Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

trending

3 Poin yang Dikhawatirkan dari UU Cipta Kerja Meski Cuti Melahirkan Dijamin

Asri Ediyati   |   HaiBunda

Rabu, 07 Oct 2020 18:01 WIB

Omnibus Law Cipta Kerja
3 Poin yang Dikhawatirkan dari UU Cipta Kerja Meski Cuti Melahirkan Dijamin/ Foto: Omnibus Law Cipta Kerja (Tim Infografis Fuad Hasim)
Jakarta -

Undang-undang Cipta Kerja yang baru saja disahkan menuai kontra di masyarakat khususnya pekerja perempuan. Cuti melahirkan dan haid menjadi perhatian utama lantaran di Omnibus Law Cipta Kerja, kedua cuti tersebut sempat diisukan akan dihapus.

Akan tetapi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjamin pemberian cuti melahirkan dan cuti haid tetap ada bagi pekerja perempuan. Ketentuan ini diklaim tidak berubah dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Bunda.

"Di UU ini (Omnibus Law Ciptaker) tidak menghilangkan hak cuti haid dan cuti hamil yang telah diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan," ujar Airlangga, dikutip CNN Indonesia.

Meski hak cuti melahirkan dan haid tetap ada, ternyata UU Cipta dinali tetap berpotensi merugikan perempuan lho, Bunda. Lebih jelasnya, simak ulasan berikut ini:

1. Khawatir insentif tidak dibayar

Meski pekerja perempuan mendapatkan hak cuti melahirkan dan haid, tetapi masih ada kekhawatiran terkait insentif atau upah yang diberikan selama cuti melahirkan dan haid, Bunda. Dalam pasal UU Cipta Kerja, tidak mengatur dan menjelaskan secara detail tentang kedua cuti yang dipermasalahkan pekerja perempuan itu.

Komisioner Komnas Perempuan Theresia Sri Endras Iswarini mengatakan, ada ancaman hilangnya hak cuti melahirkan dalam hal ini insentif apabila penerapan upah satuan waktu dan/atau satuan hasil.

"UU Cipta Kerja memang tidak mengatur detail tentang hal tersebut dan kemungkinan ancaman hilangnya hak cuti maternitas alias melahirkan karena penerapan upah satuan waktu dan/atau satuan hasil bisa terjadi," kata Rini, sapaan akrabnya, kepada HaiBunda, Rabu (7/10/2020).

Menurut Rini, sebenarnya mayoritas negara di seluruh dunia pun menerapkan paid maternity leave alias cuti melahirkan yang diupah.

"Setahu saya juga begitu karena itu sesuai dengan aturan internasional terutama berkaitan dengan reproduksi ya. Bahkan di negara-negara maju seperti di Skandinavia, mereka menerapkan untuk couple (parental leave). Jadi kedua sutri (suami istri) diberi waktu tertentu untuk libur demi membesarkan sang buah hati dengan baik," kata Rini.

Meskipun katanya pengaturan tetap mengacu pada UU Ketenagakerjaan, Rini menyebut bahwa di dalam UU Cipta Kerja, produktivitas perusahaan menjadi indikator utama.

"Itu menjadi kekhawatiran banyak pihak tentang siapa yang bisa memastikan aturan hak perempuan itu dijalankan," ungkapnya.

2. Khawatir bidang pekerjaan informal (carework) tidak diakui

Rini mengatakan, bahwa secara umum, catatan kritis Komnas Perempuan adalah konsekuensi dari UU Cipta Kerja ini terhadap pekerja perempuan. Meski hak cuti melahirkan tidak mengalami penghilangan, namun UU Cipta Kerja yang disebut bertujuan membuka lapangan kerja untuk menyerap tenaga kerja, justru membuka peluang kemandekkan peningkatan partisipasi substantif angkatan kerja perempuan.

"Sektor-sektor kerja informal dan perawatan (carework) yang banyak diampu oleh pekerja perempuan masih tidak diakui dan dikecualikan dalam UU ini," katanya.

"Dan ini akan sangat berimbas pada Pekerja Rumah Tangga kita yang saat ini pun sedang berjuang untuk mendapatkan pelindungan melalui RUU Pelindungan PRT," ujar Rini.

Komnas Perempuan khawatir apabila upaya pelindungan PRT ini tidak mendapatkan tempat di UU Cipta Kerja dan berakibat pada semakin rentannya situasi PRT dan perempuan pekerja pada umumnya, maka akan muncul kemiskinan baru yang justru mengancam 'Tujuan Pembangunan Berkelanjutan' yang dimandatkan Presiden Jokowi, Bunda.

3. Khawatir pekerja formal lebih mudah diputus hubungan kerjanya

Rini juga menyebutkan bahwa kerugian tidak hanya pada pekerja perempuan di sektor informal, tapi juga pekerja perempuan sektor formal. Para perempuan pekerja formal seperti buruh atau pegawai akan lebih gampang diputuskan hubungan kerjanya karena sistem pengupahan yang fleksibel tergantung pada produktivitas perusahaan bukan pekerjanya.

"Bayangkan perempuan harus bekerja domestik dan kadang minim waktu istirahat lalu kemudian bekerja lagi di pabrik misalnya dalam keadaan lelah. Jika mereka sakit, maka mereka tidak bisa masuk kerja maka akan mengganggu kinerja perusahaan," kata Rini.

"Tentu perusahaan akan memilih pekerja yg sehat ketimbang yang sakit-sakitan ya dan peluang kerja tersebut tentu akan banyak diterima laki-laki," tuturnya.

Simak juga tips memilih baju kerja saat hamil:

[Gambas:Video Haibunda]



(aci/rap)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda