Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

kehamilan

Setelah 19 Th Menanti dan 15 Kali IVF, Pasutri Ini Berhasil Dapatkan Kehamilan dengan Teknologi AI

Annisa Aulia Rahim   |   HaiBunda

Sabtu, 14 Jun 2025 12:00 WIB

Ilustrasi Dokter dan Pasien
Ilustrasi kehamilan/Foto: Getty Images/iStockphoto/peakSTOCK
Daftar Isi
Jakarta -

Bunda, pernah nggak sih dengar kisah pasangan yang udah belasan tahun berjuang punya anak, tapi belum berhasil juga? Sedihnya pasti luar biasa ya… Tapi kali ini ada kabar bahagia yang bisa jadi penyemangat buat kita semua, terutama para pejuang garis dua!

Untuk pertama kalinya di dunia, dokter berhasil membantu kehamilan seorang wanita dengan bantuan teknologi canggih berbasis AI alias kecerdasan buatan. Ini bukan cerita fiksi ilmiah, Bunda, tapi nyata dan dilakukan langsung oleh tim medis di Columbia University Fertility Center, Amerika Serikat, di bawah pimpinan Dr. Zev Williams.

Tim medis dari Columbia University Fertility Center di Amerika Serikat yang dipimpin oleh Dr. Zev Williams, profesor sekaligus ketua divisi fertilitas di kampus top itu berhasil melakukan terobosan lewat teknologi bernama STAR, singkatan dari Sperm Tracking And Recovery.

Teknologi ini kayak detektif mini, Bunda. Ia pakai AI buat memindai lebih dari 8 juta gambar per jam untuk mencari sperma langka banget dari pria dengan kondisi azoospermia, yaitu kondisi saat sperma hampir nggak ada di cairan mani. Biasanya susah banget buat dapet sperma dari kasus kayak gini apalagi buat IVF. Tapi STAR beda!

Teknologi AI untuk reproduksi

Dikutip dari Time, kehamilan itu dimungkinkan karena kemajuan yang dikembangkan oleh tim Columbia, yang dipimpin oleh Dr. Zev Williams, direktur pusat tersebut, untuk mengatasi azoospermia, atau kurangnya sperma yang terdeteksi dalam ejakulasi. 

Faktor pria menyebabkan sekitar 40 persen infertilitas di AS, dan azoospermia bertanggung jawab atas sekitar 10 persen dari kasus tersebut. Hingga saat ini, hanya sedikit yang dapat dilakukan dokter untuk mengatasi kurangnya sperma yang dibutuhkan untuk membuahi sel telur, selain menggunakan sperma donor.

Meskipun bagi mata telanjang, sampel sperma dari seorang pria dengan azoospermia mungkin terlihat normal, mikroskop menceritakan kisah yang berbeda, kata Williams. Teknisi yang sangat terlatih jarang menemukan sperma dalam sampel ini, yang sering kali berisi kotoran lainnya. Ditambah lagi fakta bahwa sperma adalah sel terkecil dalam tubuh, dan tidak mengherankan bahwa bahkan teknisi kesuburan terbaik jarang menemukan sperma dalam sampel azoospermia.

Di sinilah AI berperan. Williams dan timnya menghabiskan waktu lima tahun mengembangkan sistem yang menggabungkan algoritma AI untuk mendeteksi sperma dengan chip fluida yang melewatkan sampel air mani melalui tubulus kecil pada chip plastik. Jika AI mengambil sperma, sebagian kecil air mani itu akan diarahkan ke tubulus terpisah dan dikumpulkan. Beberapa sperma yang diisolasi dengan cara ini kemudian dapat disimpan, dibekukan, atau digunakan untuk membuahi sel telur.

Disebut STAR, untuk Sperm Track and Recovery, sistem ini terinspirasi oleh pendekatan serupa yang digunakan astrofisikawan untuk menggunakan AI guna mendeteksi bintang dan planet baru. 

"Jika Anda dapat melihat ke langit yang dipenuhi miliaran bintang dan mencoba menemukan bintang baru, atau kelahiran bintang baru, maka mungkin kita dapat menggunakan pendekatan yang sama untuk melihat melalui miliaran sel dan mencoba menemukan satu bintang spesifik yang kita cari," kata Williams. 

Dalam kasus ini, STAR dilatih untuk mengambil sperma yang sangat langka.

"Saya mengibaratkannya seperti menemukan jarum yang tersembunyi di dalam seribu tumpukan jerami. Namun, ia dapat melakukannya dalam beberapa jam dan begitu lembutnya sehingga sperma yang kami temukan dapat digunakan untuk membuahi sel telur," katanya.

Apa itu teknologi STAR?

STAR adalah singkatan dari Sperm Tracking and Recovery, yaitu sebuah sistem berbasis AI yang dirancang khusus untuk membantu menemukan sperma pada pria dengan kondisi azoospermia—yaitu tidak ditemukannya sperma dalam cairan ejakulasi.

Dalam banyak kasus, azoospermia menjadi tantangan besar dalam program kehamilan, karena tanpa sperma yang dapat diambil secara alami, peluang untuk hamil lewat program bayi tabung menjadi sangat kecil. STAR hadir untuk mengubah kondisi itu.

Teknologi ini bekerja layaknya 'mata super', dengan kemampuan memindai lebih dari 8 juta gambar per jam dari sampel jaringan testis yang diambil dari pasien pria. Tujuannya adalah mencari sperma hidup yang sangat langka—yang mungkin hanya satu atau dua sel di antara jutaan sel lainnya yang tidak berguna untuk fertilisasi.

Bagaimana cara kerjanya?

Teknologi ini menggunakan kombinasi dari AI berkecepatan tinggi, mikroskop resolusi tinggi, dan chip mikrofluidik. Prosesnya tidak invasif secara berlebihan dan tidak memakai bahan kimia yang bisa merusak sperma.

STAR mengidentifikasi gerakan atau karakteristik visual sperma hidup di antara ribuan sel lain dalam sampel. Sistem ini juga mampu “belajar” dari data visual, sehingga semakin lama digunakan, ia akan semakin akurat dalam mengenali sperma sehat. Ini jauh lebih efisien daripada proses manual yang dilakukan oleh teknisi embriologi, yang membutuhkan waktu berjam-jam dan belum tentu berhasil.

Kisah nyata: 19 Tahun menanti, 15 kali IVF gagal

Rosie dan suaminya menjadi pasangan pertama yang hamil menggunakan STAR pada Maret 2025. Pasangan itu menghabiskan hampir 19 tahun untuk mencoba hamil. Sang suami mengalami bentuk azoospermia dengan tidak ada sperma yang terdeteksi dalam hasil pemeriksaan laboratorium biasa.

“Tidak ada pilihan lain. Terutama karena saya sudah jauh lebih maju beberapa tahun dari yang seharusnya [dalam hal kesuburan]. Saya tidak setua itu, tetapi dalam hal kesuburan dalam hal sel telur saya sudah mencapai akhir,” kata Rosie (38) kepada Time tentang pilihan mereka sebelum mengetahui tentang STAR. 

Mereka telah menjalani 15 kali IVF dengan berbagai cara, tapi semuanya berakhir gagal. Namun harapan kembali muncul ketika Dr. Zev Williams, kepala Divisi Endokrinologi Reproduksi dan Infertilitas di Columbia, menawarkan opsi menggunakan STAR yang masih dalam tahap uji coba.

Bagi pasangan tersebut, penggunaan STAR tidak memerlukan pengujian atau prosedur tambahan apa pun, siklus keberhasilan mereka pada bulan Maret berjalan tidak berbeda dengan siklus IVF lainnya yang pernah mereka alami. 

“Kami datang, melakukan apa yang harus kami lakukan untuk siklus tersebut, dengan mengetahui bahwa kemungkinan terjadinya sesuatu mungkin sangat kecil,” kata Rosie.

Williams dan timnya mengumpulkan beberapa kumpulan sperma menggunakan STAR dan membekukannya. Kemudian mereka mengoordinasikan siklus ovulasi calon ibu pada IVF, dan pada hari mereka mengambil sel telurnya, mereka mengumpulkan sampel air mani segar, menjalankannya melalui STAR, dan menggunakan sperma yang dikumpulkan untuk membuahi sel telur yang tersedia. Sperma beku berfungsi sebagai cadangan jika tidak ada sperma segar yang ditemukan.

Hasilnya mengejutkan. Dalam waktu kurang dari 1 jam, STAR berhasil menemukan 44 sperma aktif dari sampel testis yang sebelumnya dinyatakan kosong. Sperma-sperma ini kemudian digunakan untuk membuahi sel telur istri lewat proses IVF. Dan kali ini, hasilnya berbeda, Rosie berhasil hamil untuk pertama kalinya.

Keberhasilan ini menjadi langkah awal dari era baru dalam dunia fertilitas. Bukan hanya membantu pasangan dengan kasus kompleks, tetapi juga membuka jalan bagi penerapan AI di bidang kedokteran yang lebih manusiawi dan berdampak langsung pada kehidupan nyata.

Saat ini, teknologi STAR baru tersedia di Columbia University dan masih dalam tahap pengembangan lebih lanjut. Tapi melihat potensi dan keberhasilannya, besar kemungkinan teknologi ini akan segera diadopsi oleh pusat-pusat fertilitas lain di dunia.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!





(pri/pri)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda