Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

cerita-bunda

Merantau ke Norwegia, Aku Berjuang Membesarkan Anak yang Butuh Waktu Menyesuaikan Diri

Sahabat HaiBunda   |   HaiBunda

Rabu, 03 Dec 2025 16:10 WIB

Anak takut sekolah
Merantau ke Norwegia, Aku Berjuang Membesarkan Anak yang Butuh Waktu Menyesuaikan Diri/Foto: Getty Images/Armand Burger
Jakarta -

#HaiBunda, setelah menjadi ibu, aku baru tau anak-anak ternyata memiliki temperamen masing-masing. Ada anak yang bertemperamen easy (mudah diasuh), difficult (sulit diasuh), dan slow to warm up (lambat beradaptasi).

Dulu aku hanya tau semua anak kecil itu lucu, menggemaskan, dan tinggal dijalani saja proses tumbuh kembangnya. Aku tidak pernah membayangkan bahwa perbedaan temperamen bisa begitu memengaruhi keseharian dan dinamika keluarga.

Lalu lahirlah anak pertama ku dan tak lama kemudian dunia memasuki masa pandemi COVID-19. Sejak itu, aku mulai memahami bahwa menjadi ibu dari anak slow to warm up membutuhkan energi dan kesabaran yang berbeda.

Setiap transisi dan lingkungan baru selalu datang dengan proses panjang yang penuh drama, air mata, dan kecemasan. Apalagi sebagian besar masa awal tumbuh kembangnya terjadi di masa pandemi, membuat setiap fase penyesuaian terasa jauh lebih menantang bagiku sebagai ibu.

Tantangan itu semakin terasa ketika ia mulai masuk kelompok bermain pada usia tiga tahun, di masa akhir pandemi ketika semua orang masih harus memakai masker. Bagi anak yang memang membutuhkan waktu lebih lama untuk merasa nyaman, melihat wajah orang dewasa tertutup masker saja sudah cukup membuatnya waspada.

Ditambah harus masuk lingkungan baru dan berpisah dari safe space-nya, yaitu aku, proses adaptasinya menjadi semakin berat. Ia menangis setiap pagi sesampainya di depan kelas, memelukku erat, bahkan menjerit seolah kami akan berpisah selamanya. Butuh waktu sekitar tiga bulan sampai akhirnya ia bisa masuk kelas tanpa ada rengekan maupun air mata.

Tahun lalu, ketika kami merantau ke Norwegia, proses itu terulang lagi. Masuk taman kanak-kanak di negara baru dengan bahasa yang asing membuatnya kembali 'was-was'' menghadapi lingkungan baru. Meski usianya sudah lebih besar, rasa takut dan kebutuhan akan waktunya tetap sama kuatnya. Hampir dua bulan kami lalui dengan rengekan, pelukan, dan genggaman erat yang disertai air mata saat drop off.

"Kakak mau sama Ibu", begitu katanya setiap hari...

Jujur, tidak mudah bagiku melewati fase ini. Sering aku teringat masa kecilku yang juga berpindah-pindah kota mengikuti pekerjaan orang tua, dan semuanya kulalui tanpa drama seperti ini. Karena itulah aku sempat bingung bagaimana memahami anakku. Namun aku sadar sepenuhnya bahwa kami adalah dua manusia yang berbeda, dengan ritme, temperamen, dan kebutuhan yang juga berbeda.

Aku mengikuti saran psikolog, mencoba berbagai pendekatan, sounding berulang, dan afirmasi positif. Namun tetap saja setiap pagi adalah perjuangan, baik untuknya maupun untukku. Ada hari ketika aku bisa menahan emosi, tetapi ada juga saat-saat ketika kesabaranku menipis dan suaraku ikut meninggi. Seusai itu selalu muncul rasa bersalah. Pada hari-hari ketika aku benar-benar fed up, suamiku biasanya mengambil alih urusan antar sekolah si kakak, sementara aku akan mengantar adiknya yang memang lebih easy.

Tahun ini ia masuk sekolah dasar, dan untuk pertama kalinya proses adaptasinya tidak sepanjang sebelumnya. Berbulan-bulan sounding dan membangun rasa aman rupanya membuatnya lebih siap. Hanya sekitar dua minggu sampai ia benar-benar tenang, dan melihat itu aku merasa perjalanan panjang kami mulai membuahkan hasil.

Nantinya, ketika kami harus kembali ke Indonesia, aku tahu fase adaptasi itu akan datang lagi. Namun kali ini aku lebih siap menghadapi prosesnya. Aku tahu anakku tidak membutuhkan ibu yang sempurna, melainkan ibu yang mau mencoba bersamanya, pelan-pelan, hari demi hari.

Sekarang aku paham bahwa mendampingi anak slow to warm up bukan sekadar membantunya berani menghadapi dunia, tetapi juga belajar menjadi ibu yang lebih memahami dan hadir untuknya.

- Bunda Echa, Norwegia, Komunitas Ibu Punya Mimpi -

Mau berbagi cerita juga, Bun? Yuk cerita ke Bubun, kirimkan lewat email [email protected]. Cerita terbaik akan mendapat hadiah menarik dari HaiBunda.

(pri/pri)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda