Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

kehamilan

Memahami Hepatitis B dan C yang Dapat Ditularkan Bumil ke Bayi Melalui Kontak Darah

Melly Febrida   |   HaiBunda

Jumat, 15 Aug 2025 08:30 WIB

ibu hamil dan dokter
Memahami Hepatitis B dan C yang Dapat Ditularkan Bumil ke Bayi Melalui Kontak Darah/Foto: Getty Images/DragonImages
Daftar Isi
Jakarta -

Hepatitis B (HBV) dan C (HCV) dapat ditularkan ibu hamil ke bayinya melalui kontak darah. Penularan ini melalui paparan produk darah yang terkontaminasi, aktivitas seksual, atau penularan perinatal.

Kehamilan menjadi waktu yang tepat untuk menjalani tes jika Bunda belum melakukannya. Idealnya, ibu hamil menjalani tes hepatitis C sebelum kehamilan. 

Mengenal hepatitis B dan C

Melansir laman American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), sederhananya hepatitis berarti peradangan (pembengkakan) hati. Ketika pembengkakan ini disebabkan virus, itu disebut hepatitis virus.

Hepatitis virus adalah salah satu infeksi paling umum yang terlihat selama kehamilan, dan bisa serius.

"Banyak perempuan hamil bahkan tidak tahu mereka sedang terinfeksi virus penyebab hepatitis. Terkadang infeksi ini memang tidak menimbulkan tanda atau gejala," demikian penjelasan ACOG.

Ada beberapa jenis hepatitis virus, yakni A, B, C, D, dan E. Hepatitis B dan C merupakan dua jenis yang paling serius dan umum di Amerika Serikat. Dokter sudah lama menyarankan ibu hamil menjalani tes hepatitis B selama setiap kehamilan. 

"Dan sekarang kami juga merekomendasikan tes hepatitis C selama setiap kehamilan," ujar ACOG. 

Penularan hepatitis B dan C

Prevalensi HBV relatif rendah di AS (0,4 persen), dengan sekitar satu juta orang Amerika terinfeksi HBV secara kronis, prevalensinya lebih tinggi di Asia Timur (8 persen), Tiongkok 2 hingga 18 persen, Taiwan 2 hingga 19 persen, dan Hong Kong 4 hingga 10 persen, tergantung wilayahnya, Asia Tenggara (>6 persen)2 (Indonesia hingga 9 persen, Thailand hingga 25 persen, dan India hingga 66 persen, tergantung wilayahnya), dan Afrika Sub-Sahara (8 hingga 12 persen).

Sedangkan HCV merupakan infeksi kronis yang ditularkan melalui darah yang paling umum di AS, yang memengaruhi hampir 4 juta orang Amerika.

Melansir Jurnal Perinatol di laman National Library of Medicine, perempuan usia subur memiliki insidensi infeksi HCV kronis sebesar 1 hingga 2 persen, dengan tingkat yang lebih tinggi pada perempuan yang memiliki faktor risiko, seperti penggunaan narkoba suntik.

Kehamilan pada pasien dengan HBV atau HCV kronis dikaitkan dengan penularan dari ibu ke anak (MTCT) dan dapat dikaitkan dengan peningkatan komplikasi maternal dan fetal. 

Diperkirakan 30 hingga 40 persen infeksi HBV kronis di AS merupakan akibat dari penularan perinatal atau infeksi anak usia dini. Risiko penularan infeksi HBV perinatal berkisar antara 10 hingga 40 persen, dengan 40 hingga 70 persen bayi tersebut tetap terinfeksi kronis.

Risiko MTCT lebih dari 90 persen ketika ibu memiliki kadar DNA HBV yang tinggi dan HBeAg-positif (menunjukkan replikasi dan infektivitas virus yang aktif), dan hampir semua bayi yang terinfeksi ini menjadi pembawa HBsAg kronis.

Perempuan muda dalam fase imunotoleransi infeksi HBV kronis berisiko tinggi (hingga 30 persen) untuk MTCT infeksi HBV, terlepas dari imunoprofilaksis (pencegahan penyakit infeksi terhadap antibodi spesifik) neonatal dengan HBIG dan vaksin HBV.

Sebaliknya, infeksi HBV kronis terjadi pada kurang dari 10 persen bayi dari ibu HBeAg-negatif. Faktor risiko lain untuk MTCT HBV meliputi ancaman persalinan prematur, persalinan lama, dan kegagalan imunoprofilaksis sebelumnya pada saudara kandung.

MTCT HBV dapat terjadi pada tiga tahap kehamilan: intrauterin, intrapartum, atau pascapersalinan. MTCT infeksi HBV diperkirakan terjadi terutama pada atau setelah kelahiran berdasarkan pada efikasi perlindungan yang tinggi dari imunoprofilaksis.

MTCT HBV Intrauterine dilaporkan terjadi pada 10 hingga 16 persen kehamilan dan mungkin merupakan persentase kecil bayi yang tidak menanggapi pengobatan imunoprofilaksis untuk HBV saat lahir. Penularan transplasenta intrauterin karena kebocoran darah ibu dapat terjadi selama aborsi yang terancam.

Risiko penularan HBV dari amniosentesis rendah; dalam sebuah penelitian, tingkat MTCT tidak berbeda secara signifikan antara perempuan dengan HBV yang menjalani amniosentesis dari mereka yang tidak menjalani amniosentesis (9 vs 11 persen).

Efek dari prosedur invasif lainnya selama kehamilan (pengambilan sampel vilus korionik, kordosentesis, operasi janin) terhadap risiko penularan HBV tidak diketahui. Tidak ada hubungan antara forcep atau ekstraksi vakum selama persalinan dan risiko penularan HBV yang telah dibuktikan.

Risiko penularan hepatitis B dan C pada ibu menyusui

Bagaimana dengan menyusui? Menurut CDC, menyusui terbukti aman kecuali jika ada luka atau lecet di puting yang berdarah.

Untuk itu dokter di Indonesia menekankan pentingnya screening dan vaksinasi dini pada ibu hamil, dengan pemberian HBIg dan vaksinasi HB0 pada bayi dalam 24 jam lahir sebagai tindakan kritis.

Upaya efektif pencegahan penularan hepatitis B & C pada ibu hamil

CDC menganjurkan agar semua perempuan hamil menjalani skrining untuk mengetahui keberadaan HBsAg saat diagnosis kehamilan. Skrining ulang harus dipertimbangkan pada perempuan HBsAg-negatif dengan faktor risiko infeksi HBV (Asia, penggunaan narkoba, paparan seksual, penahanan, ALT abnormal) saat masuk untuk melahirkan.

Deteksi dan imunisasi dini penting dilakukan pada ibu hamil. Sejak 2013, ibu hamil di Indonesia mulai menjalani screening HBsAg.

Bayi dari ibu reaktif mendapatkan HBIg dan vaksin HB0 dalam 24 jam lahir. Jika viral load pada ibu hamil hasilnya tinggi (HBV DNA >200.000 IU/mL), maka diperlukan terapi seperti Tenofovir di trimester ketiga. Cara ini terbukti menurunkan risiko transmisi hingga mendekati 77 persen saat dikombinasikan dengan HBIg dan vaksinasi.

Sementara rekomendasi dari CDC dan Komite Penasihat Praktik Imunisasi (ACIP), pemberian vaksin HBV dan HBIG kepada bayi berisiko dalam waktu 12 jam setelah persalinan, diikuti dengan penyelesaian rangkaian vaksin hepatitis B dalam tahun pertama kehidupan.

Bayi baru lahir dari ibu dengan status HBsAg yang tidak diketahui pada saat lahir harus menerima vaksin HBV dalam waktu 12 jam setelah lahi. Jika ibu dinyatakan positif HBsAg, bayi harus menerima HBIG sesegera mungkin (dalam 7 hari setelah lahir).

5 persen Anak yang mengalami infeksi hepatitis B kronis meskipun telah menjalani imunoprofilaksis tidak menerima vaksinasi HBV lengkap, tidak mengembangkan antibodi permukaan hepatitis B (HBsAb). Meskipun telah dilakukan imunoprofilaksis, HBV masih ditularkan dari 8 hingga 30 persen ibu dengan kadar HBV DNA yang tinggi dan HBeAg positif.

Bagaimana dengan HCV? Hingga saat ini belum tersedia vaksinnya. Ibu hamil dapat melakukan pencegahan terutama melalui mitigasi risiko selama persalinan dan peralatan steril.

Jika ibu hamil terinfeksi, obat untuk hepatitis C juga tidak dapat diberikan selama kehamilan. Apabila memungkinkan, lebih baik menjalani tes dan kemudian mendapatkan pengobatan sebelum hamil. Tes ini direkomendasikan untuk semua orang dewasa setidaknya sekali seumur hidup.

Namun, jika hamil, sekarang adalah waktu yang tepat untuk menjalani skrining. Tes selama kehamilan memungkinkan Bunda membuat rencana untuk memulai pengobatan setelah kehamilan, dan untuk merencanakan perawatan kesehatan yang tepat untuk bayi jika diperlukan.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(pri/pri)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda