Jakarta -
"Ganyang Malaysia!" pekik suara
Sukarno, Presiden ke-1 RI, saat menggaungkan konfrontasi terhadap Malaysia pada 1963 silam.
Cerita itu selalu terngiang ketika ku ingat almarhum Bapak. Dengan bersemangat, Bapak bercerita tentang peristiwa Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Sejarah mencatat, konfrontasi digagas Sukarno untuk melawan sabotase Malaysia terhadap Malaya, Brunei, Sabah, Sarawak, juga Kalimantan.
"Bapak dikirim ke Tanjung Uban," kata Bapak, yang ketika itu masih berstatus sukarelawan.
Tanjung Uban, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Saat itu, Bapak yang masih bujangan ditugaskan ke sana untuk mengisi barisan atau garda terdepan pasukan RI di perbatasan.
"Setahun di sana, asma Bapak enggak pernah kambuh," cerita Bapak lagi.
Wajar kalau Bapak sehat selama tugas karena Tanjung Uban termasuk daerah pesisir. Udara di sana jauh lebih bersih dan sehat dibanding di Ibu Kota. Sangat bagus untuk pengidap asma yang termasuk penyakit keturunan seperti Bapak.
Ya, itulah Bapak. Sosok yang hobi bercerita, terutama tentang pengalamannya selama berkiprah di lingkungan militer. Bapak pun masih ingat, sepulang tugas dari Tanjung Uban, ia mengikuti ujian masuk Angkatan Laut di Surabaya, Jawa Timur.
Melamar Ibu, Ditinggal KaburSelepas ujian di Surabaya, Bapak naik kereta mampir ke kampung halaman, Purwokerto, Jawa Tengah. Rupanya tanpa rencana, Bapak langsung meminta kedua orang tuanya untuk melamar perempuan pujaannya.
Perempuan itu ternyata bukan kekasih Bapak. Karena tidak merasa cinta, perempuan itu kabur dari rumah yang didatangi Bapak dan kedua orang tuanya. Ternyata lagi, perempuan itu sudah punya kekasih.
"Kabur ke rumah
Eyang, tapi malah dimarahi," kenang Ibuku, yang akhirnya menerima lamaran Bapak dan menikah pada 1970.
Setahun setelah orang tuaku menikah, lahirlah kakak sulungku. Lalu, Bapak memboyong Ibu dan kakakku ke Jakarta. Bapak memutuskan tak tinggal lagi di kompleks Angkatan Laut, kemudian membeli tanah dan membangun rumah tak jauh dari sana.
 Ilustrasi ayah dan anak/ Foto: Dok. iStock |
Bapak Galak dan DisiplinBekerja di lingkungan militer, enggak heran kalau Bapak sangat galak dan disiplin pada kelima anaknya. Dalam mendidik aku si bungsu yang perempuan sendiri ini, Bapak tak membedakan dengan keempat kakak lelakiku.
Sore itu, seingatku masih SD, aku habis dimarahi Bapak lantaran main tak ingat waktu mandi. Sesampainya aku di rumah, Bapak langsung mengambil ikat pinggang hitam dari kapstok yang tergantung di balik pintu kamar.
Tanpa ku duga, satu sabetan melayang dan mendarat di paha kananku. Kejadian itu tak pernah beranjak dari benakku, tapi tak ingat lagi apakah ku menangis setelah Bapak memberikan hukumannya. Sakit rasanya itu pasti.
"Memang salahku, main tak ingat waktu," sesal dalam batinku.
Aku pun kapok dan ogah mengulang kesalahan yang sama. Tak ada lagi cerita ikat pinggang Bapak melayang dan mendarat di paha.
Saat Aku Ditaksir PolisiPunya Bapak yang teramat galak dan disiplin, mungkin secara enggak sadar membuatku enggan bercita-cita pacaran dengan lelaki gagah 'berseragam'. Padahal, beberapa teman kuliahku kelihatannya bahagia pacaran dengan polisi.
Sampai suatu hari, pas lagi jomblo, aku ditaksir seorang polisi. Ia tinggal di sebelah rumah pamanku di Jogja dan ternyata masih ada hubungan famili juga. Rasa itu berawal saat dia ditugaskan paman untuk menjemputku di stasiun kereta. Waktu itu, aku datang ke Jogja untuk menghadiri pernikahan adik sepupuku.
Keesokan harinya, saat aku sudah bersiap tidur di kamar, tiba-tiba dia datang dan mengajak ngobrol di teras rumah paman. Meski mata ini sudah berat, enggak terasa obrolan kami mengalir dan hari semakin malam.
"Jangan sama dia," ucap bibiku, setelah si polisi itu pulang. Bibi memang tak setuju aku berpacaran dengan dia, yang usianya setahun lebih muda dariku.
Tak Boleh Nikahi TentaraMemang dasar belum jodoh, aku pun putus kontak dengan polisi itu karena terpisah jarak. Kali terakhir bertemu di stasiun kereta, dia melepasku saat aku akan pulang ke Jakarta.
Entah kebetulan atau memang kompak dengan sang adik, yang melarangku pacaran dengan polisi, ibuku pun berpesan hal serupa. Hanya saja, ibuku tidak ingin anak bungsu perempuan satu-satunya ini punya suami tentara.
"Nanti sering ditinggal-tinggal tugas," begitu alasan ibuku.
Seketika, ku ingat sepupuku yang tentara dan pernah dikirim ke Lebanon selama setahun, sebagai pasukan perdamaian RI. Ia meninggalkan istri dan anaknya di Jakarta.
Sejak saat itu pula, tekadku semakin kuat untuk tidak bersuamikan lelaki gagah 'berseragam'. Bersyukur, meskipun galak, Bapak tak pernah usik saat ada teman pria yang mendekatiku. Ia juga membebaskan pilihan pendamping hidupku: 'Enggak harus tentara.' Dan suamiku sekarang memang bukan
tentara. Terima kasih, Bapak.
Al-Fatihah.
(Cerita Bunda Icut - Jakarta)Kalau Bunda punya kisah apa nih? Kirim yuk Cerita Bunda ke alamat email
[email protected] (muf/muf)