik, dan penuh kasih sayang, maka kita harus mencontohkannya terlebih dahulu.
4. KreatifSaat anak-anak marah atau kesal, kita perlu memberi mereka waktu agar tenang dulu. Nggak ada orang (tanpa memperhatikan usia) yang mau mendengar ketika dalam kondisi fight or flight. Begitu anak tenang, Bun, tahan godaan untuk memberi ceramah ke anak. Sebaiknya, gunakan lebih banyak cara berbicara yang kreatif kepada anak-anak.
Duduklah dan buat sebuah cerita bersama di mana karakter utama sedang berjuang dengan amarah. Bermain peran, berakting bagaimana mereka bisa menjaga perilaku dan apa yang bisa mereka lakukan ke depannya, atau membuat mereka menggambar atau melukis emosi mereka di atas kertas, saya kira cukup membantu, Bun.
5. Buat Pojok yang TenangBagus juga kalau kita mau membuat pojok tenang di rumah, Bun, untuk mencegah perilaku negatif si kecil atau diri kita sendiri. Kita bisa pilih tempat yang sepi dan mengisinya dengan permadani lembut, minyak aromaterapi, lampu lava, bola stres, mainan lembut, buku anak-anak yang menginspirasi, dan sebagainya.
Selanjutnya, yuk ajak anak untuk pergi ke sudut ini kapan saja dia merasa stres atau merasa ingin mengatakan atau melakukan sesuatu yang mereka tahu akan mereka sesali. Ini juga merupakan tempat yang tepat untuk dikunjungi saat kita melakukan time-in.
Sarah mengingatkan disiplin yang lembut itu membutuhkan waktu untuk melihat hasilnya, Bun. Tapi cara itu bisa memberi anak-anak 'alat emosional' yang dapat mereka gunakan selama sisa hidup mereka.
Kata Sarah, cara ini bisa membantu membangun hubungan, harga diri, dan kebahagiaan yang memiliki efek positif tidak hanya pada anak tapi juga pada orang tua.
Cara terbaik untuk membangun anak yang tenang dan bahagia adalah memulainya dengan orang tua yang tenang dan bahagia. Jadi, yuk, kita memilih bahagia, Bun.
(Nurvita Indarini)