Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

cerita-bunda

Ditalak saat Hamil dan Tak Tahu Alasannya, Kini Kekuatanku Hanya Doa

Sahabat HaiBunda   |   HaiBunda

Senin, 02 Oct 2023 17:15 WIB

The concept says goodbye to the problem of divorce in love. Asian couples are having conflicts. The wife is taking off the wedding ring behind a stressed husband and family problems.
Ilustrasi Cerita Bunda: Ditalak saat Hamil dan Tak Tahu Alasannya, Kini Kekuatanku Hanya Doa/ Foto: Getty Images/Nuttawan Jayawan
Jakarta -

#HaiBunda aku single parent berusia 31 tahun dan punya anak perempuan yang masih balita. Aku menetap dan bekerja di Jakarta. Aku juga merawat kedua orang tua yang sudah lansia.

Selan untuk anak, aku bekerja untuk menafkahi untuk orang tua juga. Selepas ditinggal suami, aku dan putriku tinggal di rumah orang tuaku. Bunda, izinkan aku bercerita tentang kisah hidupku yang memilukan.

Aku ditalak suami saat sedang hamil, saat itu memasuki usia empat minggu. Tapi sampai detik ini, aku masih nggak tahu alasan dia menceraikanku. Aku hanya ingat kata-katanya yang menyakitkan.

"Aku menyesal kamu hamil, jangan ganggu aku lagi! Aku nggak akan memindahkan surga dari telapak kaki Ibuku ke kakimu!"

Mungkin, dia menganggap aku penghalang untuknya merengkuh surga di telapak kaki ibunya. Dan boleh dibilang, usia pernikahan kami hanya seumur jagung. Saat di meninggalkanku dan janin dalam kandungan, pernikahan kami memasuki 7 bulan.

Selama pernikahan, kami memang sering bertengkar dan penyebabnya masalah finansial. Dia memang tulang punggung keluarga, menghidupi Ibu dan dua adiknya yang sudah dewasa tapi nggak kerja. Ditambah lagi, adik iparnya tinggal bersama mereka.

Kariernya terancam

Dia kerja sebagai abdi negara tapi penghasilannya hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Itu nggak cukup untuk melanjutkan biaya kuliah salah satu adiknya, bahkan melunasi utang-utang dia yang entah untuk apa dan sejak kapan.

Sejak awal bertemu, aku memang sudah tau kondisi finansial dia dan keluarganya. Saat itu, aku tetap mau menikah karena dia yakin akan keimanannya pada rezeki yang dibawa anak kelak. Setelah menikah, aku hanya berharap bisa cepat punya anak.

Saat lihat hasil test pack, aku bahagia banget dan langsung bilang ke dia. Aku hamil! Tapi tak disangka, dia ternyata menyesali kehamilanku. Dia pergi dan selama kehamilan, aku berupaya dengan segala cara agar dia kembali.

Tak hentinya aku memanjatkan doa kepada Allah agar suami kembali, demi keselamatan dan kesehatan diriku, juga janinku, di tengah masalah rumah tangga ini. Hingga masuk kehamilan trimester ketiga, aku nggak tahan lagi dengan pengabaian fisik dan mental ini.

Aku coba mengadukan perbuatan dia ke kantor dinasnya, hingga kami dimediasi oleh atasannya. Bahkan, kariernya terancam kalau dia tetap menceraikan aku. Tapi ternyata, dia tak gentar dan tetap nggak pulang ke rumah.

Dia nggak mau komunikasi denganku, mertua juga nggak menjenguk setelah aku melahirkan. Dia lebih mengambil risiko pekerjaan dibandingkan kembali padaku. Hingga akhirnya saat masa nifas berakhir, aku merasa ini sudah di titik maksimal perjuangan mempertahankan pernikahan.

Anakku lahir prematur

Saat aku melahirkan, dia datang hanya sebentar. Itu pun karena Ayahku menghubunginya dan dia datang setelah anaknya lahir. Dia bahkan tak mengadzani bayinya dan digantikan dokter anastesi saat operasi caesar.

Proses persalinan ku hadapi sendiri, tak seperti kebanyakan wanita yang didampingi suami tercinta. Bayiku lahir prematur karena saat itu mengalami fetal distress, jadi harus segera dikeluarkan karena detak jantung sangat tinggi.

Di titik itulah, aku mulai menyadari bahayanya ibu hamil mengalami stres. Selama tiga hari di rumah sakit, bahkan selama kehamilan, tak sepeser pun suami menanggung biayanya. Aku selalu berdoa semoga Allah memudahkan aku membayar semua.

Alhamdulillah, 20 persen gajiku yang tertahan karena pandemi akhirnya bisa cair. Biaya persalinan sebesar Rp30 juta bisa ku bayar lunas, aku dan bayiku bisa pulang.

Singkat cerita, suami menyuruhku lewat pesan singkat untuk mengurus perceraian. Lalu, aku daftarkan gugatan ke pengadilan agama. Di saat yang sama, aku kena PHK dan bikin aku gentar memikirkan masa depan anakku.

Kini, setiap kali merasa hidup terlalu berat dijalani, ku ingat lagi masa-masa sulit itu. Hanya kekuatan doa yang membuat segalanya yang nggak mungkin bisa terjadi. Dengan kekuatan doa, hal yang sulit jadi mudah teratasi.

Selasa proses perceraian, suami nggak pernah memenuhi panggilan pengadilan. Hingga akhirnya, hakim memutuskan perceraian kami secara verstek.

-Bunda S, Depok-

Mau berbagi cerita juga, Bun? Yuk cerita ke Bubun, kirimkan lewat email [email protected]. Cerita terbaik akan mendapat hadiah menarik dari HaiBunda.

(muf/muf)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda