Jakarta -
Perkenalkan Bunda, namaku Rita. Saat ini aku 36 tahun. Pada satu titik dalam hidupku, aku pernah merasa diperlakukan buruk dan direndahkan.
Pengalaman itu terjadi pada 2013 lalu, saat aku bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Aku mengalami
clash dengan atasan dan kolega. Entah hanya perasaan aku saja, tapi ku merasa mereka melontarkan kata-kata yang membuatku merasa direndahkan.
Awalnya aku mencoba
positive thinking. Tapi semakin lama rasanya semakin berat. Pada satu titik aku sering tiba-tiba menangis tanpa sebab. Ini terjadi saat aku mau berangkat dan setelah pulang dari kantor. Aku juga mulai sering mengalami migrain.
Saat itu, aku sadar bahwa ada yang tidak beres dengan diriku. Aku mulai bertanya-tanya, apakah aku mengalami
gangguan mental.Pada suatu hari, aku mendengar pakar
emotional healing Irma Rahayu di sebuah radio. Entah bagaimana kata-kata yang diungkapkan Irma membuat aku merasa tenang. 'Kok enak ya', pikir ku. Aku pun langsung membeli bukunya. Dari buku itu, aku baru tahu bahwa ternyata hidup Irma jauh lebih berat dariku.
Tanpa pikir lama, aku langsung mendaftar kelas
emotional healing yang diadakan Irma. Dia mengajarkan aku perlunya mengenali emosi di dalam sendiri. Irma bilang, masalah yang aku hadapi bisa jadi karena akibat luka dari masa lalu. Bisa dari pola asuh atau lingkungan sekitar.
Dalam satu sesi kelas, aku duduk berhadap-hadapan dengan peserta lainnya. Mata kami tertutup, kami saling bertanya. Pertanyaan itu diulang hingga berkali-kali sampai peserta bisa meluapkan emosinya. Mayoritas menangis, termasuk diriku.
Di situ, aku diajari bagaimana melepas
emosi negatif. Kalau kita ingin menangis, jangan ditahan. Begitu katanya. Aku juga diajari bagaimana pentingnya mengambil napas dan adab.
Setelah ditelusuri, ternyata aku memiliki luka dari masa lalu yang berasal dari pola asuh. Hal itu membuat aku tumbuh menjadi orang yang minder dan tidak percaya diri.
Ibuku terlalu dominan. Sejak aku masih kecil, ibu tak pernah memberikan kepercayaan pada diriku. Ia selalu berusaha meng-
handle semuanya.
Untuk urusan membuat puding saja, ibuku sampai turun tangan. Ibuku selalu berkata,"Kami tuh nanti begini, begitu. Kamu enggak bisa."
Aku ikut beberapa kelas Irma, hingga program
life coaching selama enam bulan dengan masa
maintenance sebulan. Banyak perubahan yang terjadi pada diriku. Setelah ikut beberapa kelas dan
life coaching, migrain yang aku rasakan setiap hari kemudian sembuh dengan sendirinya. Aku sudah bisa mengenali emosi diriku sendiri. Aku jadi lebih suka olah rasa dan bagaimana meng-
handle sebuah situasi.
Hubunganku dengan atasan dan kolega di kantor perlahan mulai membaik. Aku melihatnya seperti rekonsiliasi. Mereka yang berkonflik denganku belakangan ku sadari sebenarnya justru orang-orang yang memberikan aku kesempatan.
Saat ini, aku lebih bersyukur. Menjalani semua yang ada di depan mata dengan baik. Intinya aku berusaha memperbaiki akhlak, adab, dan mengatur emosi.
(Cerita Bunda Rita- Jakarta) (som/muf)