Anak-anak korban gempa Lombok/ Foto: Amelia Sewaka
parenting
Cerita Pilu Anak-anak Korban Gempa Lombok, Tetap Semangat di Pengungsian
HaiBunda
Minggu, 18 Nov 2018 09:09 WIB
Lombok -
Pertengahan Agustus lalu, gempa berkekuatan 6,5 Skala Richter (SR) mengguncang Lombok Timur. Dilansir detikcom, beberapa menit sebelumnya, juga terjadi gempa berkekuatan 5,4 SR.
Tak ada yang menyangka, jika setelahnya terjadi gempa susulan yang menelan banyak korban jiwa. Seorang gadis cilik bernama Rohana, menjadi salah satu korbannya.
Kepada tim Haibunda, Rohana berbagi cerita pilunya. Kala bencana terjadi, Rohana sedang salat Isya di mesjid bersama sang ibu, Ma'na.
Keduanya kaget dan panik ketika gempa terjadi. Ia dan ibunya langsung ke luar mesjid dan menuju tanah lapang terdekat.
"Kami berbondong-bondong keluar dari mesjid ke tanah luas, terus tiba-tiba datang banyak mobil dan orang-orangnya bilang bahwa gempa ini ada potensi tsunami. Langsunglah saya dan ibu ke dataran tinggi," kata Rohana mengingat kembali kejadian pilu tersebut.
Siswi kelas satu, sekolah menengah atas itu langsung bergegas menuju dataran tinggi. Dalam keadaan panik, Rohana dan ibunya hanya pergi menyelematkan diri. Tak sempat membawa alas, atau selimut untuk bekal tidur di pengungsian. Miris, malam itu mereka tidur beralas tanah.
Sementara itu, saat gempa terjadi ayah Rohana, Alwi, juga terkurung di rumah. Saking paniknya, Alwi bersama kakak-kakak perempuan Rohana jadi kesulitan membuka pintu.
"Sekarang masih takut kalau ada gempa, apalagi kalau malam datang, suka takut gempa aja gitu," tambah Rohana.
Penderitaan Rohana dan keluarga tak berhenti di situ saja. Menempati daerah pengungsian di dataran rendah, membuat mereka sering tersapu banjir. Sepatu sekolah satu-satunya pun rusak. Tapi apa daya, keterbatasan membuatnya tetap memakai sepatu tersebut ke sekolah.
"Iya, cuma sepatu aja yang rusak, buku sama seragam masih bisa dipakai," tutur Rohana.
Meski benca mengubur rumah mereka, namun tidak dengan semangatnya. Si anak bungsu ini, tetap yakin tetap bisa mengejar cita-citanya sebagai ustazah.
Kisah memilukan juga datang dari seorang bocah bernama Rindani. Kala itu, Rindani baru pulang mengaji dan ingin membeli telur. Tapi, saat merasakan goncangan gempa yang begitu hebat ia langsung kembali ke rumah.
"Pas gempa ibu saya keluar rumah, tapi adik masih ada di dalam, karena takut ke dalam jadi yang ambil adik ayah saya. Terus di halaman rumah kami langsung berpelukan," ungkap bocah 4 bersaudara ini.
Meski gempa membuat alat-alat sekolahnya hancur, Rindani tetap bersemangat sekolah. Selama di pengungsian, Rindani mengisi kegiatan dengan membaca buku saat pulang sekolah. Sama halnya dengan Rohana, siswa kelas 5 sekolah dasar ini juga bercita-cita bisa mengajar dan menjadi ustadzah.
Beruntungnya, baik Rohana dan Rindani tak kehilangan anggota keluarga akibat gempa. Semangat sekolah mereka tetap tinggi, meski seragam dan semua alat sekolah rusak.
Minimnya fasilitas, tak menyurutkan semangat mereka untuk terus bersekolah. Serta mewujudkan cita-cita sebagai seorang ustazah.
Psikolog klinis, Christina Tedja MPsi mengatakan, anak-anak korban gempa ini pastinya akan mengalami dampak secara psikologis antara, Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau depresi.
"Bagi korban gempa, ketakutan adalah hal yang wajar. Tanggapan setiap anak yang traumatik juga berbeda beda, ada yang cepat pulih ada pula yang pulih lebih lama," kata psikolog yang akrab disapa Tina ini saat ditemui di Dusun Jelateng, Desa gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.
Tina menjelaskan, ada beberap ciri yang terlihat jika anak perlu dibawa ke ahli atau profesional. Tak hanya berlaku untuk PTSD dari gempa atau bencana lainnya saja, namun pada semua masalah kesehatan mental.
"Pada dasarnya mekanisme healing adalah 'menyembuhkan' rasa takut yang dialami oleh korban," imbuh Tina .
Adapun proses penyembuhan yang dilakukan dapat bermacam-macam, tapi biasanya menurut Tina proses ini berfokus pada:
1. Mengajak korban untuk belajar menenangkan diri secara mandiri.
2. mengajak korban untuk menerima dan membuka diri dengan lingkungan sosial, agar korban tidak menarik diri.
3. Mengajak korban untuk berbagi perasaan, sehingga korban tidak merasa sendiri.
4. Kembali menjalani aktifitas sehari-hari dengan produktif.
"Batasannya adalah apabila perasaan sedih dan ketakutannya telah menggangu kehidupan si anak, dan menimbulkan perasaan tidak nyaman pada proses pemulihan tersebut, maka perlu penanganan profesional," tutup Tina.
(aml/rap)
Tak ada yang menyangka, jika setelahnya terjadi gempa susulan yang menelan banyak korban jiwa. Seorang gadis cilik bernama Rohana, menjadi salah satu korbannya.
Kepada tim Haibunda, Rohana berbagi cerita pilunya. Kala bencana terjadi, Rohana sedang salat Isya di mesjid bersama sang ibu, Ma'na.
Keduanya kaget dan panik ketika gempa terjadi. Ia dan ibunya langsung ke luar mesjid dan menuju tanah lapang terdekat.
"Kami berbondong-bondong keluar dari mesjid ke tanah luas, terus tiba-tiba datang banyak mobil dan orang-orangnya bilang bahwa gempa ini ada potensi tsunami. Langsunglah saya dan ibu ke dataran tinggi," kata Rohana mengingat kembali kejadian pilu tersebut.
Siswi kelas satu, sekolah menengah atas itu langsung bergegas menuju dataran tinggi. Dalam keadaan panik, Rohana dan ibunya hanya pergi menyelematkan diri. Tak sempat membawa alas, atau selimut untuk bekal tidur di pengungsian. Miris, malam itu mereka tidur beralas tanah.
Sementara itu, saat gempa terjadi ayah Rohana, Alwi, juga terkurung di rumah. Saking paniknya, Alwi bersama kakak-kakak perempuan Rohana jadi kesulitan membuka pintu.
"Sekarang masih takut kalau ada gempa, apalagi kalau malam datang, suka takut gempa aja gitu," tambah Rohana.
Penderitaan Rohana dan keluarga tak berhenti di situ saja. Menempati daerah pengungsian di dataran rendah, membuat mereka sering tersapu banjir. Sepatu sekolah satu-satunya pun rusak. Tapi apa daya, keterbatasan membuatnya tetap memakai sepatu tersebut ke sekolah.
"Iya, cuma sepatu aja yang rusak, buku sama seragam masih bisa dipakai," tutur Rohana.
Meski benca mengubur rumah mereka, namun tidak dengan semangatnya. Si anak bungsu ini, tetap yakin tetap bisa mengejar cita-citanya sebagai ustazah.
"Pas gempa ibu saya keluar rumah, tapi adik masih ada di dalam, karena takut ke dalam jadi yang ambil adik ayah saya. Terus di halaman rumah kami langsung berpelukan," ungkap bocah 4 bersaudara ini.
Meski gempa membuat alat-alat sekolahnya hancur, Rindani tetap bersemangat sekolah. Selama di pengungsian, Rindani mengisi kegiatan dengan membaca buku saat pulang sekolah. Sama halnya dengan Rohana, siswa kelas 5 sekolah dasar ini juga bercita-cita bisa mengajar dan menjadi ustadzah.
Beruntungnya, baik Rohana dan Rindani tak kehilangan anggota keluarga akibat gempa. Semangat sekolah mereka tetap tinggi, meski seragam dan semua alat sekolah rusak.
Minimnya fasilitas, tak menyurutkan semangat mereka untuk terus bersekolah. Serta mewujudkan cita-cita sebagai seorang ustazah.
Psikolog klinis, Christina Tedja MPsi mengatakan, anak-anak korban gempa ini pastinya akan mengalami dampak secara psikologis antara, Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau depresi.
"Bagi korban gempa, ketakutan adalah hal yang wajar. Tanggapan setiap anak yang traumatik juga berbeda beda, ada yang cepat pulih ada pula yang pulih lebih lama," kata psikolog yang akrab disapa Tina ini saat ditemui di Dusun Jelateng, Desa gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.
Tina menjelaskan, ada beberap ciri yang terlihat jika anak perlu dibawa ke ahli atau profesional. Tak hanya berlaku untuk PTSD dari gempa atau bencana lainnya saja, namun pada semua masalah kesehatan mental.
"Pada dasarnya mekanisme healing adalah 'menyembuhkan' rasa takut yang dialami oleh korban," imbuh Tina .
Adapun proses penyembuhan yang dilakukan dapat bermacam-macam, tapi biasanya menurut Tina proses ini berfokus pada:
1. Mengajak korban untuk belajar menenangkan diri secara mandiri.
2. mengajak korban untuk menerima dan membuka diri dengan lingkungan sosial, agar korban tidak menarik diri.
3. Mengajak korban untuk berbagi perasaan, sehingga korban tidak merasa sendiri.
4. Kembali menjalani aktifitas sehari-hari dengan produktif.
"Batasannya adalah apabila perasaan sedih dan ketakutannya telah menggangu kehidupan si anak, dan menimbulkan perasaan tidak nyaman pada proses pemulihan tersebut, maka perlu penanganan profesional," tutup Tina.
TOPIK TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT

Parenting
Anak Tak Mau Ditinggalkan dan Cemas Berpisah, Harus Bagaimana?

Parenting
Tips Agar Anak Tak Jadi Pelampiasan Emosi Bunda
Parenting
Dongeng Bantu Sembuhkan Trauma Anak-anak Korban Gempa Lombok

Parenting
So Sweet! Saat Susi Pudjiastuti Hibur Anak Korban Gempa Lombok

Parenting
Saat Andien Lakukan Trauma Healing pada Anak Korban Gempa Lombok

Parenting
4 Hal yang Bisa Dijelaskan pada Anak tentang Gempa di Lombok
HIGHLIGHT
HAIBUNDA STORIES
REKOMENDASI PRODUK
INFOGRAFIS
KOMIK BUNDA
FOTO
Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda
Fase Bunda