TRENDING
Mengenang Lagi Sumpah BJ Habibie Saat Mati Suri di Usia 23 Tahun
Ratih Wulan Pinandu | HaiBunda
Jumat, 26 Jun 2020 12:30 WIBPada Kamis kemarin, 25 Juni, tepat hari kelahiran salah satu tokoh bangsa kita, Baharuddin Jusuf Habibie. Meski sosoknya telah tiada, namun gaung hari kelahirannya tetap bergema di media sosial, Bunda.
Presiden ke-3 RI ini meninggalkan sejuta kenangan pada masyarakat Indonesia. Habibie yang dikenal sebagai manusia jenius meninggal pada 11 September 2019 lalu, akibat gagal jantung.
Setelah 10 bulan kepergiannya, namanya tetap harum dibicarakan. Bahkan, masih banyak yang ingin tahu kisah hidupnya. Bunda juga tertarik mengetahui berbagai cerita menarik suami Ainun Besari ini?
Salah satu yang tak terlupakan adalah sumpah fenomenal Habibie saat mati suri di Jerman. Kala itu, Habibie baru berusia 23 tahun dan sedang aktif memprakarsai Seminar Pembangun bagi mahasiswa Indonesia yang ada di Jerman.
Kerja kerasnya yang tak kenal waktu membuat Habibie harus tumbang. Dokter memvonisnya terkena TBC tulang yang membuatnya batuk tiada henti.
Hingga akhirnya betis kaki kirinya harus dibelah. Namun malangnya, ia malah mengalami infeksi dan bakterinya sudah sampai ke jantung sehingga mengakibatkan jantungnya bengkak.
Dalam buku Rudy, Kisah Masa Muda Sang Visioner yang ditulis Gina S NOer diceritakan jika Habibie sekarat. Ia tak sadarkan diri dan kemudian melihat cahaya putih kemudian gelap.
Dalam kondisi itu, ia hanya mampu mengingat dan mendengar suara-suara pastor yang dipanggil pihak rumah sakit. Sisanya, tak ada yang berhasil diingatnya. Padahal pada malam itu, Seminar Pembangunan yang dikerjakannya selama ini sedang sukses tergelar.
Pada waktu yang sama, tubuhnya yang terbaring kaku di antar ke kamar jenazah oleh perawat. Para petugas medis membicarakannya sebagai orang Indonesia yang malang. Meninggal sendiri jauh dari saudara, teman, dan Tanah Airnya.
Terbangun di kamar jenazah
Tapi siapa sangka keajaiban terjadi. Setelah diantar ke kamar jenazah, Habibie terbangun kembali. Di sana, kesadarannya pun hilang-timbul tak stabil.
Setiap kali sadar, rasa sakit luar biasa menjalar dari kaki dan dadanya. Di antara rasa sangat yang amat sakit itu, tangannya bergerak meraih pulpen dan selembar kertas di meja sebelah tempat tidurnya.
Habibie berjuang melawan rasa sakit itu, Bunda. Jika saat itu harus mati, Habibie merasa ada yang harus ia keluarkan dari dadanya. Sebuah sumpah seperti berikut ini:
Sumpahku!
Terlentang!!!
Djatuh! Perih! Kesal!
Ibu Pertiwi
Engkau Pegangan
Dalam perdjalanan
Djanji pusaka dan sakti
Tanah tumpah darahku
Makmur dan sutji!!!
Hantjur badan
Tetap berdjalan
Djiwa besar dan sutji
Membawa aku, padamu!!!
Di akhir kelimat itu, kesadaran Habibie kembali hilang. Dalam masa hilang-timbil ini, Habibie merasa bertemu ayahnya, Ali. Serta bertemu kembali dengan maminya, Toeti.
Dalam pelukan itu, ia merasakan sakitnya diganti kehangatan sang mami. Ia pun merasakan mulai tenggelam dalam kehangatan itu.
Keesokan harinya, pada pukul 14.00 teman-temannya dari Indonesia baru saja menerima kabar tersebut. Di tahun 1959 mereka menerima kabar melalui telegram, Bunda, jadi bisa dibayangkan bahwa informasi tidak bisa cepat sampai.
Mereka berangkat ke rumah sakit dengan cemas. Setibanya di sana, dokter langsung membawa mereka menemui Habibie yang sedang tak sadarkan diri. Keadaannya pun mengkhawatirkan, bahkan hampir tak ada harapan karena jantungnya terus melemah.
Selama 24 jam ia tak sadarkan diri, dan hanya didampingi seorang rohaniawan. Teman-temannya menunggu di luar kamar dengan diliputi kengerian luar biasa takut kehilangan seorang Habibie.
Namun, sebuah keajaiban terjadi pada pagi harinya. Habibie tersadar dan terkejut karena yang pertama dilihatnya adalah rohaniawan. Suasana menjadi canggung, hingga akhirnya kehadiran teman-temannya berhasil menghangatkan pertemuan mereka.
Dalam kondisi tersebut, ada kemungkinan kakinya diamputasi. Kondisinya pun sudah membengkak dan membiru, membuat teman-temannya tak tega melihatnya. Namun, mereka tak bisa berbuat apa-apa juga untuk menolongnya.
Habibie dirawat di rumah sakit Bad Krotzingen sampai kondisinya lebih baik. Kakinya pun membaik sehingga tak perlu dioperasi atau diamputasi. Tak lama kemudian, ia dipindahkan ke sanatorium di Kleinwalzertal di Austria. Ia berada di sana dari bulan Agustus 1959 hingga Januari 1960, untuk menyembuhkan penyakit TBC tulang hingga sembuh.
Bunda, simak juga yuk cerita pemuda jenius yang temukan pelacak virus Corona, dalam video berikut: