Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

cerita-bunda

Terpisah oleh Jarak, Pernikahan Kami Justru Mampu Bertahan hingga 10 Tahun

Sahabat HaiBunda   |   HaiBunda

Rabu, 12 Nov 2025 20:10 WIB

Keluarga mudik
Cerita Bunda/Foto: Getty Images/CreativaImages
Jakarta -

#HaiBunda, dulu kupikir, setelah menikah dan punya seorang buah hati, aku dan suami akan semakin dekat. Tapi ternyata kehidupan punya jalannya sendiri, ya, Bun. Terkadang, cara kita mencintai seseorang tidak selalu sama dengan cara kita bisa hidup bersama di bawah satu atap.

Aku dan suami berasal dari kota yang berbeda. Kami tumbuh dengan pola asuh, kebiasaan, dan ritme hidup yang bertolak belakang. Setelah menikah, aku sempat tinggal di kota kelahiran suami, kami satu atap di rumah mertua selama dua tahun pertama, kemudian mencoba menyatukan dua dunia yang sama sekali tidak serupa di sebuah kontrakan yang nyaman pada tahun ketiga.

Tapi waktu berjalan... Kami mulai menyadari betapa sulitnya menyatu jika karakter dasar kami terus bertabrakan. Saat anak kami lahir, emosi makin kompleks. Aku ingin bantuan, ingin kehadirannya, tapi dalam praktiknya, ketika kami satu rumah, kami justru lebih sering salah paham.

Hingga pada pada akhirnya situasi semakin runyam. Suami yang saat itu nampak lebih nyaman menghabiskan waktu bersama teman-temannya dibandingkan membersamai kami di rumah, membuatku semakin merasa tidak dihargai dan dianggap sebagai pelengkap saja.

Setelah satu malam panjang penuh tangis dan percakapan mendalam, kami membuat keputusan yang mungkin terdengar 'tak biasa' bagi sebagian orang: Aku kembali tinggal di rumah orang tuaku bersama anakku atas seizin suami, dan menjalani long distance marriage. Sementara suami pun kembali ke rumah orang tua dan harus menetap di kotanya karena alasan pekerjaan.

Aku dan suami sudah terbiasa menjalani hubungan jarak jauh semasa pacaran, jadi hal itu tidak lantas menjadi hambatan besar bagi kami, meskipun ada rasa takut dianggap 'gagal' menjaga pernikahan yang lazim.

Tapi perlahan kami sadar, justru dengan memberi jarak, kami bisa bernapas. Konflik berkurang jauh, komunikasi lebih terarah, dan kami jadi belajar menghargai satu sama lain tanpa harus memaksa selaras dalam segala hal.

Sesekali kami bertemu kembali saat akhir pekan atau anak libur sekolah, entah itu aku yang berkunjung ke kota suami atau sebaliknya. Di momen ini pula kami perlahan-lahan belajar soal co-parenting, yaitu berbagi tanggung jawab dan bekerja sama dalam pengasuhan agar anak tetap mendapatkan kasih sayang dari kedua belah pihak dengan setara.

Adapun interaksi setiap hari, di zaman yang serba digital ini sudah dimudahkan dengan fitur seperti video call untuk berbagi cerita dan keseharian kami.

Hal ini belum tentu bisa diimplementasikan pada setiap hubungan pernikahan. Kami memutuskan menjalani hubungan jarak jauh ini karena sudah memiliki dasar yang cukup kuat. Di balik karakter kami yang bertolak belakang, ada satu pondasi yang membuat kami bertahan hingga sejauh 10 tahun pernikahan, yaitu transparansi.

Dengan mengenali dan mendalami karakter satu sama lain, saling membangun dan menjaga kepercayaan, pernikahan kami bisa tetap bertahan meskipun dalam situasi yang tidak biasa. Bukan karena kami ingin saling menjauh, tapi karena kami ingin menyelamatkan apa yang masih bisa diperjuangkan.

- Bunda Annisa, Tasikmalaya, (Komunitas Ibu Punya Mimpi) -

Mau berbagi cerita juga, Bun? Yuk cerita ke Bubun, kirimkan lewat email [email protected]. Cerita terbaik akan mendapat hadiah menarik dari HaiBunda.

(pri/pri)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda